Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah-kisah 'Stolen Generations'

Sebelas seniman Aborigin menyuguhkan karya yang melukiskan fragmen masa kelam Negeri Kanguru.

9 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak-anak ­perempuan suku Aborigin itu berpakaian seperti ibu angkatnya yang berkulit putih dan berhidung mancung. Mereka bertopi serta memakai sarung tangan dan tas tangan berwarna putih. Sedangkan seorang bocah lelaki saudara sesuku memakai kemeja putih dan berdasi. Pada gambar bergaya foto keluarga itu, wajah mereka memancarkan ketegangan dan hubungan yang tampak tak akrab.

Lukisan berjudul Ungrateful karya Julie Dowling itu berlatar kisah nyata bibinya, seorang perempuan Aborigin yang diadopsi paksa oleh orang kulit putih sejak berusia 2 tahun. Namun, dalam perjalanan, ia kerap dinilai sebagai anak manja yang tidak tahu berterima kasih. "Yang tidak tahu berterima kasih itu ibu berkulit putih atau anak hitam?" kata Dowling.

Lukisan lain berjudul Please Welfare, Don't Take My Kids karya Robert Campbell Junior menambah potongan kisah Julie Dowling itu dengan gambar pengambilan anak-anak Aborigin. Mereka dijemput paksa oleh petugas di rumahnya, langsung dari tangan para orang tua kandungnya, lalu "dididik" di panti-panti asuhan. Pada 1910-1970-an, pemerintah Australia melansir kebijakan asimilasi atau pembauran secara paksa. Tujuannya menghapus identitas orang Aborigin agar menjadi seperti orang kulit putih asal Inggris. Baru pada 2008, pemerintah Australia menyampaikan permintaan maaf soal kebijakan tersebut.

Fragmen sejarah kelam di Australia yang terkenal sebagai "Stolen Generations" itu menjadi salah satu tema dalam pameran karya 11 seniman keturunan Aborigin yang berkiprah selama 25 tahun terakhir. Bermukim di sejumlah kota di Australia, seperti Melbourne, Brisbane, Perth, Sydney, dan Canberra, mereka termasuk atau bagian dari generasi yang hilang, generasi keturunan Aborigin yang terputus dengan warisan leluhurnya pada abad modern. Lewat seni rupa, mereka berusaha menyambung tali identitas serta memaknai kembali seni modern dan budaya adat leluhurnya.

Pameran bertajuk "Message Stick: Indigenous Identity in Urban Australia" itu digelar di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, pada 22 Mei-11 Juni 2014. Rencananya pameran akan digelar di Jakarta pada Juli mendatang. Dalam katalog pameran, kurator Carrie Kibbler menulis artis urban keturunan Aborigin mulai bermunculan pada 1970-an dan 1980-an seiring dengan perubahan sosial dan aktivitas politik. Mereka menyuarakan hak-hak orang Aborigin, ikut aksi protes, serta beraksi terkait dengan isu generasi yang terampas, masalah rasial, dan kepemilikan tanah.

Pemerintah Australia kemudian bertindak dengan memberi dana, mempromosikan karya seni para seniman di Negeri Kanguru, hingga menyediakan fasilitas pendidikan seni di perkotaan. Di luar kota besar, para seniman belajar sendiri dari keluarga, memulainya dari barang kerajinan untuk turis, hingga hidup mandiri tanpa mengandalkan bantuan duit negara. Kalangan artis urban keturunan Aborigin gelombang kedua pada 1990-an meneruskan seniman perintis dengan bekal pendidikan seni di kampus-kampus.

Mereka, tutur Kibbler, makin paham politik dan menekankan soal identitas budaya, berfokus pada identitas adat. Masa itu juga diwarnai pengakuan pertama lewat pengadilan atas hak tanah orang Aborigin yang disengketakan pada 1992. Putusan itu sekaligus meruntuhkan doktrin bahwa Australia semula tanah tak bertuan sampai ditemukan oleh Kapten James Cook bersama armada pertamanya pada 1788. Selain menggelar kolonisasi, Kerajaan Inggris mengusir orang-orang Aborigin dari tanah kelahirannya.

Boleh dibilang mendatangkan orang dari berbagai negara oleh pemerintah kolonial ke Australia terasa masih menyisakan masalah sampai sekarang. Danie Mellor, seniman berusia 43 tahun yang berdarah campuran Eropa dan suku Mamu, menggambarkan kondisi hidup di antara dua budaya asli dan pendatang itu. Pada karya berjudul Native Gold dan The Heart's Tale, Mellor menempatkan satwa-satwa asli Australia, seperti koala dan kanguru, di alam berlatar bangunan berarsitektur Cina.

Adapun Daren Siwes melihat ke belakang sekaligus menatap ke depan. Lewat seri foto berjudul Gold Puella, Silver Puella, dan Bronze Puella, berupa uang koin, Siwes mengangkat persoalan kelas yang masih dibedakan di masyarakat. Ia pun menjadikan wajah seorang perempuan muda Aborigin dari samping kanan sebagai sosok pada uang koin itu, menggantikan wajah Ratu Elizabeth II.

Dua seniman lain, Christian Thompson dan Reko Rennie, mengambil tema kemaskulinan penduduk kota besar di Australia. Thompson memotret dirinya sendiri dengan pakaian berenda putih di bagian leher pada seri foto berjudul Hunting Ground 1-3. Sebelah matanya ditutupi gambar-gambar seperti wajah perempuan cilik Aborigin sedang tersenyum dan bunga berwarna merah muda. Sedangkan Rennie dengan seri grafiti di atas empat kanvas berjudul Me­ssage Stick menyandingkan bentuk geometris belah ketupat sebagai lambang lelaki dan perempuan di kalangan warga Aborigin pada tongkat kayu dan kaleng cat semprot.

Pameran yang didanai pemerintah Australia bekerja sama dengan Artbank itu telah dibawa keliling ke sejumlah negara sejak 2012, dari Turki, Afrika Selatan, Zimbabwe, Kenya, Nigeria, India, Thailand, Filipina, hingga terakhir di Indonesia. Dalam sambutan tertulis, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengatakan pameran yang menjadi bagian dari program seni dan budaya 2014 itu bertujuan memperdalam pemahaman di Indonesia tentang Australia modern.

Direktur Galeri Soemardja, Aminudin T.H. Siregar, menilai, secara karya, teknik-teknik melukis Aborigin seperti melukis dengan teknik doting dan tanpa perspektif pada pameran ini sangat kuat. "Topiknya sangat kritis. Berani tanpa harus berteriak keras," ujarnya. Ia menilai kurator jeli mencari seniman-seniman keturunan Aborigin. "Para artis itu mampu berevolusi, berawal sebagai perajin kemudian menjadi perupa." Meski begitu, Aminudin mengkritik label seni kontemporer dengan embel-embel seniman pribumi tersebut. Batasan itu, menurut dia, sebaiknya dihilangkan karena tidak berkaitan.

Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus