Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di balik sampul

Di lombok dan mungkin tempat-tempat lain, diedarkan "surat yasin golkar" sejumlah 5.000 buah. bergambar sampul "surat fatihah beringin". (ag)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMBAR "Surat Fatihah Beringin" itu memang bagus. Lagi pula dari segi makna, tepat. Bismillah, yang menjunjung nama Tuhan, diletakkan di puuk. Sesudah isi Surat, penutup ayat terakhir diletakkan paling bawah: waladldlaalliin. Artinya: "bukan pula orang-orang yang sesat". "Orang-orang sesat" itu tampaknya sengaja dibikin menyebal dari pohon, dan "melata". Itulah sampul buku ukuran saku dengan tebal 16 halaman, dikenal sebagai "Surat Yasin Golkar". Setidak-tidaknya begitulah orang di Lombok menyebutnya. Seluruhnya memakai huruf Arab (kecuali kalimat di sampul belakang: 'Wakaf dari Dewan Pembina Golongan Karya'), risalah begini memang biasa dipakai orang dalam pembacaan Surat Yasin beramai-ramai, di rumah ataupun makam. Dan sampul "Fatihah Beringin' dengan demikian "efektif". Tapi ada lagi hal lain, dan inilah bahan kontroversi. Sesudah bagian Fatihah dan Yasin, terakhir dimuat doa. Dan kalimat pertama doa itu, tertulis (artinya): "Allah, kami mohon perlindungan kepada-Mu dan menitipkan kepadasMu agama-agama kami, diri-diri kami . . ." K.H. Moh. Zainuddin Abdul Madjid, pendiri organisasi Nahdlatul Wathan yang punya banyak cabang serta berbagai pesantren dan sekolah, hampir tiap hari ditanya para santri yang sedang diajarnya tentang doa tersebut. Soalnya, memang. bagaimana mungkin seorang Islam -- bahkan juga pemeluk agama lain akan mendoakan "agama-agama kami" (tertulis dalam buku: adyanana)? Kata Kiai Zainuddin lalu kepada TEMPO, "adyanana itu ('agama-agama kami') bisa merusakkan i'tiqad (pegangan keimanan) umat Islam." Dan Kiai Zainuddin tak sendirian. Bahkan H. Nuruddin SH, Kepala Kanwil Departemen - Agama NTB yang juga Ketua Majelis Da'wah Islamiah (MDI-Golkar) Propinsi tersebut, berharap adyanana itu hanya salah cetak. Untuk itu Nuruddin, yang mengaku telah menyebarkan risalah tersebut 5.000 buah, menyatakan akan segera minta penjelasan kepada MDI Pusat. Tapi ada pula suara dukungan kepada itu doa. H. Achmad Usman, Kepala Dinas Penerangan Agama NTB, yang juga Ketua Majelis Ulama provinsi tersebut, bilang: "Adyanana itu sudah benar". Ia menunjuk kitab Wasilatul 'Ibad ila Zadil Ma'ad gubahan Sayid Abdullah bin Al-Haddad, cetakan ke-9. Doa seperti ini ada pula di sana. Memang teks doa tersebut sebenarnya cukup dikenal. Paling tidak dalam kelompok-kelompok tertentu, yakni sebagian (tidak semua) kalangan Islam yang berada dalam tradisi seperti NU atau Perti atau tarekat misalnya. Doa tcrsebut segaris dengan umpamanya Ratib Al-Had dad, untaian wirid gubahan ulama yang sama. Jelas tidak dikenal di kalangan seperti Muhammadiyah. K.H. Ghazali Sahlan, Wakil Ketua Muhammadiyah DKI Jaya yang juga anggota PP Muhammadiyah, bahkan menyatakan pembacaan kalimat dalam doa itu bisa mempunyai konsekuensi dosa. Kecuali bagi meteka yang tidak tahu artinya, menurut tokoh yang juga Sekretaris Majelis Ulama DKI Jaya ini. Sebab mendoakan agama lain memang tak boleh--dan "aneh". Lain halnya dengan mendoakan saudara yang beragama lain, di luar urusan akhirat. Bahkan Ghazali mengkhayalkan, andai yang dimaksud dengan adyanana itu "agama-agama yang diturunkan kepada para nabi sebelum Muhammad s.a.w.", itu pun tak tepat. "Sebab agama-agama para nabi itu adalah Islam juga, hanya berbeda nama': "Toleransi " Apa kata pimpinan MDI Pusat lalu? MDI Tarmudji, salah seorang ketuanya, yang membenarkan risalah Yasin itu dikeluarkan oleh pihaknya, menyatakan: "Yang dimaksud dalam doa itu sebenarnya agama Islam saja." Hanya ia tidak menjelaskan alasan-alasannya. Penjelasan yang bagus malah diberikan oleh K.H. M. Syukri Ghazali, Ketua Umum MUI. Meski tidak mendapati doa tersebut dalam berbagai kitab hadis sebagai doa yang diwarisi (ma'tsur) dari Nabi, Kiai Syukri rupanya bisa memahami maksud ulama yang membikinnya. Idyan (agama-agama), jamak dari diin (agama), jelas dimaksud pengarangnya sebagai agama Islam. Yaitu "agama Islam yang sudah jadi 'milik' pribadi-pribadi." Itu memang bisa berbeda-beda, misalnya dalam hal intensitas. Dan karena ia milik, maka ia plural alias jamak. Syukri tak lupa menunjuk, semua kata dalam doa itu juga tertulis dalam bentuk jamak: "jiwajiwa kami, keluarga-keluarga kami" dan seterusnya. Sehingga, walaupun Kiai Ghazali Sahlan tak setuju, menurut Kiai Syukri memakai adyanana bisa dimengerti sebagai usaha bikin gundah. Toh Syukri mengakui, "agama-agama kami" dalam doa tadi "memang bisa ditafsirkan lain di Indonesia ini." Di sini misalnya, orang suka bicara soal toleransi agama-agama--meskipun, seperti kta Ghazali Sahlan, "toleransi seharusnya tidak berkaitan dengan doa. ibadat dan akidah (keimanan )." Ghazali, yang ada mengkhawatirkan kalau-kalau doa tersebut disebarkan dengan maksud itu menghubungkannya dengan buku PMP. "Itu toleransi yang salah," katanya. Daya-upaya untuk "menyamakan" agama-agama atau setidaknya tujuan agama-agama, seperti yang dicerminkan oleh buku PMP, berlawanan dengan kenyataan agama-agama sendiri Alias dibikin-bikin. Yang jadi soal, tentu, karena "pembinaan" toleransi itu dilakukan dari 'luar', dan karenanya selalu memberi kesan soktahu. "Dan sekiranya bukan karena daya tolak yang diberikan Allah kepada sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, tentu sudah ditumbangkan biara-biara, gereja-gereja, kenisah-kenisah dan masjid-masjid, tempat-tempat ang di dalamnya disebut nama Allah banyak-banyak" (22:40), demikian kata ayat Quran. Tetapi justru bukan potensi-potensi toleran seperti ini yang ditumbuhkan -- yang juga bukan tak ada dalam agama-agama lain, terbukti dari berbagai seminar dan diskusi antaragama yang pernah diadakan. Kiai Zainuddin, dari Lombok itu, agaknya sudah bersikap bijak. Kepada para santrinya ia hanya berpesan: siapa yang mau memakai doa dalam risalah Yasin Golkar itu, hendaklah mengganti kata adyanana (agama-agama kami) dengan diinana (agama kami). Terserah, apa maksud Golkar dalam menyebarkannya. "Maksud kami 'kan hanya wakaf," kata H. Tarmudji, kepada TEM PO. Juga Zainuddin, ulam. 75 tahun itu, tidak membicarakan kaligrafi "Fatihah Beringin" maupun kecenderungan satu dua pihak "mempolitikkan" ayat Quran. Tidak berarti kecenderungan "pemanfaatan ayat" tidak dicela. Majelis Ulama Indonesia, dalam rapat kerja nasionalnya di Jakarta kemarin, membicarakannya. Menurut penuturan Syukr Ghozali, pada sidang pleno terakhir (9 Maret) sebenarnya dicantumkan himbauan, agar dalam kampanye pemilu sekarang ini tidak dibawa-bawa ayat Quran. "Takut penyalahgunaan arti,' kata ketua umum itu. Tapi rupanya para ulama itu sendiri lalu mendapat pikiran lain. Dalam laporan kepada Presiden esoknya, himbauan itu dihapus. Diganti dengan pernyataan 'kebulatan tekad pembangunan'. Tak jelas, apakah karena itu pihak Muhammadiyah merasa perlu mengeluarkan himbauan serupa. K.H.A.R. Fakhruddin, Ketua Umum PP-nya, seperti dinyatakannya kepada Kompas m emberi petunjuk kepada para anggotanya -- yang isinya kurang lebih sama dengan yang dibicarakan di MUI tersebut. Ayat Quran maupun hadis, kata Ketua PP, bukan hanya milik salah satu kontestan, tapi seluruh umat Islam. Jangan sampai ayat . atau hadis "hanya berlaku untuk keuntungan salah satu kelompok." Syukri Ghozali sendiri bisa memberi contoh mengenai "politisasi ayat" itu. Misalnya yang dilakukan juru kampanye PPP, pada pemilu yang dulu. Ayat seperti "Dari mana pun kamu keluar, palingkan wajahmu ke arah Masjidil Haram," memang menyuruh umat muslimin menghadap Ka'bah, waktu salat. Tapi tentu bukan menyuruh orang mencoblos Ka'bah. Lebih-lebih yang diperbuat Golkar. "Sungguh Allah telah amat berkenan kepada para mukmin, ketika mereka berbai'at kepadamu di bawah pohon itu . . . . .," bunyi ayat dalam Surat A-Fath. iudah bisa ditebak ke mana larinya 'pohon' itu, dalam kampanye Golkar. Padahal, memang, di Mekah mana ada beringin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus