Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Raja Baru Benua Hitam

Senegal menguasai sepak bola Afrika. Tapi mampukah mereka di Piala Dunia?

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN ini memang milik Senegal. Meski di Piala Afrika tahun lalu mereka kandas di final, pekan lalu Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) menghadiahi negeri di Afrika Barat itu sekeranjang penghargaan. Gelar tersebut masing-masing diberikan kepada El Hadj Diouf, 21 tahun, sebagai pemain terbaik Afrika, dengan pelatih terbaik jatuh pada Bruno Metsu, sedangkan tim nasionalnya menyabet pangkat tim terbaik Afrika tahun ini. Alasan penunjukan, Senegal merupakan tim Afrika yang prestasinya paling meroket. Dalam setahun belakangan, Senegal, yang cuma berpenduduk 9 juta orang, memang mengguncang jagat sepak bola. Tanpa diduga, tim yang dilatih Bruno Metsu, pelatih asal Prancis ini, untuk pertama kalinya meluncur ke ajang Piala Dunia. Padahal, dalam babak kualifikasi, mereka berada satu kandang dengan tim-tim Afrika lainnya--yang pernah mengecap manisnya bermain di Piala Dunia--yakni Mesir, Maroko, dan Aljazair. Mau dikata apa, negara yang awalnya cuma tim anak bawang ini berhasil mengangkangi tiga jagoan Benua Afrika. Tapi, menilik materi pemainnya, prestasi tersebut sesungguhnya tidaklah mengejutkan. Hampir semua anggota skuadnya merupakan pemain yang merumput di Liga Prancis. Nah, dengan materi seperti ini, dan ditunjang dengan usia yang rata-rata masih belia, pelatih Bruno Metsu, yang menerapkan formasi 5-3-2, tak banyak menemui kesulitan. Dengan dua bek sayap yang menyiapkan banyak umpan matang untuk dua striker-nya, El Hadj Diouf dan Moussa Ndiaye, Senegal menjelma menjadi tim yang haus gol. Barisan belakangnya juga solid. Dengan pola seperti itu, Metsu menekankan pertahanan yang rapat. Taktik yang jitu tersebut membuat mereka tampil solid. Dalam pertandingan kualifikasi, mereka cuma kebobolan dua gol dalam delapan pertandingan. Memang, bergerombolnya pemain yang berlaga di Liga Prancis ini tidak didapat begitu saja. Semua berawal dari program yang dijalankan pemerintah Senegal dalam mencetak pemain andal. Program itu--baru dijalankan beberapa tahun silam--sengaja dibuat untuk mencetak para pemain yang akan bertarung di Liga Prancis. Seperti halnya negara bekas jajahan Prancis lainnya, para pemain negara ini juga memiliki akses mudah untuk menjajal kemampuannya di bekas negeri majikannya. Program tersebut sebenarnya juga dibuat untuk menahan kaburnya pemain-pemain berbakat negeri ini menjadi warga negara Prancis. Itulah yang menimpa Patrick Viera, yang menanggalkan status kewarganegaraan Senegalnya untuk menjadi warga negara Prancis. Hasilnya cespleng. Salah satu anggota program ini, El Hadj Diouf, menjelma menjadi pemain yang paling rakus mencetak gol. Dalam kualifikasi Piala Dunia, si keling keriting ini berhasil mencetak delapan gol dalam 10 pertandingan. Sukses Pak Haji juga berkat kekuatan Senegal yang terletak pada kekompakan tim secara keseluruhan dan didukung oleh fisik pemainnya yang masih muda-muda. Tak aneh bila peta kekuatan sepak bola Afrika bukan lagi di tangan Nigeria ataupun Kamerun, tapi telah beralih ke negeri di pantai Samudra Pasifik itu. Namun di Piala Dunia tim ini naga-naganya akan kedodoran. Bukan apa-apa, seperti halnya Nigeria yang berada satu grup bersama Argentina, Inggris, dan Swedia, Senegal pun tampaknya harus bersiap pulang lebih awal. Sial kalau memang begitu. Tim masih hijau ini harus sekompi dengan juara bertahan Prancis, juara dunia dua kali Uruguay, dan tim bekas Juara Eropa, Denmark. Anak-anak yang "baru lulus" ini harus bertarung dengan tim-tim berpengalaman. Anehnya, hal itu yang justru membesarkan hati Diouf. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah majalah, dia berujar bahwa posisi seperti itu akan membuat mereka bernafsu membuat kejutan. "Banyak orang menganggap kami tim paling lemah. Tapi itu justru menyenangkanku. Kami bisa bermain lepas, tanpa beban," ujarnya. Terdengar klise, tapi bola belum lonjong. Hal lain yang menebalkan semangat Diouf, yang bermain di klub papan atas Prancis RC Lens, adalah perkembangan permainan timnya yang kata dia belakangan makin solid. Prestasi yang dicapai di Piala Afrika, Januari lalu, satu contoh. Bekal itulah yang akan mereka bawa ke Korea. "Piala Dunia merupakan momen puncak karir seorang pemain sepak bola. Dan bertanding melawan Prancis di ajang ini merupakan mimpi yang akan jadi kenyataan," katanya. Tentu yang dimaksud Diouf adalah harapan munculnya kembali keajaiban seperti di Piala Dunia 1990 di Italia--ketika Kamerun menundukkan Argentina yang juara bertahan. Kalaupun gagal tahun ini, toh menilik dari usianya Senegal bisa-bisa bakal menjadi raksasa dalam empat tahun mendatang. Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus