Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rezeki dari Atas Sadel

Dengan pendapatan pas-pasan, para pembalap sepeda tetap rajin menjelajahi dunia. Bendera tim bisa berganti-ganti.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TETEK-bengek perlengkapan telah dikemas, sepeda pun sudah dimasukkan ke mobil pengangkut. Jarum jam dinding Hotel Mandalawangi, Tasikmalaya, tempat pembalap Tour d'Indonesia menginap, menunjuk angka 07.35. Para pembalap bersiap menuju garis start etape 3 di alun-alun kota karena setengah jam lagi upacara pemberangkatan dimulai. Tapi Nathan Dahlberg, pembalap dari tim Greenfields Fresh Milk (GFM), masih menguap, mencoba membuka matanya di kamar hotel.

Puspita Mustika Adya, manajer tim Greenfields, pun kelabakan. Dia lalu memaksa Dahlberg segera keluar dari selimut, mandi, berkemas, dan meluncur ke garis start.

Itu masih lebih baik. Saat mengawali lomba di Jakarta (etape 1), Dahlberg tidak hanya bangun kesiangan. Mobil yang mengangkutnya juga sempat nyasar ke Monas, padahal start diadakan di Balai Kota. "Akibatnya, tim saya nyaris telat," ujar Puspita sambil tersenyum geli.

Sebagai manajer, bekas pembalap nasional itu harus selalu mendisiplinkan anggota timnya. "Dahlberg pun tidak marah bila saya paksa bangun. Malah dia pesan sejak awal, saya harus mengatur dia," kata Puspita. Padahal, di luar arena, Dahlberg adalah bos tim Greenfields, yang notabene menggaji Puspita.

Tim Greenfields berinduk pada klub Marco Polo Cycling Club, yang berkedudukan di Belanda. Presiden dan pengurus klub ini terdiri atas para pembalapnya sendiri. Nama GFM hanya mereka pakai khusus untuk kejuaraan Tour d'Indonesia. "Itu sesuai dengan perjanjian dengan sponsor. Di tur lain, kami mungkin memakai nama lain," ujar Dahlberg.

Dalam Perserikatan Olahraga Bersepeda Internasional (UCI), Marco Polo terdaftar sebagai klub divisi tiga alias trade team 3 (TT3). Klub profesional jenis ini masih boleh mengikuti kejuaraan amatir semacam Tour d'Indonesia. Sedangkan klub berkategori di atasnya, TT1 dan TT2, hanya boleh mengikuti balapan profesional. Dalam tur kali ini, ada dua klub lagi yang berkategori TT3, yakni Giant Racing Team (Taiwan) dan Pagcor Casino Pilipino (Filipina). Giant diperkuat pembalap multibangsa, sedangkan Pagcor beranggotakan atlet Filipina sendiri.

Tim Greenfields selalu nongkrong di peringkat pertama untuk kategori beregu sejak etape 1 (Jakarta-Lembang) sampai etape 4 (Semarang-Yogyakarta). Dari kelima anggotanya—Dahlberg, Stig Dam, Morten Knudsen, Ben Robson, dan Anno Pederson—belum ada satu pun yang menjadi juara etape. Tapi tiga di antara mereka hampir selalu masuk sepuluh besar. Ini yang membuat Greenfields unggul dalam total kecepatan. Bahkan, sejak etape 3, Dahlberg selalu naik pang-gung untuk mengenakan jaket kuning (yellow jersey) sebagai pembalap dengan total kecepatan terbaik.

Berusia 39 tahun, Nathan Dahlberg masih tangguh menggenjot sepeda. Lelaki berkewarganegaraan Selandia Baru ini juga cukup lihai mengelola klubnya, Marco Polo. "Kantor resmi klub saya memang di Belanda, tapi sesungguhnya markas Marco Polo ada di dalam laptop saya," katanya sambil terkekeh. Ia ditemui Tempo saat bersantai bersama Puspita di Hotel Yogya Plaza, Kamis malam pekan lalu.

Lelaki berkepala sedikit botak itu tidak sepenuhnya bergurau. Kendati memiliki kantor di Belanda, Dahlberg hanya bisa mengkoordinasi anggota klubnya lewat e-mail. Soalnya, "Kami tim internasional yang selalu bergerak ke mana ada kejuaraan," ujar ayah tiga anak ini. Apalagi anggota klub ini multibangsa. Stig Dam dan Morten Knudsen, misalnya, berasal dari Denmark dan Anno Pederson dari Belanda.

Gagasan membentuk klub Marco Polo pun muncul dalam suatu perlombaan empat tahun silam. Dalam setiap kejuaraan, anggota tim dan manajernya berubah-ubah. Mereka juga bisa merekrut pembalap lain. Syarat untuk menjadi anggota tim Greenfields amat gampang. "Asal bersedia tidak dibayar. Sebab, kami hanya menyediakan fasilitas selama perlombaan," ujar Dahlberg. Jadi, pendapatan pembalap bergantung pada hadiah yang diraih dalam lomba.

Sebelum menjadi manajer Greenfields, Puspita Mustika sudah kenal dengan Dahlberg. Mereka kerap berhubungan lewat e-mail. Dengan surat elektronik pula ia mendapat tawaran menjadi manajer. Gajinya? "Ya, adalah, tapi rahasia dapur, dong," katanya. Dahlberg lalu menimpali, "Jumlahnya cukup, tapi tak banyak."

Kendati menjadi Presiden Marco Polo, Dahlberg mengaku tak memiliki banyak duit. Terkadang ia tidak turun lomba, hanya mengawal timnya. Pekerjaannya jadi sopir mereka. "Kami profesional. Sebagai sopir, saya juga mendapat gaji. Itu untuk menutup penghasilan saya yang tidak besar," katanya.

Selama membalap, Dahlberg amat setia dengan sepeda andalannya, sepeda merek Concorde produksi tahun 1980-an. Bahannya dari besi, beratnya minta ampun. Dibandingkan dengan sepeda canggih, terbuat dari fiber atau aluminium, yang biasa dipakai pembalap internasional sekarang, sepeda Dahlberg jelas ketinggalan zaman. Gara-gara tak punya duit? "Bukan…, karena sepeda itu ada magisnya," kali ini rekannya, Pederson, meledeknya.

Tim lain seperti Poligon Sweet Nice Pro, Surabaya, juga tidak mengeluarkan banyak duit. Manajernya, Harijanto Tjondro, mengaku bisa merekrut dua pembalap asal Kazakstan, Vyacheslav Dyadichkin dan Yevgeniy Yakovlev, karena relasinya. "Mereka saya dapat karena hubungan persaudaraan saya dengan manajer klub Dynamo Alatau Kazakstan," katanya.

Yang lumayan makmur mungkin tim Giant Asia Racing. Pembalap di tim ini mendapatkan gaji bulan-an US$ 1.000- US$ 1.500 (sekitar Rp 9 juta- Rp 13,5 juta). "Soal bonus, itu tergantung prestasi pembalap di sebuah turnamen," kata manajernya, Qiu Jijin.

Giant berkedudukan di Taiwan. Pembalapnya multibangsa. Mereka antara lain Ghader Mizbani (Iran), Edmund Hollands (Australia), dan Kuan Hua Lai (Taiwan). Khusus di Tour d'Indonesia, Giant menyewa dua pembalap tuan rumah: Yosua Sudargo dan Amir Mahmud.

Dikontrak selama setahun, Mizbani mendapat gaji paling tinggi, Rp 13,5 juta tiap bulan. Lelaki 28 tahun ini harus turun di sepuluh kejuaraan setiap tahun. Jangan heran bila ia lebih sering menjelajahi dunia, terutama Asia. Rencananya, lima bulan lagi, selepas tur di Taiwan, ia akan menikah dengan gadis impiannya: teman kuliah sepupu perempuannya. "Bila tak membalap lagi, mungkin saya akan ikut perusahaan roti ayah saya atau bergabung dengan perusahaan kakak saya," katanya.

Dibandingkan dengan pengeluaran sehari-hari, duit yang didapat Mizbani dan juga pembalap lain memang tak seberapa. Kecintaan mereka pada balap sepeda yang mendorong mereka terus berlomba.

Toh, tak selamanya para pembalap bisa nongkrong di atas sadel. "Saya sekarang sudah mengurangi jadwal lomba karena sudah tua," kata Dahlberg. Dulu ia sanggup membalap sampai 120 hari dalam setahun. Mungkin Dahlberg juga ingin membenahi hidupnya karena ia sudah bercerai dengan istrinya. "Memang banyak pembalap bercerai karena jarang di rumah," katanya sambil tertawa.

Andy Marhaendra


Hadiah Tour d'Indonesia

Juara Umum Beregu
Peringkat 1: Rp 126 juta
Peringkat 2: Rp 90 juta
Peringkat 3: Rp 67 juta

Juara Umum Perseorangan
Peringkat 1: Rp 76 juta
Peringkat 2: Rp 54 juta
Peringkat 3: Rp 40 juta

Catatan: Pembalap perseorangan atau regu yang mendapat peringkat di tiap etape juga mendapat hadiah, dengan jumlah lebih kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum