Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Semangat kutu loncat menyambut pon

Pekan olahraga nasional xiii pada 9-20 september. pembajakan atlet masih jadi topik hangat. yayuk basuki selayaknya tidak ikut bertarung. dan bagaimana para atlet mempersiapkan dirinya?

11 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERPINDAHAN atlet yang dipancing dengan bonus gede ternyata lebih hangat dari api PON XIII yang akan disulut di caldron Stadion Utama Senayan, Jakarta. Jawa Barat, misalnya, menawarkan Rp 30 juta plus pekerjaan untuk pedayung Abdul Razak dari Sulawesi Tenggara. Razak menolak lantaran ia dibesarkan di daerahnya. Semangat yang sama tampak pula di Jawa Tengah, yang ingin menyedot atlet daerah lain. Bonus untuk tiap peraih emas konon Rp 20 juta. Tercatat, Ardy B. Wiranata dari DKI Jaya bakal mengayun raket atas nama Jawa Tengah, yang berambisi merebut 20 medali emas. Buat DKI Jakarta, perpindahan atlet itu tak urung menimbulkan jengkel. Gubernur Surjadi bilang, tidak usah memakai lagi atlet tersebut, dan mereka diharapkan tidak kembali lagi. Ada 26 atlet DKI Jaya yang hijrah. Di antara yang menampungnya adalah Yogyakarta. ''Kami menerima pelarian atlet,'' kata Soebagio, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi KONI Yogyakarta. Salah satu yang ditampungnya, Nurhayati, pembalap sepeda putri dari Sum-Bar. Dan tak kalah seru dari atlet ''kutu loncat'' itu adalah tentang Yayuk Basuki. Sebagai petenis penyandang peringkat 41 dunia, kehadirannya banyak diprotes. Bahkan, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, bekas Ketua PB Pelti, mengancam tidak akan menonton Yayuk jika tampil di PON nanti. Bagi orang Yogya, Yayuk dianggap aset daerah. ''Saya mendukung Yayuk bisa ikut membela Yogya dalam PON XIII,'' kata Sultan Hamengkubuwono X, yang juga Ketua KONI Yogya. Yayuk adalah warga Yogya. ''Kami sudah bersusah payah membinanya, dan di PON inilah kami memungut hasilnya,'' kata Soebagio. Pesta olahraga yang berlangsung empat tahun sekali ini bakal diikuti 4.428 atlet pada 29 cabang. Bagaimana para atlet mempersiapkan dirinya, inilah antara lain: Judo Ceto Cosadek, 25 tahun. Di cabang banting-membanting ini, postur atlet DKI ini meyakinkan. Bobotnya 130 kg. Dia peraih dua medali emas di kelas berat SEA Games 1991 dan 1993. Pada PON ini ia akan turun di kelas bebas dan berat. ''Dua minggu ini saya makan daging Rp 1,5 kg sehari. Kini saya meningkatkan latihan tiap pagi dan sore selama empat jam, '' katanya kepada A. Kukuh Karsidi dari TEMPO. Judo sudah ditekuni Ceto sejak kelas IV SD. Selain judo, agar tak bosan dan untuk menjaga kondisi, sekali-sekali ia juga berenang, basket, atau joging. Bagi mahasiswa Institut Teknologi Indonesia, jurusan teknik mesin, ini meraih medali emas adalah sasaran. Tentang bonus, Ceto mengaku tidak menuntut macam-macam. Senam Jonathan Sianturi, 22 tahun. Pada SEA Games Manila tahun 1991, tulang fibulanya patah di dua bagian. Oleh para pengamat senam, kariernya dianggap tamat. Tapi ternyata belum. Pada SEA Games Singapura ia menyabet 2 medali emas, 4 perak, dan 2 perunggu. Di bawah bendera DKI Jaya ia diperkirakan merebut lima medali emas. Kemampuannya merata, baik di nomor senam lantai, gelang- gelang, maupun kuda pelana. Kiatnya? ''Pesenam kita jarang yang ngotot sewaktu berlatih. Motivasinya juga kurang,'' kata mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan ini. Ia berlatih senam sejak usia 6 tahun. Berawal dari dua kali seminggu, lalu meningkat menjadi lima kali seminggu pagi-sore. Bosan? Dia pernah ingin menangis lantaran benci pada rutinitas. ''Kalau ingat, saya memang merasa tersiksa banget,'' kata Jonathan kepada Joewarno dari TEMPO. Menembak Yuniarti Ilyas alias Nunik, 22 tahun. Menguasai senapan angin (air rifle) seberat 5 kg, sejak usia 16 tahun. Mula-mula ikut ibunya berlatih menembak. ''Menembak itu olahraga individu,'' katanya. Maksudnya, pelatih hanya memberi teknik dasar. ''Soal gaya menembak tidak ada yang baku, harus dicari, dan dipelajari sendiri,'' katanya. Di mata Nunik, menguasai olahraga senapan angin tak terlalu mahal dibandingkan dengan jenis pistol, yang harga pelurunya saja Rp 800 sebutir. Jadi, untuk sebuah senapan, sepasang jaket, celana, sepatu cukup bermodal Rp 10 juta. Nunik, yang kini kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, bermula berlatih di Klub Zero, lalu pindah ke Bimantara. Skor tertinggi yang pernah dicapainya adalah 382 pada Kapolri Cup, Juli silam. Lumayan. Sebab rekor dunia tercatat 396, dan kalau mau sempurna 400. Nunik mengaku maju berkat gembelengan pelatih RRC, Sheng Gua Cheng. ''Saya merasa terasah,'' katanya kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Kini Nunik menduduki peringkat 12 dunia. Atlet DKI Jaya berkulit sawo matang ini punya target ke Olimpiade Atlanta 1996. Dan medali emas di PON otomatis sudah di depan hidungnya. Atletik Frans Mahuse, 30 tahun. Pelempar lembing di bawah panji Jawa Barat ini bertekad akan meninggalkan kenangan manis pada PASI. Baru sebulan lalu ia sembuh dari cedera lutut akibat cairan di tempurungnya. Cedera itu ketahuan pada saat ia turun di Indonesia Terbuka 1991. Lemparannya anjlok, cuma 61 meter. Ada yang tak beres. Dialah pemegang rekor nasional dengan lemparan sejauh 75,58 meter. Berkat perawatan Prof. Dr. Chehab, Frans sembuh. Kini lemparannya 71 meter. Dalam PON 9-20 September nanti, Frans bakal bersaing dengan atlet Irian Jaya, Freddy Mahuse dan Timotius Sokai Ndiken. Timotius mampu melempar 70,14 meter. Freddy bisa sejauh 72,50 meter. Frans, juga asal Irian, lahir di Merauke. Di kelas III SMP ia sudah menjuarai Porseni dengan lemparan sejauh 49 m. Sejak itu ia berlatih intensif. Tahun 1984, Frans tinggal di Tangerang, Jawa Barat, tapi kerja di Bank Dagang Negara Jakarta. PON ini penampilan terakhirnya. ''Setelah itu, saya ingin menjadi pelatih,'' katanya. Renang Wisnu Wardhana, 19 tahun. Saat ini kepakan tangan dan pancalan kakinya sulit terbendung. Di SEA Games 1993 lalu, ia dinobatkan sebagai atlet terbaik putra. Empat medali emas, dua perak, dan sebuah perunggu untuk Indonesia adalah bukti perjuangannya. Wajar jika nanti Wisnu merajalela. Di rumahnya, tak kurang dari 200 medali dan 30-an tropi yang terkumpul. Itulah buah berlatih di kolam sejak usia 7 tahun. Adalah ayahnya, Aris, yang menentukan olahraga yang cocok buatnya. ''Saya survei sampai tiga bulan,'' kata Aris. Lalu Wisnu dimasukkan ke Klub Cucut. Ia juara se-DKI Jaya untuk kelompok umur di bawah 9 tahun, pada nomor 50 m gaya dada. Prestasinya meningkat lagi, juara se Indonesia. Setelah itu, Wisnu dihujani medali. Semua ini didapat melalui perjuangan. Dari Senin-Sabtu ia berlatih pagi dan sore, masing-masing satu setengah jam. Membosankan. Itu ditindasnya dengan berenang sambil menyanyi. Wisnu tahun ini lulus SMA. Bonus berupa Tabanas sudah banyak. Tahun depan ia berniat belajar ke Amerika. Selain Wisnu, ada Nasution Bersaudara. Dialah Elfira, 23 tahun, Maya, 20 tahun, Elsa, 15 tahun, dan Kevin, 13 tahun, andalan Jambi. Untuk PON kali ini jangan cuma melihat Elfira. ''Prestasi Maya dan Elsa sudah tidak jauh dari kakaknya,'' kata Raja Murnisal Nasution, sang ayah, sekaligus pelatih. Mereka dibina sejak kecil, dengan disiplin ketat. Pukul 10 malam mereka harus tidur, dan bangun subuh. Lalu salat, dan terjun ke kolam. ''Sekali tidak latihan, stamina terpengaruh. Dan tiga kali absen latihan sama saja dengan kembali ke titik nol. Latihan selama ini akan sia-sia,'' kata Raja kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Disiplin itu ditanam setelah kesepakatan keluarga. ''Kami menjalaninya biasa-biasa saja,'' kata Elsa, pelajar kelas I SMA. Justru disiplin itu membuahkan ganda: di kolam dan di sekolah rapor mereka tidak merah. Balap Sepeda Nurhayati, 23 tahun, andalan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika di PON XII lalu, saat Nur memperkuat Sumatera Barat, ia menyabet dua medali emas (nomor 1.000 dan 3.000 meter), kini juga mematok target serupa. Berkat dua medali emas tadi, ia menerima hadiah rumah dari Wali Kota Padang, Syahrul Udjud. Bonus Rp 5 juta juga masuk kantongnya dari Pemda Sum-Bar. Minatnya jadi atlet balap sepeda muncul tahun 1986, saat Tour de ISSI melintasi Kota Padang. Setahun kemudian ia berlatih pada Das Rizal, bekas atlet nasional. Di tahun 1987 ia ikut lomba di seputar Monas, kendati cuma di urutan kelima. Nur tercambuk untuk terus berlatih. Buntutnya, ia tak naik kelas III di STM 2 Padang. Orang tuanya marah, dan melarangnya bersepeda. Nur tetap membandel. Ia pindah ke STM Kosgoro, jurusan bangunan gedung. ''Saya curi-curi berlatih, dan akhirnya lulus juga,'' katanya. Pada Asian Games Beijing tahun 1990, ia menyabet medali perunggu di nomor 1.000 meter. Juaranya digondol atlet Cina, Zou Ling Mei, dengan catatan waktu 1 menit 12 detik. Catatan waktunya lebih lama lima detik. Selisih 5 detik itu sulit ditembusnya. Di PON nanti, ia ingin menjadi yang terbaik. ''Tapi saya tak mau takabur. Semua lawan berpeluang, terutama di nomor jalan raya. Banyak faktor yang menentukan, termasuk keberuntungan,'' katanya kepada Robby D. Lubis dari TEMPO. Dayung Abdul Razak, 29 tahun, atlet alam dari Sulawesi Tenggara. Berkutat di perahu sejak lulus SD, sebagai nelayan pemburu ikan dan telur Cakalang. Penghasilannya waktu itu sekitar Rp 100.000 per bulan untuk sekadar menghidupi istri dan dua anaknya. Nasibnya berubah pada 1989. Razak melihat atlet dayung Sulawesi Tenggara berlatih. ''Saya pun bisa,'' katanya dalam hati. Lalu, ia menghubungi pelatih atlet di sana. Setelah ikut tes, Razak mempecundangi atlet pelatda. Kehebatannya juga tak tertumbangkan di Kejurnas Dayung di Semarang, tahun 1989. Ia merebut dua medali emas. Di PON XII juga menyabet dua medali emas. Razak mendapat bonus rumah, dan mesin tempel merek Johnson seharga Rp 4,5 juta. Andalan Razak adalah nomor Kayak I 500 m, dan Kayak II 1.000 meter. Pada dua nomor itu praktis tak ada musuh yang rekornya mendekati Razak. ''Saya tetap yakin juara,'' katanya. Di nomor Kayak II ia turun bersama rekannya, Anisi. Menjadi atlet dayung itu tak sulit. ''Kalau tenaga kita kuat, ya, memang,'' katanya kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Ia berlatih setiap hari, minimal mendayung 30 kilometer. Selain itu, ada pula latihan beban. Ia bertekad mendayung sampai usia 35 tahun. Ia tidak bernafsu jadi juara dunia. Jika di daerah lain peraih emas bakal daput bonus gede, Razak mengaku tak tahu bakal dapat apa. ''Tapi yang sudah saya terima lebih dari cukup. Keluarga terjamin, saya makan enak, dan bisa istirahat,'' katanya. Makanya, tawaran agar ia bergabung dengan Jawa Barat ditampiknya. Angkat Berat Nanda Telambanua, 29 tahun. Bekas pedagang es yang tak tamat SD ini dijagoi Sumatera Barat meraih emas. Dia peraih medali emas di kejuaraan dunia junior angkat berat di Australia (1984) dan di Jerman (1985). Jumlah medalinya: 63 emas, 42 perak, dan 30-an perunggu. Prestasi Nanda belum luntur. Ayah dua putri yang turun di kelas 60 kg ini, dalam Pra-PON lalu, mencapai total angkatan 655 kg. Dia juara. Juara kedua cuma mengangkat total 590 kg. Belakangan ini total angkatan Nanda mencapai 680 kg. Nanda berlatih serius di Sasana Hasta Yudha, yang menyatu dengan rumahnya. Jatah makan dan transpor Rp 15.000 per hari, yang diterima selama TC, dirasa masih kurang. Ia nombok dari kantongnya Rp 5.000 per hari, untuk membeli 10 butir telur, 2 kg daging, dan dendeng ikan hiu. Tak tergiur pindah, ke Jawa Tengah, misalnya? Nanda menggeleng. Wali Kota Padang Sjahrul Udjud membantunya Rp 250.000 per bulan. Selain ''gaji'' itu, ia juga menerima Rp 125.000 per bulan dari PT Tidar Kerinci Agung. Pemasukan lain, dari warung makanan ringan dan minuman yang mengeduk Rp 10.000 per hari. Selepas PON nanti, ''Saya mau membeli rumah,'' katanya kepada Fachrul Rasyid HF dari TEMPO. Tabungannya dirasa cukup. Dari penjualan rumah tipe 45, hadiah bekas Gubernur Azwar Anas, dan menjual sebuah jeep hadiah Sjahrul Udjud, terkumpul Rp 26 juta. Bonus emas PON XIII? ''Saya tidak tahu bakal dapat apa,'' katanya. Angkat Besi Siswoyo, 25 tahun. Andalan Lampung ini tumbuh berkat gembelengan Imron Rosadi, pelatih yang sekaligus pemilik Klub Tovo. Rumah Siswoyo tak jauh dari markas Tovo. Orang tuanya mendukung. Sejak usia 15 tahun, ia pun mengangkat barbel. Hasilnya, di SEA Games Singapura, Siswoyo menggondol medali emas di kelas 67,5 kg, di Pra-PON di Yogya tiga medali emas. Ia berlatih intensif sejak Januari, pagi dan sore. Programnya begini: dua minggu latihan berat (mengangkat beban 20 ton per hari), dan seminggu latihan ringan (mengangkat beban 18 ton). ''Dengan melihat sorot matanya, ditambah memegang otot atlet, saya tahu dia disiplin berlatih atau tidak,'' kata Imron. Lampung mengandalkan angkat besi untuk meraih medali emas. Tapi, munculnya SK No. 39 KONI, yang isinya hanya memberi satu medali buat total angkatan, Lampung terpukul. Aturan ini dianggap aneh. Di gelanggang internasional, untuk angkatan clean and jerk, snatch, plus total angkatan masing-masing diberi medali emas. ''Barangkali SK itu dikeluarkan sehabis bangun tidur,'' kata Imron, sengit. Panahan Kusumawardani, 29 tahun. Peraih medali perak Olimpiade Seoul (bersama Nurfitriyana, dan Lilies Handayani) itu berjuang di kubu Sulawesi Selatan. Dua tahun, 1990-1992, ia menghilang karena hamil, melahirkan, dan merawat anak pertamanya. Kusuma berlatih memanah sejak usia 19 tahun. Wanita yang tinggi tubuhnya 153 cm ini punya nomor andalan FITA dan Perpani. Untuk mematangkan tarikan busur pada jarak 30 dan 50 meter, ia berlatih tiga kali sehari. ''Di situlah spesialisasi saya,'' katanya. Baru di awal tahun ini Kusuma kembali ke lapangan. Sebulan lalu ia masuk TC, tanpa perhatian pelatihnya. Kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO, Kusuma mengatakan, ''Saya tidak mau ribut-ribut. Kalau menang, hasilnya toh buat saya sendiri.'' Widi Yarmanto, R. Fadjri, dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus