SETELAH hampir 5 tahun diproses -- dan nasibnya sempat tak menentu -- akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional dibawa juga ke DPR. Terdiri atas pengantar dan 18 bab yang meliputi 60 pasal, RUU ini sifatnya masih umum. Menurut Menteri P dan K Fuad Hassan ketika mengantarkan penjelasan pemerintah di depan sidang pleno DPR Rabu pekan lalu, RUU ini sengaja dibuat umum, agar memungkinkan adanya pengaturan yang lebih khusus, sesuai dengan perkembangan. Dikatakannya, keberadaan undang-undang sebagai suatu sistem pendidikan nasional sangat penting, mengingat penyelenggaraan pendidikan yang kurang di atur oleh UU dapat mengakibatkan anarki dan merugikan banyak orang. Demikian pula pengaturan pendidikan yang memberikan kebebasan bertindak terlalu besar dapat memperlemah ketahanan nasional. Fuad mengakui, upaya mengadakan UUPN ini dimulai dengan prakarsa Dr. Daoed Joesoef, menteri P dan K pada Kabinet Pembangunan III. Langkah awal Daoed adalah membentuk Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN) yang diketuai Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, 1978. Komisi ini bertugas menyusun suatu konsep sistem pendidikan nasional yang bersifat semesta, menyeluruh, dan terpadu sebagai masukan mempersiapkan RUU. Komisi ini memang membuahkan hasil. Tapi RUU itu sendiri baru disusun setelah menteri P dan K dipegang Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, 1983, berdasarkan hasil kerja KPPN plus berbagai pendapat, terutama lewat media massa. RUU itu bernama RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional, sempat diajukan ke Setneg, tetapi kemudian ditarik kembali untuk diperbarui setelah menteri P dan K dipegang Fuad Hassan. Di masa Fuad, selain adaperubahan beberapa pasal, namanya dipersingkat menjadi: RUU Pendidikan Nasional. Inilah yang dibawa ke DPR dan dibahas saat ini. Proses penyusunan RUU akhirnya menjadi panjang karena keterlibatan tiga menteri. Perubahan konsep -- dan kemudian sampai masalah teknis, misalnya pasal-pasal -- tak terhindarkan. Menurut Dr. Harsja Bachtiar, Kabalitbang Departemen P dan K., konsep Daoed Joesoef ada yang dipangkas. Daoed Joesoef ingin agar semua penyelenggara pendidikan langsung berada di bawah atap P dan K. Dalam RUU ini keberadaan sekolah dinas atau lembaga pendidikan lain yang ada di luar P dan K tetap dipertahankan seperti semula, cuma sistemnya yang mengikuti sistem pendidikan nasional. Misalnya nama pimpinannya, jenjang pendidikannya, boleh tidaknya mengangkat guru besar, bagaimana memberi gelar. "Kesalahan Daoed adalah tidak membedakan sistem pendidikan nasional dengan pengelolaan satuan pendidikan," kata Harsja. Harsja memang terlibat sejak awal. Dia adalah ketua Tim Naskah Akademik yang tugasnya membuat Konsep Pendidikan Nasional -- yaitu pra-RUU -- dari hasil KPPN. Ketika RUU disusun di masa Nugroho dan diubah di masa Fuad, Harsja adalah wakil ketua tim penyusun. Satu pasal penting yang dicabut dalam RUU ini, yang ada dalam RUU sebelumnya adalah lembaga Dewan Pendidikan Nasionai (DPN). Secara pribadi, Harsja tetap menganggap penting DPN itu. "Sebagai asas penerapan demokrasi, agar kebijaksanaan pendidikan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tapi melibatkan tokoh-tokoh," kata Harsja. Pendapat Harsja ini senada dengan tanggapan Pengurus Besar PGRI, yang disampaikan kepada media massa Rabu sore pekan lalu. "Melalui dewan ini masyarakat dapat langsung dan praktis berpartisipasi menyumbangkan saran dan pemikirannya dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan," begitu bunyi tanggapan itu, yang ditandatangani Ketua Umum PB PGRI H. Basyuni Suriamiharja. Menurut Dr. A.M.W. Pranarka, yang menjadi sekretaris I KPPN (lembaga ini sudah bubar), dalam rumusan yang dibuat KPPN, dewan itu dicantumkan. "Saya juga berpendapat, ada gunanya dewan itu," kata Pranarka. Ia menduga, DPN ini dicabut karena kesulitan membentuk personalianya. "'Kan sulit menilai orang yang berwibawa." Apakah DPN itu akan muncul lagi atau dilupakan dalam pembahasan, semuanya tergantung DPR. Tapi Imam Sofwan, Wakil Ketua Komisi IX (membidangi pendidikan) DPR, berpendapat bahwa dewan itu memang tak perlu. Untuk asas demokrasi dan urun rembg, toh bisa lewat DPR, sebagai pembawa aspirasi rakyat. Di luar masalah DPN ini, tampaknya tak ada yang alot dalam RUU Pendidikan Nasional. Tak bakal ada gebrakan besar-besaran, misalnya jika RUU itu disahkan menjadi UU. Paling-paling -- jika mengikuti semangat RUU -- lembaga pendidikan swasta yang memakai nama sekolah, institut, akademi, yang tidak berada dalam satu sistem pendidikan nasional, akan berubah nama, sehingga dikategorikan kursus. Pelanggaran akan dikenai sanksi hukum. Keberadaan UU Pendidikan Nasional itu lebih berbicara secara politis, yakni memenuhi ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 Ayat 2, yang bcrbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang", sebagaimana yang ditekankan Menteri Fuad Hassan. UU ini akan mengganti "aturan main yang dibuat sepotong-sepotong", yaitu UU Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (yang mengatur pendidikan tingkat dasar dan menengah) dan UU Nomor 22 Tahun 1961 (mengatur pergulruan tinggi). Nah, menurut Harsja Bachtiar, RUU ini memang mencakup keseluruhan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Artinya, pengaturan itu sifatnya tidak kaku. "Lulusan SMTA jurusan sosial, misalnya, bisa masuk fakultas kedokteran. Yang penting, memiliki kemampuan, tidak dipersoalkan dari mana asalnya," kata Harsja. Soal mutu pendidikan, yang kini diprihatinkan banyak orang, bukan urusan RUU (lihat Bukan Mengganti Kurikulum). Agus Basri dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini