GAMBAR "Surat Fatihah Beringin" itu memang bagus. Lagi pula dari
segi makna, tepat. Bismillah, yang menjunjung nama Tuhan,
diletakkan di puuk. Sesudah isi Surat, penutup ayat terakhir
diletakkan paling bawah: waladldlaalliin. Artinya: "bukan pula
orang-orang yang sesat". "Orang-orang sesat" itu tampaknya
sengaja dibikin menyebal dari pohon, dan "melata".
Itulah sampul buku ukuran saku dengan tebal 16 halaman, dikenal
sebagai "Surat Yasin Golkar". Setidak-tidaknya begitulah orang
di Lombok menyebutnya. Seluruhnya memakai huruf Arab (kecuali
kalimat di sampul belakang: 'Wakaf dari Dewan Pembina Golongan
Karya'), risalah begini memang biasa dipakai orang dalam
pembacaan Surat Yasin beramai-ramai, di rumah ataupun makam. Dan
sampul "Fatihah Beringin' dengan demikian "efektif".
Tapi ada lagi hal lain, dan inilah bahan kontroversi. Sesudah
bagian Fatihah dan Yasin, terakhir dimuat doa. Dan kalimat
pertama doa itu, tertulis (artinya): "Allah, kami mohon
perlindungan kepada-Mu dan menitipkan kepadasMu agama-agama
kami, diri-diri kami . . ."
K.H. Moh. Zainuddin Abdul Madjid, pendiri organisasi Nahdlatul
Wathan yang punya banyak cabang serta berbagai pesantren dan
sekolah, hampir tiap hari ditanya para santri yang sedang
diajarnya tentang doa tersebut. Soalnya, memang. bagaimana
mungkin seorang Islam -- bahkan juga pemeluk agama lain akan
mendoakan "agama-agama kami" (tertulis dalam buku: adyanana)?
Kata Kiai Zainuddin lalu kepada TEMPO, "adyanana itu
('agama-agama kami') bisa merusakkan i'tiqad (pegangan keimanan)
umat Islam." Dan Kiai Zainuddin tak sendirian.
Bahkan H. Nuruddin SH, Kepala Kanwil Departemen - Agama NTB yang
juga Ketua Majelis Da'wah Islamiah (MDI-Golkar) Propinsi
tersebut, berharap adyanana itu hanya salah cetak. Untuk itu
Nuruddin, yang mengaku telah menyebarkan risalah tersebut 5.000
buah, menyatakan akan segera minta penjelasan kepada MDI Pusat.
Tapi ada pula suara dukungan kepada itu doa. H. Achmad Usman,
Kepala Dinas Penerangan Agama NTB, yang juga Ketua Majelis Ulama
provinsi tersebut, bilang: "Adyanana itu sudah benar". Ia
menunjuk kitab Wasilatul 'Ibad ila Zadil Ma'ad gubahan Sayid
Abdullah bin Al-Haddad, cetakan ke-9. Doa seperti ini ada pula
di sana.
Memang teks doa tersebut sebenarnya cukup dikenal. Paling tidak
dalam kelompok-kelompok tertentu, yakni sebagian (tidak semua)
kalangan Islam yang berada dalam tradisi seperti NU atau Perti
atau tarekat misalnya. Doa tcrsebut segaris dengan umpamanya
Ratib Al-Had dad, untaian wirid gubahan ulama yang sama.
Jelas tidak dikenal di kalangan seperti Muhammadiyah. K.H.
Ghazali Sahlan, Wakil Ketua Muhammadiyah DKI Jaya yang juga
anggota PP Muhammadiyah, bahkan menyatakan pembacaan kalimat
dalam doa itu bisa mempunyai konsekuensi dosa. Kecuali bagi
meteka yang tidak tahu artinya, menurut tokoh yang juga
Sekretaris Majelis Ulama DKI Jaya ini. Sebab mendoakan agama
lain memang tak boleh--dan "aneh". Lain halnya dengan mendoakan
saudara yang beragama lain, di luar urusan akhirat.
Bahkan Ghazali mengkhayalkan, andai yang dimaksud dengan
adyanana itu "agama-agama yang diturunkan kepada para nabi
sebelum Muhammad s.a.w.", itu pun tak tepat. "Sebab agama-agama
para nabi itu adalah Islam juga, hanya berbeda nama':
"Toleransi "
Apa kata pimpinan MDI Pusat lalu? MDI Tarmudji, salah seorang
ketuanya, yang membenarkan risalah Yasin itu dikeluarkan oleh
pihaknya, menyatakan: "Yang dimaksud dalam doa itu sebenarnya
agama Islam saja." Hanya ia tidak menjelaskan alasan-alasannya.
Penjelasan yang bagus malah diberikan oleh K.H. M. Syukri
Ghazali, Ketua Umum MUI. Meski tidak mendapati doa tersebut
dalam berbagai kitab hadis sebagai doa yang diwarisi (ma'tsur)
dari Nabi, Kiai Syukri rupanya bisa memahami maksud ulama yang
membikinnya. Idyan (agama-agama), jamak dari diin (agama),
jelas dimaksud pengarangnya sebagai agama Islam. Yaitu "agama
Islam yang sudah jadi 'milik' pribadi-pribadi." Itu memang bisa
berbeda-beda, misalnya dalam hal intensitas. Dan karena ia
milik, maka ia plural alias jamak.
Syukri tak lupa menunjuk, semua kata dalam doa itu juga tertulis
dalam bentuk jamak: "jiwajiwa kami, keluarga-keluarga kami" dan
seterusnya. Sehingga, walaupun Kiai Ghazali Sahlan tak setuju,
menurut Kiai Syukri memakai adyanana bisa dimengerti sebagai
usaha bikin gundah.
Toh Syukri mengakui, "agama-agama kami" dalam doa tadi "memang
bisa ditafsirkan lain di Indonesia ini." Di sini misalnya, orang
suka bicara soal toleransi agama-agama--meskipun, seperti kta
Ghazali Sahlan, "toleransi seharusnya tidak berkaitan dengan
doa. ibadat dan akidah (keimanan )."
Ghazali, yang ada mengkhawatirkan kalau-kalau doa tersebut
disebarkan dengan maksud itu menghubungkannya dengan buku PMP.
"Itu toleransi yang salah," katanya. Daya-upaya untuk
"menyamakan" agama-agama atau setidaknya tujuan agama-agama,
seperti yang dicerminkan oleh buku PMP, berlawanan dengan
kenyataan agama-agama sendiri Alias dibikin-bikin.
Yang jadi soal, tentu, karena "pembinaan" toleransi itu
dilakukan dari 'luar', dan karenanya selalu memberi kesan
soktahu. "Dan sekiranya bukan karena daya tolak yang diberikan
Allah kepada sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, tentu
sudah ditumbangkan biara-biara, gereja-gereja, kenisah-kenisah
dan masjid-masjid, tempat-tempat ang di dalamnya disebut nama
Allah banyak-banyak" (22:40), demikian kata ayat Quran. Tetapi
justru bukan potensi-potensi toleran seperti ini yang
ditumbuhkan -- yang juga bukan tak ada dalam agama-agama lain,
terbukti dari berbagai seminar dan diskusi antaragama yang
pernah diadakan.
Kiai Zainuddin, dari Lombok itu, agaknya sudah bersikap bijak.
Kepada para santrinya ia hanya berpesan: siapa yang mau memakai
doa dalam risalah Yasin Golkar itu, hendaklah mengganti kata
adyanana (agama-agama kami) dengan diinana (agama kami).
Terserah, apa maksud Golkar dalam menyebarkannya. "Maksud kami
'kan hanya wakaf," kata H. Tarmudji, kepada TEM PO. Juga
Zainuddin, ulam. 75 tahun itu, tidak membicarakan kaligrafi
"Fatihah Beringin" maupun kecenderungan satu dua pihak
"mempolitikkan" ayat Quran.
Tidak berarti kecenderungan "pemanfaatan ayat" tidak dicela.
Majelis Ulama Indonesia, dalam rapat kerja nasionalnya di
Jakarta kemarin, membicarakannya. Menurut penuturan Syukr
Ghozali, pada sidang pleno terakhir (9 Maret) sebenarnya
dicantumkan himbauan, agar dalam kampanye pemilu sekarang ini
tidak dibawa-bawa ayat Quran. "Takut penyalahgunaan arti,' kata
ketua umum itu. Tapi rupanya para ulama itu sendiri lalu
mendapat pikiran lain. Dalam laporan kepada Presiden esoknya,
himbauan itu dihapus. Diganti dengan pernyataan 'kebulatan tekad
pembangunan'.
Tak jelas, apakah karena itu pihak Muhammadiyah merasa perlu
mengeluarkan himbauan serupa. K.H.A.R. Fakhruddin, Ketua Umum
PP-nya, seperti dinyatakannya kepada Kompas m emberi petunjuk
kepada para anggotanya -- yang isinya kurang lebih sama dengan
yang dibicarakan di MUI tersebut. Ayat Quran maupun hadis, kata
Ketua PP, bukan hanya milik salah satu kontestan, tapi seluruh
umat Islam. Jangan sampai ayat . atau hadis "hanya berlaku untuk
keuntungan salah satu kelompok."
Syukri Ghozali sendiri bisa memberi contoh mengenai "politisasi
ayat" itu. Misalnya yang dilakukan juru kampanye PPP, pada
pemilu yang dulu. Ayat seperti "Dari mana pun kamu keluar,
palingkan wajahmu ke arah Masjidil Haram," memang menyuruh umat
muslimin menghadap Ka'bah, waktu salat. Tapi tentu bukan
menyuruh orang mencoblos Ka'bah.
Lebih-lebih yang diperbuat Golkar. "Sungguh Allah telah amat
berkenan kepada para mukmin, ketika mereka berbai'at kepadamu di
bawah pohon itu . . . . .," bunyi ayat dalam Surat A-Fath.
iudah bisa ditebak ke mana larinya 'pohon' itu, dalam kampanye
Golkar. Padahal, memang, di Mekah mana ada beringin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini