Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

DPR Baru: Penyeimbang atau Pengganjal?

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERPILIHNYA Agung Laksono sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 menunjukkan perimbangan kekuatan politik di Senayan tidak banyak berubah. Agung, seperti juga pendahulunya, Akbar Tandjung, berasal dari Partai Golkar. Di posisi wakil ketua, hanya satu (dari tiga) muka baru, yakni Zaenal Maarif dari Partai Bintang Reformasi.

Bukan berarti tak ada dinamika. Membuka periode baru ini di Senayan hadir Koalisi Kebangsaan, enam partai yang bersekutu sejak pemilihan presiden tahap kedua untuk memenangkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Kemenangan Agung Laksono boleh dikatakan merupakan pembuktian bahwa koalisi yang menguasai 58 persen kursi DPR itu merupakan kekuatan yang tangguh di Senayan.

Kenyataan ini tidak otomatis menunjukkan bahwa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla akan menjadi bulan-bulanan DPR. Jika semua kita percaya pada niat baik, tidak berarti pula setiap inisiatif dan kebijakan pemerintah akan diganjal oleh DPR—tindakan yang akan membuat pemerintahan tidak efektif dan kehilangan arah. Sebaliknya, DPR yang kuat akan menciptakan mekanisme checks and balances yang baik dalam konteks hubungan pemerintah dan DPR. Dengan kata lain, DPR akan menjadi kekuatan "oposisi" yang memang diperlukan dalam sebuah negara yang demokratis—walaupun oposisi tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia. Terciptanya keseimbangan kekuatan antara DPR dan pemerintah ini adalah sebuah kemajuan bagi demokrasi kita. Di masa Orde Baru, DPR diintervensi dan dikebiri sedemikian rupa sehingga kekuatannya untuk mengimbangi pemerintah hancur. Yang terjadi: DPR di masa lalu tidak lebih sekadar tukang stempel "setuju" dari semua kebijakan yang digagas pemerintah.

Sekarang berbeda. Pembahasan rancangan undang-undang barangkali akan diwarnai debat panjang karena perbedaan sudut pandang antara DPR dan pemerintah. Namun, pembahasan yang panjang akan membawa kedalaman pengkajian materi dan kekayaan perspektif, dan karena itu kelak lebih efektif di lapangan. Lima tahun ini mungkin era hubungan Senayan dan Istana yang "riuh-rendah", tapi juga lahirnya keputusan-keputusan yang sarat argumen.

Semua ini bisa terjadi apabila Koalisi Kebangsaan mampu mempertahankan koalisi itu secara permanen. Ini bukan pekerjaan mudah. Sejak bergabung dengan isu besar mengusung Mega-Hasyim ke Istana—tentu dengan segala benefit dan daya tariknya—belum ada lagi isu besar yang merekatkan partai-partai pendukungnya. Kepentingan jangka pendek sangat berpotensi merusak jalinan antar-partai itu. Pemilihan Ketua DPR yang baru terjadi adalah satu contoh. Ketika Partai Persatuan Pembangunan berpeluang mengegolkan kadernya, Endin A.J. Soefihara, sebagai Ketua DPR, maka PPP menarik diri dari Koalisi dan membentuk kelompok sendiri. PPP bahkan bersekutu dengan "musuh politik" Koalisi Kebangsaan, yaitu Partai Demokrat.

Preseden seperti pemilihan Ketua DPR ini agaknya akan sering terjadi di periode 2004-2009. Partai-partai akan berkelompok sesuai dengan isu dan kepentingan konstituennya ketimbang bertahan dalam satu sikap yang ditentukan Koalisi Kebangsaan. Sulit membayangkan, misalnya, PDIP—yang selalu mengibarkan jargon pembela wong cilik—menolak usulan pemerintah untuk memajukan ekonomi pedesaan atau menunda pencabutan subsidi BBM. Bertahan pada sikap bersama yang dipandu Koalisi Kebangsaan, dengan mengabaikan suara konstituen, bisa berakibat partai dan juga anggota DPR ditinggalkan pemilihnya.

Sebelum bicara cara bersikap, anggota DPR sekarang sudah ditunggu pekerjaan besar: memperbaiki kredibilitas akibat "cacat" masa lampau. Kinerja wakil rakyat periode lalu sangat mungkin dicatat sebagai salah satu yang buruk. Tingkat kehadiran anggota rendah, aroma suap dan korupsi menyebar luas melalui ajang pembahasan aturan hukum dan kegiatan lain. Sudah lama di Senayan ada istilah "komisi air mata" dan "komisi mata air". Yang satu menggambarkan wilayah kerja yang "kering", lainnya menggambarkan wilayah kerja di mana "hadiah dan upeti"—baik yang diminta maupun tidak—dengan mudahnya didapatkan, dalam bilangan yang membelalakkan mata.

Maka, sangat penting memberikan jaminan bahwa semua keburukan di Senayan tidak berulang. Bertindak asal kritis, asal bunyi untuk "meninggikan harga suap" di mata mitra kerja—seperti yang terjadi di masa lalu—hanya akan makin merontokkan kepercayaan rakyat pada DPR. Apabila banyak tindakan DPR kelak yang tidak cocok dengan aspirasi rakyat luas, kepercayaan rakyat pada sistem perwakilan kita bisa pudar dan kekuatan ekstra-parlementer bisa kembali marak. Kemungkinan ini sangat masuk akal apabila diingat bahwa DPR periode ini untuk pertama kali akan bermitra dengan presiden-wakil presiden yang memiliki legitimasi tinggi karena dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.

Untuk menjadi kekuatan yang sanggup melakukan kontrol yang baik, DPR perlu bersih, kredibel, dan bekerja sungguh-sungguh—dengan gaji yang lebih dari cukup itu. Dan seperti pesan penyanyi Iwan Fals, jangan tidur waktu sidang soal rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus