DULU ada Dokter Sartika. Ia bertugas di desa, cantik, tak pernah mengeluh, penuh pengertian, dan disukai penduduk. Pokoknya, buat orang desa, semua yang ideal ada pada Sartika. Sayangnya, Dokter Sartika itu cuma tokoh rekaan dalam sinetron Dokter Sartika yang diperankan Dewi Yull dan ditayangkan televisi beberapa tahun silam.
Kini, dokter yang bertugas di desa-desa jauh dari model Dokter Sartika. Mereka sekarang sibuk berdemonstrasi ke Jakarta. Meninggalkan tugasnya di desa, mereka berteriak memprotes pejabat di Departemen Kesehatan dan mendatangi Gedung MPR/DPR. Rupanya, mereka membawa keluhan yang sudah akut bertahun-tahun: soal gaji yang selalu telat hampir tiga bulan, status kepegawaian yang tidak pernah jelas, dan kenaikan gaji yang tak kunjung datang.
Coba dengarkan cerita mereka. "Sejak Januari lalu, kami tidak menerima gaji," ucap Dokter Budi Santoso, yang bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Plupuh II, sekitar 45 kilometer ke arah barat dari Kota Sragen, ketika TEMPO datang ke tempat tugasnya. "Kami sudah lima bulan tak bergaji," ujar Yosie Arif Sanjaya, yang bertugas di Puskesmas Gemolong II. Bersama istrinya, Muwarni, ia baru diangkat sebagai pegawai tidak tetap November tahun lalu. Sudah lima bulan tak menerima gaji, sementara mereka harus mengontrak rumah. Menyambung hidup dengan membuka praktek umum juga belum laku. "Ibaratnya toko, kami masih harus sabar mencari pembeli," kata Yosie, alumni Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Menurut Yosie, pangkat dokter pegawai tidak tetap (PTT) sama dengan dokter tetap, yakni golongan III-a, tapi gajinya berbeda. Padahal dulu gaji dokter PTT dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan gaji dokter pegawai negeri sipil (PNS). Belakangan, dengan beberapa kali kenaikan, gaji dokter PNS jauh lebih tinggi, hampir 250 persen dari dokter PTT.
Gaji dokter PTT sekarang berkisar antara Rp 900 ribu dan Rp 1,5 juta—makin terpencil, makin besar gajinya. Cuma, karena gaji terlambat hingga tiga bulan itu, mereka jadi kelimpungan. Dokter Gigi Retno, dari Puskesmas Sumber Lawang, terpaksa berangkat dari rumah suaminya di Solo, sejauh 35 kilometer. "Gaji tak cukup untuk mengontrak rumah," kata Retno. Ia sudah menjalani PTT sejak 1997 lalu, dan selalu diperpanjang. Padahal, seperti dokter PTT lainnya, ia ingin segera diangkat.
Yang sedikit beruntung adalah Dokter Budi Santoso. Ia ditempatkan di daerahnya sendiri di Puskesmas Plupuh II. "Saya masih bernasib baik dibanding teman-teman karena masih hidup bersama orang tua," ucap Budi Santoso, alumni UNS tahun 1998, yang baru diangkat sebagai dokter PTT pada tahun 2001. Karena statusnya sebagai dokter itu, kata Budi, ia malu harus mengutang sana-sini.
Itulah sebagian kecil kisah para dokter PTT di Sragen, Jawa Tengah. Selama tiga hari, pada awal April lalu, mereka mogok kerja. Yang mogok 70 dokter, tapi mewakili 2.000 dokter dan 1.000 bidan se-Jawa Tengah. Mereka menuntut pencairan gaji secepatnya. Tuntutan lain, setelah kontrak habis, mereka juga mendapatkan uang pesangon sebesar enam kali gaji ditambah tunjangan perjalanan pulang ke kampung halaman.
Derita dokter PTT bukan cuma ada di Jawa. Dokter Amheka, yang ditugasi di Puskesmas Sei, Kabupaten Timor Tengah Selatan, sekitar 200 kilometer ke arah timur dari Kota Kupang, mengalami derita yang sama. Amheka, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, mengatakan bahwa kontraknya baru berakhir pada Mei tahun depan, dengan gaji sebulannya Rp 1,4 juta. Ia mengaku, gaji sekecil itu sama sekali tak cukup karena harga barang-barang melambung. Mau praktek? Orang kampung di tempat tugasnya adalah penduduk miskin. Jadi, bukannya untung, ia malah buntung karena mesti nombok memberikan obat. Untuk hidup sehari-hari, ia pun beternak babi dan sapi.
Imelda Datau, anggota Forum Dokter Indonesia (FDI), tempat bergabungnya 10 ribu dokter PTT, mengatakan perilaku pejabat Departemen Kesehatan tak berubah dari zaman Orde Baru. Ia mencontohkan bagaimana Departemen Kesehatan tetap ngotot mempertahankan status PTT padahal dalam peraturan ketenagakerjaan terbaru cuma dikenal status karyawan kontrak dan karyawan tetap. "Tapi mereka tak mau mengubah PTT," katanya. Departemen Kesehatan, ungkap Imelda, juga setengah hati mengubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961, yang mengatur wajib kerja sarjana, termasuk PTT. Buktinya, cuma diminta lima orang wakil dari FDI untuk ikut merevisi rancangan UU No. 8/1961, padahal yang dibahas adalah undang-undang tentang nasib ribuan dokter. Soal keterlambatan gaji juga tak pernah dijelaskan tuntas. Dalam kontrak disebut gaji akan dibayar pada tanggal 28 bulan bersangkutan atau paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya. Ternyata, gaji bisa nongol tiga bulan kemudian tanpa ada penjelasan apa-apa.
Di mana pangkal persoalannya? Menteri Kesehatan Achmad Sujudi mengatakan, gaji terlambat itu disebabkan oleh soal administrasi, seperti panjangnya rantai birokrasi di provinsi. Namun, ia membantah tuduhan bahwa gaji dokter PTT itu diendapkan dulu di Jakarta untuk mendapatkan bunganya. Maklum, uang dari pos ini cukup besar, sekitar Rp 600 miliar. Sujudi berjanji, soal keterlambatan gaji akan segera ditanganinya. Cuma, soal status, ia minta bersabar. "Tak bisa sehari jadi, karena itu soal kebijakan yang mesti dibahas dengan DPR," katanya. Begitulah kenyataan para dokter di desa saat ini, tak seperti Dokter Sartika, yang bisa menyelesaikan semua masalahnya dengan trengginas.
I G.G. Maha Adi, F. Riwu Rohi (NTT), Bandelan A. (Jawa Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini