DALAM suatu forum diskusi di Jakarta 11 Juni lalu, pembicara pakar suami-istri Prof. Lawrence dan Prof. Heidi Wortzel dari AS mengemukakan, kini semakin sulit untuk memasuki pasaran AS. Dulu Jepang hanya menghadapi masalah bisnis biasa, yang menyangkut persaingan antara sesama mereka atau dengan perusahaan AS, dalam sistem perdagangan dunia yang pada dasarnya semakin bebas. Namun, para pendatang baru seperti empat macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura) juga harus berhadapan dengan masalah politis, dalam iklim yang semakin proteksionistis. Masalah ini makin berat, terutama karena defisit neraca perdagangan AS masih besar. Apakah pencabutan fasilitas GSP empat macan akan membantu negara lain seperti Indonesia, dalam upayanya meningkatkan penetrasi pasaran AS? Jawaban Heidi Wotzel agak mengejutkan: fasilitas GSP kurang dapat diandalkan, karena sewaktu-waktu bisa terancam dicabut, sedang kebijaksanaan yang bertumpu padanya dapat menyesatkan. Ia menganjurkan agar perumusan kebijaksanaan ekspor ke AS dilandaskan pada anggapan seolah-olah GSP tidak ada. Nilai ekspor empat macan yang termasuk dalam daftar GSP AS (GSP list) relatif besar. Tingkat pertumbuhannya juga cukup tinggi: selama Januari-Oktober 1987 mencapai hampir US$ 22 milyar, dibandingkan sekitar US$ 16,5 milyar selama 1986 (Indonesia baru sedikit di atas US$ 42,5 juta). Diversifikasi produknya juga sangat luas. Dari sekitar 3.000 kategori produk dalam GSP list, pada 1986 Taiwan mengekspor 1.571, Hong Kong 1.548, Korea Selatan 1.198, dan Singapura 533, sedangkan Indonesia baru 190 jenis. Laju pertumbuhan yang relatif tinggi menunjukkan, walau AS menghadapi masalah defisit neraca perdagangan, produk-produk tersebut masih mempunyai prospek dinamis di pasaran sana. Dalam tingkat dua digit pos tarif di buku Tariff Schedules of the United States (TSUS), ada sekitar 80 kategori produk dalam GSP list. Ekspor Indonesia yang seni1ai US$ 1 juta lebih selama 1986 baru meliputi 8 kategori, dengan nilai total kurang dari US$ 24 juta. Perinciannya: kayu lapis dan veneer US$ 8,7 produk kayu US$ 3,2 perhiasan dan kembang imitasi US$ 2,3 alat musik dan fotografi US$ 2,2 mainan dan alat olah raga US$ 2,1 produk gabus, bambu, dan rotan US$ 2,0 binatang hidup dan hasil daging US$ 1,8 dan bahan kimia US$ 1,4 juta. Di luar ini nilainya kurang dari US$ 5 juta. Bagi empat macan, dalam tahun yang sama nilai ekspor delapan kategori produk tadi hanya merupakan bagian kecil, tapi angkanya sudah melebihi US$ 4 milyar. Misalnya, mainan dan alat olah raga hampir US$ 2 milyar, dan alat musik dan fotografi US$ 1,5 milyar. Di luar kelompok ini, nilai ekspor mereka melebihi US$ 12 milyar (antara lain mesin dan peralatan listrik US$ 4,3 elektronik US$ 2,2 barang plastik dan karet US$ 1,1 produk besi baja US$ 1 milyar). Perbandingan ini barangkali dapat memberikan gambaran kasar mengenai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai dan diversifikasi ekspor melalui fasilitas GSP AS. Dari nilai ekspor empat macan sebesar US$ 22 milyar itu, hanya sebagian kecil yang mendapatkan fasilitas GSP. Bagian terbesar sekitar US$ 12 milyar atau lebih dari 53%) tidak memperoleh fasilitas, karena dilampauinya batasan kebutuhan daya saing (competitive need limitation). Sedang sebagian lainnya (US$ 1,4 milyar ataudi atas 6%) karena tidak memenuhi persyaratan administrasi. Yang betul-betul mendapatkan pembebasan bea masuk hanya kurang dari dua perlimanya, atau sedikit di atas US$ 8 milyar: Taiwan US$ 3,6 milyar (31% nilai ekspor) Korea Selatan US$ 2,1 milyar (42%) Hong Kong US$ 1,4 milyar (42%) dan Singapura US$ 1 milyar (62%). Kenyataan bahwa bagian terbesar ekspor dalam GSP list dilakukan oleh empat macan Asia tanpa pembebasan bea masuk, menunjukkan daya saing mereka yang mantap. Namun, ini tidak berarti bahwa peluang bagi Indonesia hanya semacam ilusi. Paling tidak, ada dua alasannya. Pertama, dengan kapasitas produksi kita yang ada, potensi untuk itu sudah dimiliki, meski masih laten. Misalnya karena sebelumnya dunia usaha kurang berminat atau tidak memikirkan untuk memasuki pasaran AS. Melalui GSP, serta perkembangan faktor intern dan ekstern yang menghasilkan kalkulasi bisnis baru, potensi ini dapat direalisir. Kedua, potensi tidak statis sesuai dengan kapasitas yang tersedia, tapi berkembang dinamis melalui investasi baru. Untuk mengamankan diri dari tekanan politis, beberapa dari empat macan perlu membatasi ekspor agar surplus neraca perdagangannya dengan AS yang sudah besar tidak makin membengkak. Ini mendorong mereka untuk mengalihkan basis ekspornya ke negara ketiga. Kemampuan mengekspor suatu produk tidak menjamin diperolehnya fasilitas GSP karena dapat terbentur pada masalah competitive need dan administrasi. Jerih payah untuk meningkatkan ekspor dalam rangka GSP akan sia-sia, bila dalam pengeksporannya terjadi keteledoran, sehingga tidak memenuhi persyaratan administrasi AS. Di lain pihak, keberhasilan yang berlebihan akan membahayakan kontinuitas perlakuan GSP. Jika perlakuan GSP terhadap suatu produk masih dianggap penting untuk mendorong ekspor, perlu dijaga agar nilai ekspornya tidak melebihi batasan competitive need. Batasan competitive need dikaitkan dengan impor atau GNP AS. Batasan ini dilampui bila nilai ekspor suatu kategori produk dalam GSP list melebihi separuh nilai impor AS, kecuali bila produknya belum dihasilkan (mencakup sekitar 220 kategori produk) atau nilai impornya masih deminimis (saat ini US$ 8,9 juta, disesuaikan dengan GNP AS). Atau di atas jumlah tertentu, yang setiap tahun disesuaikan dengan nilai nominal GNP (untuk tahun 1986 ditetapkan US$ 71,4 juta). Jika salah satu batasan ini dilampaui, perlakuan GSP masih tetap dapat diberikan untuk seluruh tahun, namun akan dihentikan paling lambat pada 1 Juli tahun berikutnya. Di kemudian hari perlakuan GSP masih mungkin diberikan kembali, tapi tidak otomatis karena penetapannya dikaitkan dengan kebijaksanaan graduation. Kemungkinan dilampuinya batasan ini dapat dipantau melalui warning list dalam Federal Register terbitan bulan Januari. Akhirnya dapat dicatat, melalui Trade and Tariff Act of 1484, pemerintah AS mendapatkan otorisasi untuk memberlakukan GSP hingga 4 Juli 1993. Masih tersedia waktu sekitar 5 tahun untuk memanfaatkannya, tapi apa yang akan terjadi sesudah itu belum dapat dipastikan sekarang. * Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini