RELI Paris-Dakar digelari "reli gila", saking ganasnya. Tapi, reli Paris-Cape Town, yang menggantikannya, bisa saja disebut "reli edan" karena tak kalah ganasnya. Reli ini, yang dimulai 23 Desember silam dan berakhir pekan ini, sama-sama melintasi misteriusnya lautan gurun pasir dan rimbunnya hutan tropis. Yang membuat edan, reli Paris-Cape Town ini melintasi beberapa wilayah yang dilanda peperangan. Mulai dari Chad, kebutkebutan Paris-Cape Town itu harus melalui wilayah yang diduduki para pemberontak yang beringas. Di perbatasan Angola, para pereli juga harus hati-hati. Belum lama ini, di sekitar lintasan Lobito-Namibe, dua turis Inggris dan seorang Selandia Baru ditemukan tewas dibantai gerombolan tak dikenal. Itu membuat reli ini harus mengalami beberapa kali penundaan. Namun, panitia bertekad meneruskan reli ini sampai ke Cape Town, Afrika Selatan. "Perlombaan harus berjalan terus sesuai dengan ketentuan dalam olahraga," ujar Gilbert Sabine, ketua penyelenggara. Sampai akhir pekan lalu, para pereli sudah menempuh etape XIV yang tidak aman di Angola. Cape Town, di ujung selatan Afrika, tinggal 3.500 kilometer lagi. Hasil sementara, Hubert Auriol dari tim Mitsubishi mengumpulkan angka hukuman terkecil, disusul dua rekan se timnya, Erwin Weber dan Kenjiro Shinozuka. Tim Mitsubishi bisa memecundangi saingan kakapnya, tim Citroen karena peralatan navigasi mereka yang memang mutakhir, yaitu dilengkapi transmisi satelit. Mereka jarang kesasar seperti yang dialami para pereli lain. Motor tim Citroen, Ari Vatanen, harus terus berjuang untuk mengejar ketinggalannya. Vatanen, yang empat kali menjuarai reli Paris-Dakar, masih terpaut 2 jam lebih di belakang Auriol. Vatanen berada di posisi ke-5. Pada kelompok sepeda motor, pereli Prancis yang menggunakan Yamaha, Stephane Peterhansel, masih melesat di puncak peringkat. Peterhansel menyimpan selisih waktu 2 jam lebih di depan pereli Amerika Serikat, Danny Laporte, yang menggunakan Cagiva. Reli gila-gilaan di benua hitam Afrika ini sudah berlangsung sejak 1979. Bermula ketika Thierry Sabine, saat itu (1978) sebagai peserta reli Abijan-Nice, kehabisan bensin dan tersesat di tengah genangan pasir tak bertepi selama sepekan. Ia lalu bersumpah, kalau bisa selamat akan menyelenggarakan reli besar yang menyeberangi gurun pasir. Setahun kemudian, kaul itu terkabul dan lahirlah apa yang disebut reli Paris-Dakar yang menempuh jarak 10.000 kilometer. Belakangan, gara-gara banyak korban jiwa, reli itu dikecam keras oleh berbagai pihak. Bahkan, ada yang menganggap reli ini hanya memamerkan kemewahan kepada penduduk Afrika yang papa. Di tengah ramainya perdebatan itu, arsitek reli Thierry Sabine tewas ketika helikopter yang ditumpanginya jatuh diterjang badai di padang pasir Mali, Januari 1986. Enam orang penumpangnya, termasuk Thierry, tewas seketika. Karena masih banyak para petualang dan industri mobil yang meminati reli gila ini, Gilbert Sabine mengambil alih bisnis almarhum anaknya. Ia membentuk Thierry Sabine Organization (TSO) dan melanjutkan tradisi akhir tahun itu. Meskipun Federasi Otomotif Internasional (FISA) sudah mengeluarkan kecaman kerasnya, Gilbert dengan TSOnya tetap berlalu. Berubahnya politik apartheid di Afrika Selatan membuat Gilbert mengalihkan tujuan akhir reli dari Dakar ke Cape Town. Jadilah reli Paris-Cape Town dan jarak pun semakin panjang, yakni 12.500 kilometer. Mungkin karena rute ini masih baru, peserta reli hanya 342 orang dengan berbagai macam kendaraan, separo ratarata peserta reli Paris-Dakar. Hari yang dibutuhkan hampir sebulan. Ternyata, reli Paris-Cape Town yang semula diduga lebih aman, juga mengundang maut. Belum jauh para pereli memasuki ganasnya alam Afrika, terjadilah kecelakaan pertama. Dua anggota tim pereli Prancis, Jean-Marie Sounillac dan Laurent Lebourgeois, tewas seketika setelah Land Rover mereka jungkir balik akibat menubruk gunung pasir di kawasan Libya. Lalu, kecelakaan berikutnya menyusul. Pada etape IX, di wilayah Chad, mobil seorang peserta menyambar dua anak kecil. Mereka luka parah, sehingga panitia harus buru-buru membawa mereka ke rumah sakit. Di kelompok sepeda motor, kecelakaan juga menodai penyelenggaraan reli ini. Gangguan hujan lebat dan badai mengaduk padang pasir menjadi lautan lumpur yang tentunya amat membahayakan peserta bersepeda motor. Seorang pereli Prancis, Jean-Christophe Wagner, luka parah akibat sepeda motor Suzukinya terguling selepas dari Franceville, Gabon. Terakhir, Selasa pekan lalu, giliran Gilles Lalay -- juara reli Paris-Dakar 1989 -- menjadi korban ketiga yang tewas. Kelalaian Lalay adalah ia mengambil jalur kiri dan menggeber gas menjelang pos terakhir di Kongo. Tahu-tahu muncul kendaraan tim medik yang mau balik ke kota Loubomo. Benturan keras tak terhindarkan lagi, sepeda motor Yamahanya remuk dan Lalay tewas seketika. "Ini benar-benar malapetaka," kata rekan satu tim Lalay, Peterhansel. Jika dihitung jumlah korban yang tewas sejak reli Paris-Dakar diperkenalkan pada tahun 1979, Lalay adalah yang ke-31. Musibah ini membuat panitia menghapuskan beberapa etape berat, supaya korban tidak terus berguguran. Misalnya, rute yang membelah rawarawa di Zaire dibatalkan. Panitia memutuskan untuk langsung mengapalkan para peserta reli ke Angola dari pos terakhir di Kongo. Gilbert Sabine mengakui bahwa tidak mudah mengorganisasikan rute yang teramat panjang di kawasan Afrika yang penuh misteri itu. Namun, pereli tangguh memang tidak kenal kapok, sehingga reli edanedanan ini mungkin masih tetap berlangsung di setiap pergantian tahun. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini