MALANG-melintang di dunia tenis itukah ambisimu, Steffi? "Ya, menjadi petenis wanita nomor satu dunia merupakan cita-cita saya," begitu Steffi Graf selalu menyahut. Setahun lalu, setelah Martina Navratilova meraih gelar juara Wimbledon, dengan mengalahkannya dua set langsung, Steffi berbisik pada Martina. "Berapa kali kau ingin menjuarai Wimbledon ?" Jawab Martina, "Saya kira sembilan adalah angka yang baik buat saya." Waktu itu sudah delapan kali Martina menjadi juara Wimbledon. Angan-angan Martina ternyata runtuh. Dan si angin puyuh yang menerjangnya adalah Steffi, yang menjadi juara, dan dengan begitu membuktikan bahwa dialah petenis wanita nomor satu di dunia saat ini. Sang Ratu, Martina, telah ditaklukkannya. Steffilah kini Sang Ratu yang baru. Setahun bukan waktu yang lama bagi Steffi Graf, 19 tahun, untuk menobatkan dirinya menjadi ratu. Sabtu pekan lalu, direnggutnya gelar juara tunggal putri Wimbledon 1988 dari tangan juara bertahan, Martina Navratilova, dengan 3 set: 5-7 6-2 dan 6-1, dalam waktu dua jam lebih. Steffi pun meraih hadiah uang 148.500 poundsterling atau setara dengan Rp 450 juta. Buat gadis remaja seperti dia, uang mengalir ke koceknya bagai air selokan yang deras. Sebelumnya, cewek ini sudah mengumpulkan sekitar US$ 3 juta sejak meniti kariernya di dunia tenis pro lima tahun yang lalu. Hanya dalam waktu singkat ia langsung melejit di kalangan elit tenis. Tahun lalu, dalam usia belum lagi genap 18 tahun, ia berhasil menciptakan sejarah sebagai juara termuda Prancis Terbuka. Kini Wimbledon mengukuhkan itu semua. Ia jadi juara termuda dalam 36 tahun terakhir ini, setelah Maureen Connolly dalam usia 17 tahun jadi juara Wimbledon 1952. Gelar juara Wimbledon memang merupakan idaman bagi setiap pemain tenis kaliber dunia mana pun. "Menjadi juara Wimbledon memberikan arti tersendiri bagi saya," ujar Steffi seusai menerima trofi kejuaraan berbentuk piring. Bagi Steffi, gelar juara Wimbledon tahun ini memang diincarnya. Ini berarti, sudah tiga gelar juara turnamen seri Grand Slam direbutnya: Australia Terbuka, awal tahun ini, dan Prancis Terbuka, akhir Mei lalu, dan kini Wimbledon. Berarti tinggal selangkah lagi upaya Steffi untuk menggondol gelar juara Grand Slam -- meraih empat gelar juara turnamen seri ini dalam satu tahun. Dan menjadi wanita pertama yang meraih gelar itu, setelah Margaret Court di tahun 1970. Itu harus dibuktikannya dalam kejuaraan AS Terbuka, di lapangan keras Flushing Meadow, akhir Agustus mendatang. Steffi Graf melengkapi keperkasaannya dengan merebut gelar juara ganda putri Wimbledon. Berpasangan dengan pemain berwajah ayu asal Argentina, Gabriella Sabatini, dia menundukkan pasangan muda lainnya dari Uni Soviet, Larisa Savchenko dan Natalia Zvereva, dengan 6-3, 1-6, dan 12-10. Untuk menjadi pemain tenis nomor satu di dunia, Steffi harus menempuh jalan yang sangat panjang. dilahirkan di kota kecil Brueni, dekat Bon dari keluarga yang "gila" tenis. Ia sudah mulai menggenggam raket tenis sejak berusia 3 tahun 9 bulan. Ayahnya, Peter Graf, sampai harus menjual mobil demi hobi anaknya itu. Hasil penjualan mobilnya itu digunakan untuk membangun lapangan tenis dekat rumahnya. Sejak berusia delapan tahun, Steffi, mulai dilatih ayahnya secara intensif. Ternyata, jerih payah Peter tak sia-sia. Sejak berusia 11 tahun, Steffi sudah mampu keluar sebagai juara yunior Eropa -- padahal turnamen itu diikuti juga oleh peserta lainnya yang berusia di bawah 18 tahun. Menginjak usia 15 tahun ia sudah diundang untuk mengambil bagian dalam ekshibisi di Olimpiade Los Angeles 1984, sekaligus merebut medali emas. Ciri khas pemain berambut pirang ini adalah permainan base line yang dilengkapi dengan senjata pukulan forehand yang sangat keras dan sulit diduga arahnya. Di samping itu, kekuatan gadis berhidung mancung ini terletak pada motivasinya yang ekstrakeras. "Keinginannya untuk selalu menang selalu menggebu-gebu," tutur Peter. Sejarah lainnya dicatat juga oleh Stefan Edberg, 22 tahun. Dia merupakan pemain Swedia kedua, setelah Bjorn Borg, yang mampu menjuarai Wimbledon. Pemuda lajang asal Vastervik -- sebuah kota kecil yang terletak di daerah pantai berjarak sekitar 200 km dari Stockholm -- itu membungkam Boris Becker di final yang berlangsung Senin petang pekan ini, dengan skor 4-6, 7-6, 6-4, dan 6-2. Edberg mengantungi hadiah sekitar Rp 500 juta. "Kemenangan ini seperti mimpi rasanya," kata sang juara. Bagi kedua finalis itu, lapangan rumput bukanlah sesuatu yang menyulitkan. Malah di situ mereka sama-sama pernah mencetak prestasi hebat. Boris Becker pernah menjuarai Wimbledon 1985 dan 1986. Sedangkan Edberg juara Australia Terbuka -- sebelum dialihkan ke lapangan keras pada tahun ini -- tahun 1985 dan 1987. Mereka juga memiliki satu tipe permainan yang sama-sama mengandalkan serve and volley. Tapi kali ini bintang Swedia itu bermain lebih dingin dan cermat. Ia mampu meredam servis keras Becker. Petenis Jerman Barat itu sampai frustrasi dan sempat marah-marah dan membanting raketnya di set keempat sehingga mendapat peringatan dari wasit. Pemain bertubuh jangkung -- tinggi 188 cm atau 2,5 cm lebih tinggi dari Becker menutup kemenangannya dengan adu volley di depan jaring. Satu pukulan forehand volley yang begitu cepat tak dapat dikembalikan Becker dengan baik. Dan backhand volley Becker menerpa jaring. Kontan sekitar 21.000 penonton yang menyaksikan kemenangannya ini berdiri memberikan tepuk tangan. Edberg juara. Dia langsung berlari menuju ke kerumunan penonton, lalu menghampiri sang pacar, Annette Olsen, dan menciumnya mesra -- persis yang dilakukan Pat Cash tahun lalu di tempat yang sama. Sangat kontras dengan Steffi, Edberg justru dibesarkan dari keluarga yang tak begitu menggandrungi tenis. Sekalipun begitu, ia memang sudah diperhitungkan bakal jadi petenis besar. Itu terlihat dari bakat dan kemauannya yang keras untuk berlatih. Ia sendiri mengenal raket tenis pada usia tujuh tahun. Ibunyalah, Nyonya Barbro Edberg, yang membawa dia ke sekolah tenis di Vastervik. Tapi, setelah itu, pemuda yang sangat pemalu ini mengurus sendiri keperluannya untuk kegiatan sport ini. Setiap hari dia berlatih di bawah bimbingan pelatih pertamanya, Syen Bergsten. Pada usia 11 tahun, Edberg sudah mulai menunjukkan tanda bakal menjadi petenis tangguh. Yaitu setelah dia tampil sebagai juara pertama pada kejuaraan Donald Duck di kotanya. Sejak saat itu dia makin menggeluti tenis sampai kemudian berkenalan dengan Percy Rosberg, pelatihnya yang kedua. Di tangan Rosberg inilah kemampuan bermain tenis Edberg semakin meningkat. Sekalipun pernah juara Australia Terbuka, Edberg sebagai jagoan Swedia masih di bawah bayang-bayang Bjorn Borg atau Mats Willander yang lebih terkenal. Sampai nasib mempertemukan Edberg dengan pelatih asal Inggris Tony Pickard, akhir tahun lalu. Sejak itulah pemuda yang wajahnya mirip bintang film Robert Redford itu kemudian menetap di London. "Dia seperti seorang teman. Saya menyukainya," komentar Edberg terhadap pelatihnya itu. Sang nasib pulalah yang kemudian mengantarkan dia menjuarai Wimbledon tahun ini. Rudy Novrianto, Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta) dan Yudhi Surjoatmodjo (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini