Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Peluru di Arena Jangkrik

Mat dan Tiamun yang sedang adu jangkrik di Tempurejo, Jember, ditembak Koptu (Pol) Benu. Kaki Mat Lumpuh, mata kiri Tiamun buta. Benu belum ditindak. Dua korban dituduh berjudi.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA jadi menakutkan ketika "dor, dor" beruntun itu menjungkalkan Mat dan Tiamun. Tiamun menggelepar setelah terjengkal dua meter. Mat bernasib serupa. Sekitar sepuluh anak-anak dan pemuda yang berkerumun dan bersukaria di situ berhamburan. Dua jangkrik yang sedang berlaga juga meloncat, entah ke mana. Bunyi dor itu, rupanya, memang keluar dari moncong pistol Kopral Satu Benu polisi Polsek Tempurejo, Jember, Jawa Timur. Setelah itu, nasib kedua buruh tani yang didor tadi mengenaskan. Mat yang mengenakan topi laken sampai tembus. Tentu bukan cuma topi itu yang tembus. Tapi kepalanya terluka sepanjang sepuluh sentimeter. Lima belas jam ia tak sadarkan diri. Ketika sadar, kaki Mat telah lumpuh. Kondisi Tiamun lebih parah. Dari pinggir hidung sebelah kiri peluru menembus ke kepalanya, dekat daun telinga atas dan bersarang di situ. Dua hari ia tak sadarkan diri. Peristiwa itu membuat kecut warga Dusun Karanganyar, Tempurejo, Jember, Jawa Timur. Siang itu, 16 November, Mat menghabiskan waktu senggangnya dengan adu langkrik, setelah kecapekan menanam jagung. Adu jangkrik yang ditonton anak-anak SD dan SMP ini menjadi seru lantaran pakai taruhan. Dan Mat pasang Rp 500, walau yang lain ada yang bertaruh Rp 2.000. Ketika jangkrik milik Mat diadu dengan milik Bugis, yang jadi wasit Parto. Dua jam mereka bersukaria. Tahu-tahu muncul Benu, polisi yang bertubuh kekar dan berkumis lebat itu. Tak berpakaian dinas, cuma pakai training biru, berkaus putih dan helm di kepala. Dari jarak sekitar 10 meter, tanpa ada tembakan peringatan, tahu-tahu pistolnya menyalak dua kali yang membikin dua orang itu terjungkal. Tapi hingga pekan lalu Benu masih aktif di Polsek Tempurejo. Si lajang 27 tahun yang bertemperamen keras ini belum ditindak. Sementara itu, penderitaan Mat, 35 tahun, yang beranak tiga itu, tak bisa dianggap enteng. Ia terpaksa mondok di rumah sakit dua hari. Sanak familinya kalang kabut, karena harus urunan Rp 18 ribu untuk nenebus Mat supaya bisa pulang. Di sela-sela nasibnya yang sial itu, Mat kini lumpuh. Dapat santunan dari polisi? "Jangankan untuk ganti ongkos perawatan, nengok saja tak pernah. Saya malah dipanggil ke kantor polisi. Orang sudah sakit, masih saja disalahkan," kata Mat, yang pernah mengenyam pendidikan SD sampai lulus. Tapi Mat juga takut seandainya Benu yang menengoknya. "Saya merasa ngeri kalau ketemu dia, takut ditembak. Dia itu memang tukang tembak," katanya. Mengapa harus ditembak? Itulah yang tak dimengertinya. "Adu jangkrik saja, kok, ditembak. Kalau itu dianggap judi, tapi paling-paling ya judi kecil. Apa harus ditembak begitu? Sedang judi besar saja dibiarkan," kata Mat. Langkah Mat selanjutnya, "Saya akan menuntut sesuai dengan prosedur yang ada. Saya minta keadilan yang setimpal." Nasib Tiamun, 30 tahun, yang berputra satu, malah lebih memprihatinkan. Kepalanya sering pusing-pusing bila diajak ngomong terlalu lama. Mata sebelah kirinya walau kelopak matanya terbuka, tak bisa untuk melihat. "Mata kiri saya telah buta," katanya. Tapi, katanya lagi, sebagai rakyat kecil, segala sesuatunya sudah dianggap nasib. "Saya anggap apes saja. Sudah nahas. Saya tidak akan menuntut. Tapi tolonglah dipikirkan pembiayaan saya," katanya. Tiamun memang tak ikut berjudi. "Saya cuma nonton," katanya. Selama dua belas hari ia dirawat di rumah sakit keluarganya harus menebus Rp 150 ribu. Perawatan Tiamun memang agak lama karena peluru yang bersarang di kepalanya setelah seminggu baru bisa dikeluarkan oleh dokter di RSU Jember. "Saya ini rakyat kecil. Untuk biaya makan sehari-hari saja sulit," katanya. Lain dengan Benu. Sampai pekan lalu, ia masih piket. Ia lebih banyak diam ketika TEMPO mewawancarainya. "Saya menembak itu dalam rangka tugas," katanya. Kok, pakai pakaian preman ? Benu diam. Benu juga diam ketika ditanya apa pistol yang digunakan itu miliknya. Mengapa tidak lebih dahulu ada tembakan peringatan? Dia diam lagi agak lama, lalu menyuruh wartawan TEMPO menemui Kapolres saja. Menurut Kapolres Jember, Letkol Karjono S.M., anak buahnya menembak lantaran mereka itu penjudi. Bahkan, begitu Karjono, menurut informasi dari perangkat desa, judi itu sudah melibatkan anak-anak sekolah. Katanya lagi, setelah kejadian itu, Kepala Desa Tempurejo menyatakan terima kasihnya atas tindakan Benu. Dan minta agar Benu tak ditindak. "Tapi," tambah Letkol Karjono, "kalau benar-benar Benu terbukti salah, ya, akan saya tindak," katanya lebih lanjut. Dan soal ongkos ganti perawatan, kata Kapolres, kalau mereka minta ganti perawatan akan diberikan. Tindakan terhadap Benu ? "Masalahnya sudah saya limpahkan ke Pom ABRI. Kita tunggu saja hasil pemeriksaannya." Supriyadi, kepala urusan pemerintahan Tempurejo, membantah ada surat dari desa yang ditujukan ke Kapolres. "Wah, jangan-jangan ada pihak ketiga yang memanfaatkan suasana ini," katanya. Lagi pula, permainan adu jangkrik itu jarang terjadi. Itu hanya sekadar permainan, walau ada yang bilang itu termasuk judi. Widi Yarmanto (Jakarta) & Hery Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus