BANYAK dokter yang punya hati mulia dan bertahan hidup pas-pasan, tapi banyak pula yang mangkir dari puskesmas karena capai "kerja sosial". Simaklah cerita lain tentang korps jubah putih ini. Kali ini dari Lampung, soal mangkirnya para dokter dari tempat tugasnya.
Bila sekali waktu berobat di Puskesmas Ganjaragung, Kota Madya Metro, Lampung, jangan pernah berharap Anda bakal ditangani seorang dokter. Pekan lalu, TEMPO datang dan menunggu di puskesmas itu—yang katanya dijaga empat dokter—selama tiga jam, tapi sia-sia. Seorang bidan datang dan mengatakan bahwa dokter tidak akan mungkin datang. Keempatnya, cerita sang bidan, Kamis pagi itu sudah menyempatkan diri sekadar setor muka ke puskesmas, lalu ngeloyor pergi. "Di sini sudah biasa tanpa dokter dan tetap jalan," kata bidan yang namanya tidak mau disebut itu.
Di puskesmas itu ada Dokter Indra Suratman, kepala puskesmas, yang juga jarang masuk. "Kerjanya menghadiri undangan rapat," kata perawat yang lain. Kalaupun ada dokter yang masuk, belum tentu mau melayani pasien. Terkadang mereka mengobrol atau pura-pura tidak melihat. Sesekali saja mereka mengobati pasien secara langsung. "Kalau masuk juga tak lama, sekadar setor muka atau ngobrol, atau diam di ruangan. Mereka juga dikenal tak ramah dengan penduduk sekitarnya. Soal absen, tak jarang absen yang harus disetor setiap pekan kosong melompong. Kepala dinas setempat sudah sangat sering memberi peringatan," kata sang perawat.
Ketika TEMPO mendatangi kediamannya, Dokter Rimasari tengah mengobrol santai dengan Dokter Gigi Yolla—dua dokter yang bertugas di Puskesmas Ganjaragung itu. "Kami capai terus melakukan bakti sosial," kata Rima, mengistilahkan tugasnya di puskesmas itu. Sejak dia ditugasi di Ganjaragung, November lalu, belum sekali pun menerima gaji. "Saya sudah tidak tahan," ujarnya. Dalam waktu dekat, dokter lulusan Universitas Sriwijaya tahun 1997 itu berencana berhenti sebagai dokter PTT dan masuk rumah sakit swasta yang tidak berhubungan dengan pemerintah. Apalagi Rima dan Yolla sama-sama pesimistis pemerintah akan menepati janji segera membayar gajinya.
TEMPO mendatangi sejumlah pasien dan menanyakan soal "kemalasan" para dokter itu. Rupanya, mereka tetap mengharapkan para dokter muda itu datang ke puskesmas. "Sama perawat cuma dicatat, langsung disuntik," kata Kastilah, 56 tahun, yang kupingnya sakit. Kalau dengan dokter, ujarnya, ditanyakan detail soal penyakitnya, baru ia diberi obat. Tapi sekarang, obat tetes pun, yang dulu grastis, mesti ia tebus Rp 1.500.
Marijah, 60 tahun, pasien lainnya, tergolong pasrah saja. "Daripada menunggu dokter, perawat juga tak apa," kata penderita tekanan darah tinggi itu. Malah di Puskesmas Kusumadadi, Lampung Tengah, Dokter Ester, yang mestinya bertugas, sudah lenyap entah ke mana. "Kami juga tidak tahu ke mana," kata Ismudidjanto, Kepala Subdinas Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan Lampung Tengah.
Rumor yang juga santer merebak adalah soal kolusi dalam penentuan lokasi PTT. TEMPO mendapat cerita dari seorang dokter di Surabaya bahwa Jawa dan Lampung adalah jatah PTT untuk anak pejabat atau anak dokter senior. Yang lain, kalau berminat, silakan membayar. "Ada yang membayar dengan mobil," katanya. Seorang dokter lulusan universitas negeri di Semarang, anak seorang dokter senior, saat PTT, kerjanya membalap di sirkuit, tapi malah lulus dengan mulus dan sekarang menjadi kepala puskesmas. Anak-anak manja ini memang tak pernah mau datang ke daerah terpencil. Mau bukti lagi? Contohnya, tahun ini, 41 puskesmas di Kalimantan Barat tak punya dokter. Padahal, kalau semua lulusan dokter mau bertugas ke mana saja, tak ada puskesmas yang kosong.
Tapi cerita mengenai puskesmas tanpa dokter dan dokter PTT tanpa gaji memang kait-berkait. Harus ada pembenahan yang mendasar. Dokter tak mungkin dituntut bekerja keras kalau tidak menerima gaji. Sebaliknya, puskesmas di pedesaan kok rasanya tragis tanpa dokter, mengingat begitu menumpuknya dokter di perkotaan. Departemen Kesehatan semestinya lebih serius mengurusi soal ini.
I G.G. Maha Adi, Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini