DAN payung kebesaran itu pun dibakar. Seperti pemiliknya tak ingin meninggalkan jejak kebesarannya. ''Keagungan yang terakhir bersifat spiritual, dan itu justru tidak menjadi apa- apa.'' Itulah akhir Panji Sepuh, sebuah pertunjukan tari yang liris, digarap oleh Sulistyo Tirtokusumo, penari alusan, satu dari sedikit penari alusan Solo yang mencapai kesatuan keterampilan dan rasa. Di malam pertunjukan kedua di Teater Oncor, di Jakarta, sebuah rumah yang pelataran dalamnya dijadikan arena, Selasa malam pekan lalu, suasana yang disuguhkan selama sekitar satu jam adalah suasana suwung sebagai sajatining isi. Kekosongan yang sebenarnya berisi. Dari awal, arena disiapkan bagaikan pusaran air yang menyedot perhatian pelan-pelan. Ketika lampu dalam proses dimatikan, seorang lelaki dengan berkain dan telanjang dada mengelilingi arena yang diisi dengan sebuah terap dan gawangan lengkap dengan payung, tombak, busur, dan anak panah, simbol kebesaran wong agung. Ia membawa dupa, yang baunya menyatukan ruang. Maka, pelan-pelan perhatian pun terpusat ke arena, suara- suara penonton sedikit demi sedikit senyap. Dan ketika lampu padam, seorang lelaki dengan gerak halus mengisi kekosongan itu. Di keempat sudut terap tergolek tubuh. Ketika cahaya cukup untuk membedakan mata dan hidung, penari lelaki itu tampak bertopeng emas, dan keempat tubuh yang sudah bangkit bertopeng putih. Ketika itulah gerak bedaya yang bagaikan air mengalir menggerakkan gelap. Tangan-tangan empat penari wanita bertopeng putih itu bagaikan sampur yang menari, merespons gerak sosok bertopeng emas. Semuanya dalam sunyi, hanya angin. Panji Sepuh bukan tokoh yang hidup dan punya sejarah. Konon, inilah mitos yang hanya diketahui oleh beberapa kerabat Keraton Kasunanan Surakarta. Nama itu pun sebenarnya tidak ada, sekadar ciptaan Sulistyo untuk menyebut mitos itu. Dan mitos itu, menurut Tumenggung Kusumo Kesowo, kerabat keraton dan budayawan keraton, adalah tentang tari yang dilakukan oleh calon raja menjelang ia dinobatkan. Itu dilakukan di tempat tertutup, sendiri, tak seorang pun boleh melihatnya, tanpa gamelan. Dan kata Pak Menggung pada Sulistyo, muridnya, itulah sajatining beksa, tari yang sebenarnya. Penari yang terdidik sejak usia enam tahun itu pun bagaikan dibangkitkan kesadarannya, untuk mencari yang tak tampak itu, yang justru di situlah hakikat tari. Sulistyo, yang biasanya menarikan tari halus, umpamanya tari Arjuna, kemudian bagaikan Bima yang disuruh mencari sarang angin dalam lakon Dewaruci. Maka, bermodalkan kekayaan yang sudah dimilikinya, yakni bedaya, Sulistyo menceburkan diri dalam lautan perenungan tentang ''tari yang dilakukan sendiri, tanpa gamelan, di kamar tertutup, yang wajib dilakukan seorang calon raja''. Proses pencarian ini mengkristal membentuk sosok tarian, yang kemudian disebut Panji Sepuh. Keheningan pun disusupi gesekan sejumlah rebab, tanpa lagu, diatur oleh Toni Prabowo, komponis yang biasanya bergaul dengan instrumen Barat. Kesatuan empat penari wanita dalam bedaya lalu ''memecah'' menjadi empat satuan. Tetap dengan gerak mengalir, seolah tubuh kehilangan tulang, tiap penari mengalirkan penghayatan masing-masing. Suasana yang hampir beku pun melonggar, dan segera memadat kembali dalam nuansa yang berbeda. Ruang, yang tetap remang-remang, menjadi lebih kaya secara imajinatif. ''Calon raja'' itu seolah menemukan keragaman hidup, yang sebenarnya satu. Ketika topeng-topeng mulai dilepaskan, dan arena sedikit bertambah terang, seorang penari bergerak dengan langkah jongkok, menuju penari pria yang diam menunggu di terap di tengah. Waktu seperti terhisap ke tengah arena, ketika sekitar kembali meremang, terbentuk ''gairah merah yang membubung entah apa sebabnya'' ketika penari yang berjalan jongkok itu mencuci kaki yang menunggu dengan air bunga setaman. Jagat siap merobek dirinya memberi peluang kehidupan baru. Suatu penciptaan dari awal zaman yang terus berputar tanpa henti, yang baru akan habis di akhir zaman, tergelar. ''Gairah merah'' pun pecah. Jerit kemarahan. Ruang bergolak. Lalu, seorang penari maju, menusuk di tengah penonton. Tiba- tiba jagat itu seperti mengembang tak terhingga, jagat makrokosmos pun terciptakan, dan seperti menyedot jerit kemarahan yang sebentar tadi terdengar, penari itu melantunkan pangkur: seperti mengisahkan siklus kehidupan yang harus dihadapi dengan wani, dari tiada kembali ke tiada. ''Berani menghadap hilangnya harap dan kecewa, mengikuti perjalanan manusia.'' Ketika seorang membentangkan busur, sesungguhnya ada yang lebih cepat dari larinya anak panah. Pikiran, ruh, bergerak tak terhingga. Ketika seseorang mengayunkan tombak, kematian tak di mana pun tak kapan pun. Hanya payung yang terbakar, hanya api yang padam. Sebuah karya tari yang utuh, yang menjaga suasana dengan awas. Elly Luthan melantunkan pangkur yang ditulis oleh Penyair Goenawan Mohamad dengan pas. Suaranya mengusik, tapi tak ada yang terusik. Pamardi, penari alusan itu, hadir dengan tenaga tapi bukan otot. Dialah pembentuk utama suasana, sejak awal, yang lalu didukung empat penari bedaya. Elly, Wiwiek Sipala, Restu Imansari, dan Maria Hoetomo seperti mengalir, menggerakkan tabir yang tak terlihat, yang dilemparkan mengembang oleh Pamardi. Adapun bobot suasana itu memang tergantung pada si pencipta. Imaji-imaji yang muncul kurang lebih mencerminkan sejauh mana ia sudah mencari ''sarang angin''. Ketika gerak sanggama terlalu fisik, meski tak sampai merusakkan suasana, seperti ada keheningan yang berkurang dalamnya. Seperti halnya gesekan rebab, yang kadang terkesan ingin menguasai arena yang sudah terbentuk suasananya oleh gerak. Dan ketika si pemanah itu kurang mantap kehadirannya, anak panah yang melesat pun kurang menimbulkan imaji. Dan kenapa harus lebih dari satu, ketika imaji garis jalan anak panah yang melesat itu tetap di situ? Panji Sepuh memang mencerminkan ''tari yang benar.'' Kesenian, kagunan, bukan terutama bersifat fisik. Tapi suatu olah batin yang wani mapag muksaning karsa lan getun. Berani menghadapi hilangnya kehendak dan kecewa, untuk ''tak menjadi apa-apa''. Lalu membiarkan jagat, atau mungkin kodrat, berjalan dengan sendirinya, bagaikan api yang meremas habis payung itu. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini