KINI semakin jelas mengapa Presiden Megawati pernah mengatakan birokrasi itu "keranjang sampah". Bayangkan, niat mulia seorang kepala negara memperbaiki kesejahteraan prajuritnya malah jadi menuai skandal politik hanya akibat konspirasi jahat di kalangan birokrat Istana. Mereka, para kawula Sekretariat Negara yang terbiasa mengabdi kepada Presiden Soeharto selama puluhan tahun, rupanya tak rela melepaskan kekuasaan ilegal yang dinikmati sejak dulu. Dana bantuan presiden (banpres) yang seharusnya sudah disetor ke Departemen Keuangan sejak akhir tahun 2000 ternyata masih disimpan di rekening para pejabat Sekretariat Negara.
Penelusuran majalah ini menyimpulkan bahwa masih bercokolnya dana ratusan miliar rupiah itu bukanlah salah presiden. Terbukti, sejak B.J. Habibie menjadi presiden, upaya para pejabat baru untuk mengetahui keberadaan dana banpres selalu kandas akibat tembok perlawanan para pegawai lama. Ratih Hardjono, sekretaris Presiden Abdurrahman Wahid yang sempat memiliki keppres penunjukan dirinya untuk mengelola dana ini, bahkan gagal mengetahui di mana saja dana ini disimpan. Jumlah persisnya? Apalagi.
Insubordinasi birokrat Sekretariat Negara ini memang keterlaluan. Di awal era Abdurrahman Wahid, Istana Negara sampai nyaris gelap-gulita karena dana untuk membayar PLN, entah mengapa, tak bisa turun selama berbulan-bulan. Bahkan surat-surat yang ditujukan kepada kepala negara yang baru, termasuk dari Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, sempat tertahan tak sampai ke meja presiden selama sekitar tiga bulan hingga jumlahnya mencapai empat karung. Pencairan dana dan lancarnya surat masuk baru terjadi setelah pembantu Presiden Abdurahman Wahid melakukan negosiasi dengan pemimpin komplotan pegawai lama. Setidaknya begitulah pengakuan beberapa pejabat yang berkantor di Istana pada saat Presiden B.J. Habibie atau Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa.
Kini Presiden Megawati menghadapi perlawanan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Semua kebutuhan dana untuk kelancaran kegiatan dinas kepala negara kelihatannya mengalir tanpa masalah. Namun, yang terbongkar sejak ribut-ribut skandal "Asramagate", sumber uang tersebut ternyata tak semuanya halal. Sebagian kini diduga berasal dari dana banpres yang seharusnya telah disetor ke Departemen Keuangan sejak B.J. Habibie masih menjadi presiden tapi ternyata malah disimpan di rekening pribadi beberapa pejabat lama Sekretariat Negara. Setidaknya begitulah temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Semua ini mengindikasikan hadirnya konspirasi jahat para pejabat lama di kantor kepresidenan Republik Indonesia. Keberanian mereka untuk melawan pemimpin pemerintahan yang sah menyiratkan gentingnya kondisi birokrasi peninggalan Orde Baru di pusat kekuasaan lama ini. Karena itu, momen skandal banpres ini sepatutnya dimanfaatkan untuk mengadakan reformasi total di Sekretariat Negara. Sebuah penyelidikan yang sungguh-sungguh harus dilakukan untuk membersihkan kantor dinas presiden dan wakil presiden dari mereka yang masih bermimpi gaya Orde Baru akan kembali bercokol di Istana.
Harus diakui bahwa gaya Orde Baru bukan tak ada manfaatnya sama sekali. Ketika pendanaan non-neraca seperti banpres dibentuk pada 1970, keadaan negara boleh dikata mirip dalam keadaan darurat perang. Itu sebabnya seorang Jenderal Soeharto menerapkan gaya manajemen seperti yang dilakukannya ketika masih memimpin satuan gerilya menghadapi musuh yang lebih lengkap persenjataan dan kekuatan ekonominya.
Dalam keadaan seperti inilah dana banpres mula-mula dikumpulkan dari hasil keuntungan kegiatan monopoli perdagangan cengkeh. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto dengan nada bangga menuturkan bahwa PT Mega yang dipimpin Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dan PT Mercu Buana yang dipimpin Probosutedjo masing-masing menyetor Rp 123 miliar untuk dana banpres. Itu adalah keuntungan menjalankan tata niaga cengkeh setelah dipotong komisi 2 persen bagi kedua perusahaan pelaksana monopoli tata niaga cengkeh tersebut.
Uang yang terkumpul dijadikan modal "dana abadi" dan bunganya dipakai untuk membiayai berbagai kegiatan yang dianggap presiden perlu dibantu. Jangan heran jika keragaman kegiatan yang mendapat bantuan presiden begitu tinggi: sumbangan untuk partai politik, pembibitan sapi unggul, program padi gogo rancah, bantuan untuk tokoh yang berobat ke luar negeri, program menanam kemiri di Aceh, sampai bantuan untuk biaya operasional Rumah Sakit Gatot Soebroto. Yang terakhir ini, menurut penuturan Soeharto, menerima Rp 40 miliar pada 1985.
Semua bantuan itu tak ada yang buruk. Yang jadi masalah adalah caranya, yang sudah tak sesuai lagi dengan sistem manajemen kenegaraan yang modern, yang menuntut akuntabilitas dan transparansi.
Karena itu, Presiden Megawati memang tak punya pilihan lain: Sekretariat Negara harus dirombak total dari sebuah mesin pelaksana sistem feodal menjadi kantor kepresidenan yang modern, bersih, dan berwibawa. Langkah pertama yang wajib dilakukan adalah memastikan bahwa semua dana non-neraca di Sekretariat Negara disetor secepatnya ke Departemen Keuangan.
Bila ada pejabat yang keberatan, jangan sungkan untuk segera memensiunkan mereka. Birokrasi sepatutnya bukanlah keranjang sampah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini