KETIKA saya sedang asyik-asyiknya "menikmati kesengsaraan Midun", tiba-tiba saja seorang anak saya berkata, "Jelas betul ucapan Minang si Midun ya, Pak? Persis seperti Bapak kalau bicara." Rupanya, ia dapat mengenali lafal Minang dalam ucapan beberapa tokoh dalam sinetron Sengsara Membawa Nikmat yang ditayangkan TVRI dan lafal Minang saya sendiri. Ia memang pernah tinggal dan bersekolah di Padang. "Ucapan Midun yang mana yang kau anggap berlafal Minang itu? Lagu kalimatnya atau kata-katanya?" "Duaduanya. Itu tadi kata a pada permulaan kalimat seperti, "A, pada suatu hari saya bertemu dengan Kacak," dan ucapan kemenakan ayah Midun, "A, kami bermaksud membawa mamak kami ke Tanjung. Lagu kalimatnya persis seperti orang Minang pedagang Tanah Abang." "Ya, kamu benar. Pak Karto, tempat Midun menumpang sekeluar dari penjara, juga jelas lafal Jawanya. Itu wajar saja. Pernah pulakah kamu memperhatikan lafal dan kata-kata yang diucapkan tokoh-tokoh dalam Losmen? Kamu akan mendengar lafal Jawa yang jelas sekali dari mulut Pak Broto. Juga kata-kata khas Jawanya seperti lho, lha wong, mbok yo, walawala dan ya to? Perhatikan pula lafal dan ucapan kata Sunda dalam sinetron Pondokan seperti punten, mangga, dan kumaha atuh seperti yang sering diucapkan Bu Dedeh. Bahkan, tak jarang pula kata-kata daerah itu tampil secara utuh dalam kalimat." Anakku diam saja mendengar. Ia asyik kembali menonton. Saya juga begitu, kembali menghayati "kenikmatan Midun" yang dibawa oleh kesengsaraannya, dan yang diakhiri dengan "kesengsaraan Kacak" yang dibawa oleh kenikmatannya. Penulis cerita atau penulis skenario senang memakai warna lokal sebagaimana yang diwakili oleh kata, lafal, dan intonasi daerah, yang antara lain dimaksudkan untuk menambah kejelasan latar dari situasi cerita, sepanjang unsur itu relevan dengan apa yang diceritakan. Orang jadi tahu bahwa suatu cerita bermain di Jawa, Minangkabau, Sunda, Manado, Ujungpandang, atau tempat lainnya. Kata-kata yang memberi warna lokal itu sebenarnya dapat digolongkan dalam bentuk apa yang disebut kategori fatis yang tugasnya ialah memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan lawan bicara (Harimurti Kridalaksana, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, Gramedia, 1986, h. 113-116). Biasanya kelas kata ini terdapat dalam konteks dialog, yang umumnya merupakan ciri ragam lisan yang lebih menonjol ragam nonstandarnya, seperti, "Yang benar, ah!" "Ayo, kita makan." "Ia deh." "Tolong dong." "Lu kek, gue kek, sama saja." "Siapa sih orang itu?" "Lho kok jadi begini!" "Mbok yo jangan begitu to!" "A, etek bagaimana pula, ada baik-baik saja?" Penggunaan kata-kata yang tergolong kategori fatis yang diucapkan dengan lafal dan intonasi bahasa daerah atau dialek, perlu dipertimbangkan dengan masak. Jangan asal pakai saja, sebab kita ingat bahwa film itu akan ditonton oleh semua lapisan masyarakat di seluruh tanah air, dan pada gilirannya kata-kata itu akan ditiru pula pemakaiannya oleh remaja kita terutama. Kita jagalah agar mereka tidak meniru yang tidak pantas ditiru, sebab hal ini dapat merusak kemampuan berbahasa Indonesia mereka. Bahasa Indonesia mereka menjadi kacaubalau. Selain itu, penting pula diingat jika digunakan kata atau ungkapan dalam dialog yang sukar atau tidak dipahami artinya oleh penonton selain dari penutur bahasa daerah yang bersangkutan, jelas dialog tersebut tidak akan komunikatif. Dalam karya sastra misalnya dapat disebut Pengakuan Pariyem oleh Linus Suryadi, yang amat banyak kata, ungkapan, dan kalimat bahasa daerah (Jawa) yang digunakan sehingga tidak heran bila masyarakat selain penutur bahasa Jawa mengalami kesulitan untuk menikmatinya. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah pengantar yang paling tepat dan yang harus dibiasakan penggunaannya. Ucapan bahasa Indonesia berwarna lokal yang baik tidak harus memuat banyak kata lokal yang sukar. Dapatkah kita membatasi diri dalam menggunakan unsur lokal ini? Di sinilah slogan "Marilah kita gunakan bahasa Indonesia dengan (yang) baik dan benar" perlu kita tafsirkan dengan sebaik-baiknya. Baik, dalam arti tepat situasinya. Dalam situasi resmi kita berbahasa resmi, dalam situasi santai berbahasa santai. Benar, dalam arti kaidah atau aturan bahasanya betul atau benar. Jangan terbalik: dalam situasi santai berbahasa resmi dan dalam situasi resmi berbahasa santai. Ingatkah kita ucapan salah seorang pelawak dalam sebuah lawakan di TVRI yang dalam suasana santai bertanya kepada kawan-kawannya, "Teman, sudi apalah kiranya teman menolong saya!" Temannya yang diajak bicara hanya menjawab dengan pancaran keheranan di mukanya. Sebaiknya dia berkata, "Teman, tolonglah saya!" atau cukup dengan, "Tolong saya!" Tetapi kalau untuk melawak tentu lain halnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini