Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Hati nurani sang juara

Iklan bimoli memojokkan perusahaan minyak goreng pesaingnya. namun, belum ada yang protes, dan tidak ada peraturan yang melarang soal itu.

11 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA pepatah Jawa yang bijak, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Artinya, kurang lebih, kalau kita menang tidak perlu mempermalukan musuh. Tampaknya, pepatah ini kurang diperhatikan oleh perusahaan minyak goreng Bimoli. Ahad pekan lalu, perusahaan yang sedang juara itu memasang iklan satu muka koran di Kompas. Bimoli mengumumkan kemenangannya sebagai minyak goreng yang paling laris di Indonesia. Posisinya itu digambarkan dalam sebuah grafik. Dalam grafik ''Minyak Goreng Paling Laris di Lima Kota Utama di Indonesia'' itu tampak pasar Bimoli melejit sendiri. Sementara itu, minyak goreng F, B, V, S, HSO, dan minyak lainnya terpuruk jauh di bawahnya. Kendati dengan inisial, banyak orang apalagi ibu rumah tangga paham merek-merek minyak yang ''kalah'' itu. Mereka itu adalah Filma, Barco, Vetco, Sunrise, Happy Salad Oil. Cuma, dalam grafik itu tidak dijelaskan peringkat itu dalam satuan apa. Yang jelas, kedudukan minyak goreng lainnya di ''telapak kaki'' Bimoli atau paling tinggi cuma di ''paha'' kejangkungan Bimoli. Kemenangan Bimoli itu juga diumumkan sebagai minyak goreng paling higienis di Indonesia tanpa menyebut hasil penelitian laboratorium mana. Pendeknya, kata sang iklan, itulah rahasia kelarisan Bimoli. Dalam iklan itu disebutkan grafik itu bersumber dari studi tentang Industri dan Pemasaran Minyak Goreng di Indonesia 1993 yang dilakukan PT Corinthian Infopharma Corpora. Juga didukung riset oleh Market Research Specialist dan Survey Research Indonesia. Pokoknya, lembaga independen. Persoalannya sekarang, etiskah iklan yang membawa-bawa ''orang lain'' itu. Yusca Ismail, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), mengatakan, ''Pencantuman hasil penelitian dalam iklan tidak melanggar etika periklanan.'' Dengan syarat, lembaga penelitian dan kriteria penelitian jelas, dasar pembandingnya sama, dan bisa dibuktikan. Yusca yakin iklan semacam itu etis. Kebetulan sekali Yusca adalah general manager biro iklan Perwanal pembuat iklan Bimoli itu. Memang pernah ada iklan yang dibredel kendati bersandar pada hasil penelitian, yaitu iklan rokok Sampoerna Mild beberapa tahun lalu. ''Mereka melanggar. Industrinya langsung ditegur dan akhirnya iklannya dihentikan, kata Ernst Katoppo, penggagas lembaga pengawas etika iklan yang bernama Komisi Tata Kama Periklanan anggotanya wakil-wakil biro iklan, radio swasta, televisi, bioskop dan produsen. Ketika itu Sampoerna akan meluncurkan produk baru Sampoerna Mild. Ia menarik pembeli dengan menyebut rokok gres itu berkadar tar dan nikotin paling rendah dibanding sejumlah rokok yang mereknya disebut secara lengkap. Keruan saja perusahaan rokok lain yang dibawa-bawa dalam iklan itu ''meradang dan menerjang''. Usut punya usut, kata Ernst Katoppo, riset Sampoerna itu dilakukan sendiri, bukan oleh suatu lembaga independen. ''Juga bukan oleh lembaga penelitian yang diakui,'' kata Katoppo, Direktur Pro Team, yang telah lama berkecimpung di bidang periklanan. Namun, Katoppo mengakui, rambu-rambu etika iklan masih banyak bolongnya. Kalau mengacu pada teori di buku teks, kata Katoppo, pegangan tata krama iklan hanyalah: harus dijiwai oleh persaingan yang sehat, tidak membandingkan langsung dua buah produk, dan tidak menyesatkan konsumen dengan perbandingan- perbandingan. Di situ disebutkan kekecualian, bila perlu membuat perbandingan, itu harus dilakukan oleh lembaga independen. Artinya secara harfiah, kata Katoppo, bisa saja Bimoli memasang iklan seperti itu. ''Namun pada prakteknya dunia iklan Indonesia tidak menganjurkan adanya comparative advertising,'' katanya. Landasannya satu: hati nurani. ''Ini bukan undang- undang, bukan hukum. Tidak ada sanksi,'' katanya. Lagi pula, kata Katoppo, norma negara Pancasila ini tidak mengekor pada norma Amerika yang membolehkan memuat lengkap nama produk saingan dalam iklan hasil survei. Dalam kasus iklan Bimoli ini, sampai akhir pekan lalu, tidak ada protes dari pesaingnya. Tapi, kalau ada yang mengadu pada Komisi Tata Krama, lembaga ini paling mengimbau dan menegur saja. Artinya, kalau si produsen keras kepala, ia tetap bisa saja memasang iklannya tanpa khawatir berhadapan dengan meja hijau, misalnya. Dalam kasus-kasus tertentu, biasanya Komisi Tata Krama Periklanan melibatkan media massa. Dengan begitu, pagar pengawasan mereka lebih kukuh. Artinya, kalau ada produsen bandel kendati sudah diimbau atau ditegur Komisi TataKrama Periklanan, Komisi akan langsung mengimbau media massa untuk tidak memuat atau menayangkan iklan tersebut. ''Jangan lupa media massa itu punya hak menolak iklan yang tidak mengindahkan tata krama yang didasarkan hati nurani,'' kata Katoppo. Imbauan langsung ke media massa ini pernah efektif dalam kasus iklan rokok ''Bentoel Remaja''. Iklan itu yang memperlihatkan para remaja merokok dinilai meracuni generasi muda. Media massa kompak tidak memuat iklan itu. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Subrata, mengaku belum mempelajari iklan Bimoli. Maklum, kebetulan iklan itu sendiri tidak ada yang ''meramaikan''. Sejauh ini, kata Dirjen Subrata, PPG sering menegur produsen yang membuat iklan berdampak merugikan masyarakat secara langsung. Misalnya iklan obat yang sembarangan. Bunga Surawijaya dan Dwi S. Irawanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus