Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah pojok wilayah Queens, New York, Amerika Serikat, pekan lalu, seorang wanita berwajah mungil melambaikan tangan dari pintu mobil, seakan memberikan isyarat untuk mendekat. Ketika wartawan Tempo menghampirinya, pintu mobil dibuka cepat membiarkan wartawan Tempo masuk, dan kemudian mobil segera berlari. "Mereka mengancam mau menculik saya," kata Faridah Abdullah, wanita yang melambaikan tangan tadi, membuka percakapan.
"Mereka" yang ditunjuk Ida—begitu ia menyebut dirinya—bukan geng Hispanik, penguasa bawah tanah wilayah Queens, tempat dia tinggal. Yang membuat Ida tak leluasa keluar berbelanja, pergi ke tempat cuci pakaian, atau sekadar berjalan-jalan di luar flatnya yang sempit diduga adalah orang-orang yang diadukannya. Setiap kali berpapasan dengan orang bertipe wajah Melayu, Ida kalut. "Mereka bisa mengupah siapa saja, kok," katanya. Keringatnya mengalir melintasi alis mata, padahal mesin pendingin mobil tak pernah berhenti menyala.
Ida berkisah tentang upaya penculikan dirinya. Teror terakhir diterimanya pada malam 20 September lalu, tatkala majikannya tidak di rumah. Dua orang laki-laki lalu-lalang terus di depan rumah sambil tak henti-henti memanggilnya. "Ida, ayo keluar. Kamu tidak bersalah," kata Ida menirukan pengancamnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Semua bermula dari sebuah surat terbuka yang ditulisnya 6 Agustus lalu. Surat terbuka itu berjudul "Penjelasan kepada Masyarakat Indonesia" dan juga ditandatangani Surinder Kaur, seorang notaris publik di Queens County, New York. Surat itu kemudian beredar dari tangan ke tangan, termasuk sampai di tangan KBRI Watch, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan perangkat pemerintah RI yang lain di AS. KBRI Watch mengatakan bahwa kasus ini telah ditangani pengadilan distrik New York. Lembaga pengawas yang berkedudukan di Washington, DC, itu meminta pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Luar Negeri, menyelesaikan kasus transaksi seksual ini. "Apalagi kasus ini diduga melibatkan beberapa nama pejabat tinggi atau diplomat di lingkungan Konsulat Jenderal RI di New York," kata Agung Budi Waluyo, Koordinator KBRI Watch, dalam siaran pers kepada Suara Merdeka CyberNews Selasa pekan lalu.
Tentu yang dimaksud adalah kasus Faridah. Dalam surat terbuka itu, Faridah bercerita gamblang tentang pengalamannya menjadi wanita penghibur lelaki hidung belang di New York selama satu tahun terakhir ini. Pelanggannya tidak hanya terbatas bule-bule yang bosan dengan para pelayan seks yang kelayapan di 42nd Street, tapi juga komunitas asal Indonesia di kota itu. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, testimoni Ida menyertakan daftar tidak kurang dari 41 orang pelanggannya yang berasal dari Indonesia.
Ke-41 orang itu memiliki pekerjaan dan status sosial beragam, dari tukang bangunan dan pekerja lain asal Indonesia di New York hingga sejumlah pejabat penting Indonesia yang bekerja di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York.
Tentu saja Ida, yang hanya berpendidikan sekolah dasar, tidak akan punya pelanggan kalangan sedemikian beragam tanpa bantuan calo. Dalam surat terbuka tersebut, wanita asal Sumbawa itu menyebut empat orang calo yang mengatur transaksi. Mereka adalah James dan David Stover, keduanya orang Amerika, serta Sahat Simanjuntak dan Robert Silaen asal Indonesia.
Mengapa Ida sampai mampir di New York dan bertemu dengan empat calo tadi?
Nasib buruklah yang mengirim Ida ke Amerika Serikat. Awalnya, karena terbelit persoalan ekonomi dan kecewa lantaran suami yang tak bertanggung jawab, Ida berangkat ke Arab Saudi pada 2001. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga Samih al-Khadra di Jeddah. Majikannya ramah dan penuh perhatian.
Setahun kemudian, ketika anak perempuan majikannya, Eman al-Khadra, yang tinggal di Boston, AS, melahirkan, Ida dikirim ke Boston. Bukannya perbaikan nasib yang diterima, aniaya dan kekerasanlah yang menjadi "menu" Ida sehari-hari. "Saya sering ditampar, dipukul. Tidur pun harus di lantai," kata Faridah menerawang. Tidak hanya itu, gaji sebesar US$ 300 per bulan pun tak pernah dibayar penuh.
Empat bulan menanggung derita, Ida tak tahan. Ia minta pulang. Apa jawaban yang dia terima? "Mereka dengan enteng menjawab tak ada uang," kata Ida. Kalut dan kecewa membuat Ida nekat. Tanpa bekal memadai, hanya pakaian dan paspor, Ida pun kabur. Majikannya bisa jadi merasa beruntung karena tak perlu mengeluarkan uang. Majikan itu juga tak pernah terdengar mencari Ida.
Pada Desember 2002 itu Boston diterjang musim dingin yang hebat. "Saya kelayapan tak tentu arah, dari pagi hingga malam," cerita Ida. Dalam dingin dan lunglai, beberapa kali Faridah meminta tolong. Sayang, bahasa Inggrisnya yang patah-patah membuat tak seorang pun mau mengulurkan tangan. Untung saja, seorang wanita bernama Fiora Houghtelling menemukan dan membawa Ida pulang ke rumahnya.
Fiora kemudian merawatnya selama dua hari, hingga kondisi Faridah membaik. Ketika Fiora menelepon Konsulat RI di New York, staf konsulat yang menerimanya adalah Pinna Silaen. "Sayalah yang membawanya ke rumah adik ipar saya, Kris Karto, yang kebetulan sedang perlu pembantu," kisah Pinna. Mulailah Ida bekerja pada keluarga Kris Karto.
Satu persoalan beres, tapi muncul masalah baru. Seminggu tinggal di rumah keluarga Kris Karto, Faridah jatuh cinta pada James Stover, tetangga majikannya. Cinta itu disambut hangat James, yang bahkan berjanji mengawini Ida. Tapi James inilah awal semua derita Ida. James mau mengawini Ida dengan syarat berat: Ida harus mau melayani orang lain dengan bayaran. "Saya pasrah saja karena dijanjikan kawin," kata Ida, yang berparas manis.
Kongsi mesum pun lahir dari akal busuk James ini. James dan rekannya, David Stover, mencari pelanggan asal Amerika. Sedangkan Sahat dan Robert menggaet pelanggan kalangan orang Indonesia. Robert pula yang menurut kisah Ida membawa pejabat dari Konsulat RI pada sekitar Maret 2003 dan meminta pelayanannya. Hari demi hari, kongsi mesum tadi terus saja "menjual" Ida.
Akhirnya Ida sadar bahwa ia ditipu. Uang hasil transaksi yang menurut dia sudah berjumlah sekitar US$ 20 ribu tak diterimanya sepeser pun. Padahal tarif rata-rata Ida tidak kurang dari US$ 200 sekali "tarik". Itulah yang membuatnya berang dan meledakkan kasus ini. "Bila tidak ditipu, biarlah saya bawa fakta ini ke kubur," kata Ida.
Kasusnya sendiri telah dilaporkan Kris Karto ke polisi dan sekarang sedang ditangani jaksa penuntut Distrik Queen County, Tara Choclin. Ketika dihubungi wartawan Tempo, Tara membenarkan kasus itu tengah ditanganinya. Hanya, ia menolak berkomentar lebih jauh. "Saya dilarang berbicara dengan wartawan," ujarnya.
Sampai saat ini, tak seorang pun di antara ke-41 orang dalam daftar itu yang sudi mengaku. "Itu cerita bohong, fitnah," kata Sahat Simanjuntak. Robert Silaen, yang tidak lain dari kakak ipar Kris Karto, juga membantah cerita Ida. Robert bahkan ganti menuding Kris Karto sengaja meniup-niup cerita itu demi kepentingan materi. "Saya tahu, ia sedang punya persoalan keuangan," kata Robert.
Pihak Konsulat Jenderal RI, melalui siaran pers, membantah semua pengakuan Faridah. Anehnya, tidak jelas siapa yang menandatangani surat bantahan nomor 002/PR/IX/04 bertanggal 30 September itu.
Kris Karto jelas berang. Menurut dia, niatnya melaporkan itu lantaran kasus ini telah memalukan keluarganya. Faridah juga turut menyesalkan bantahan KJRI. "Seharusnya Konjen menolong saya pulang ke Indonesia," kata Ida, yang mengaku sudah sangat merindukan anaknya di Sumbawa.
Yang menarik, hingga kini, tak satu pun dari 41 orang itu berupaya menempuh jalur hukum. "Itu bukan karena takut atau merasa bersalah. Kami pikir, diam adalah emas," kata seorang pejabat yang namanya ada dalam "daftar" Faridah.
Kabar itu sendiri sudah sampai ke Pejambon, kantor Departemen Luar Negeri RI. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengaku sudah mendengar kasus itu dari KJRI. "Melalui Irjen, kita akan segera memverifikasinya," kata Hassan.
Jadi, tinggal menunggu tindakan Menteri Hassan pada akhir masa jabatannya ini.
Darmawan Sepriyossa (Jakarta), Supriyono (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo