SEKALI ini sebuah kemenangan tidak dirayakan. Juventus, yang keluar sebagai juara baru Champions Cup 1985, akhirnya lebih banyak tenggelam dalam suasana sedih. Ini terlihat sejak Rabu malam pekan lalu. Usai mengalahkan Liverpool 1-0, di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, malam itu, hanya beberapa pemain yang sempat larut beberapa saat bersama kerumunan orang Italia, pendukung mereka, merayakan kemenangan yang sudah tiga puluh tahun didambakan itu dengan berlari-lari kecil di tengah lapangan. Selebihnya, dari mulai ketua klub Giampiero Boniperti, hingga Michel Platini, pencetak gol kemenangan, tampak berwajah murung. Bintang asal Prancis yang sudah tiga tahun bersama Juventus ini hanya tersenyum lebar beberapa menit. Yakni, ketika ia dan beberapa teman-temannya diabadikan para wartawan foto bersama piala kebanggaan di depan panggung kehormatan Stadion Heysel. Juventus, juara baru Eropa itu, betul-betul terpukul. "Ini kemenangan yang diperoleh lewat sebuah tragedi. Karena itu, kami tidak akan merayakannya dengan pesta," kata Giampiero Boniperti, ketua umum klub Juventus, yang juga orang kepercayaan Milyarder Gianni Agnelli, penyedia dana Juventus. Pesta, hal yang lazim dilakukan di Italia pada setiap kali sebuah klub memenangkan sebuah kejuaraan, apa boleh buat, memang tak ada kali ini. Sebab, setelah insiden maut di Stadion Heysel, keadaan amat cepat berubah. Sebagai penyesalan yang mendalam, misalnya, persatuan sepak bola Inggris, tiga hari setelah kejadian di Heysel, segera mengumumkan pengunduran diri semua klub Inggris dari semua kejuaraan resmi Eropa untuk satu musim kompetisi, mulai kompetisi mendatang. Keputusan itu, yang dikecam beberapa pimpinan klub di Inggris, antara lain ketua klub Everton, Jim Grenwood, dan ketua klub Manchester United, Martin Edwards kemudian malah disambut pimpinan pengurus persatuan sepak bola Eropa (UEFA), keesokan harinya dengan menjatuhkan pula keputusan sementara: melarang semua klub Inggris ikut dalam kejuaraan resmi UEFA. "Keputusan ini kami ambil untuk menyelamatkan satu kegiatan olah raga. Untuk menentang pelbagai penyimpangan yang dilakukan terhadap sepak bola," ujar presiden UEFA, Jacques Georges. Kendati masih sementara - karena keputusan resmi baru akan diambil oleh rapat semua anggota UEFA (yang terdiri atas 34 perutusan negara-negara Eropa) 2 Juli mendatang di Jenewa - keputusan-keputusan tadi, bisa ditebak, akan menyuramkan kemeriahan kejuaraan antarklub Eropa mendatang. Sebab, sulit disangkal, selama sekitar 30 tahun badan ini melaksanakan tiga kejuaraan antarklub, yaitu Champions Cup, Cup Winners Cup, dan UEFA Cup (TEMPO 1 Juni), adalah klub-klub Inggris termasuk yang ikut meramaikan ketiga kompetisi tersebut. Selain Liverpool yang sudah menjuarai Piala Champions empat kali, dan dua kali Piala UEFA, tercatat sedikitnya 10 klub yang sudah pula menjuarai paling tidak satu dari tiga kejuaraan itu. Di antaranya, Manchester United, Nottingham Forest, Aston Villa, yang pernah menjuarai Piala Champions sedikitnya satu kali. Tottenham Hotspur, Westham United, dan beberapa nama lain, termasuk Everton yang baru bulan lalu menjuarai Piala Winner. Mereka itu, akibat ulah fans Liverpool pada musim kompetisi mendatang, bakal tak muncul di pelbagai stadion bola di luar Inggris. Ini pastilah merugikan penonton pertandingan sepak bola. Sekaligus juga merugikan semua klub tadi. Sebab, seperti kata Martin Edwards, ketua Liverpool, pelarangan itu berarti "memukul terutama keuangan semua klub" di Inggris. Dia tak menjelaskan seberapa besar kerugian yang mungkin dialami klub-klub tadi. Tapi, khusus untuk klubnya, dia memperkirakan besarnya pengeluaran untuk tahun depan Rp 650 juta. Bisa dimaklumi karena dana besar, tak pelak lagi, memang dibutuhkan klub-klub itu agar bisa memenangkan persaingan mendatangkan pemain terbaik dari luar Inggris. Umpamanya Ian Rush dan John Wark, dua andalan dari Wales yang baru ditarik masuk oleh Liverpool dengan "uang pindah" masing-masing Rp 500 juta lebih. Dana lebih besar dari itu pastilah diperlukan klub lain. Rencana ini dan sejumlah rancangan serupa dari klub lain di Inggris tampaknya bakal dibatalkan. Sebab, dengan tak ikut kejuaraan Eropa, jangankan pemain impor, puluhan pemain lokal yang terampil di Inggris sendiri, yang kini tersebar di pelbagai klub kuat tadi, pun agaknya tak pula bisa ditahan untuk tetap bertahan hanya main di dalam negerinya. Mereka, misalnya Ronnie Whelan, Alan Hansen, Alan Kennedy, bintang-bintang Liverpool yang sudah biasa main di tingkat Eropa, bisa diduga tak bakal betah menunggu habisnya masa larangan bermain untuk klubnya. Apalagi tawaran duit dengan jumlah bersaing terus dikibar-kibarkan sejumlah klub di Italia, Spanyol, dan Jerman yang selama ini getol memakai pemain asing. Singkat kata, di Inggris sendiri, pengaruh larangan dari UEFA tadi cukup besar. Selain adanya kerugian klub, dan bakal larinya pemain-pemain andalan, mungkin yang agak parah: hilangnya selera pemain bola di sana untuk bermain secara maksimal, seperti selama ini. Sebab, betapapun bagusnya mereka tampil, toh nanti hanya akan main di tingkat lokal. Di pihak lain, tak munculnya klub-klub kuat dari Inggris juga memukul klub Eropa lainnya. Sebab, mereka, misalnya Juventus, sang juara baru Piala Champions, hampir bisa dipastikan akan kehilangan lawan tangguh yang biasanya setiap tahun muncul di kejuaraan Eropa dari negeri Thatcher itu. Maka, wajarlah jika semua keadaan itu oleh sejumlah headlines berita dan ulasan di koran-koran di Eropa dituliskan dengan ungkapan sedih: "Selamat tinggal, sepak bola. Inilah akhir kejuaraan Piala Eropa". Cetusan pasrah seperti itulah yang rupanya menyongsong prestasi besar yang baru dibuat "Si Putri Tua" - The Old Lady Juventus. Klub yang bermarkas di Turin, kota industri yang juga menjadi tempat lahirnya sepak bola Italia, bahkan tak dielu-elukan oleh sekitar 200 ribu penduduk kota itu, yang selama ini menjagoi mereka. Bersamaan puluhan juta warga Italia, rakyat di kota itu, untuk sementara, agaknya, masih tenggelam dalam duka dan melupakan kemenangan klubnya. Padahal, dengan kemenangannya itu, klub yang lahir tahun 1897 dari inisiatif sejumlah siswa sekolah senam ini dan baru kemudian 1923 dibeli oleh Milyarder Giovanni Agnelli, pemilik pabrik mobil Fiat, sekarang tercatat sebagai satu-satunya klub di Eropa yang bisa menjuarai tiga kejuaraan resmi dan satu kejuaraan tidak resmi UEFA. Masing-masing juara: UEFA Cup, 1977, Piala Winner 1984, dan Piala Champions 1985, serta Piala Super (kejuaraan tak resmi) 1985. Sebuah prestasi yang meyakinkan. Sebab, Real Madrid, Spanyol, misalnya, yang pernah enam kali juara Piala Champions, hanya ditambah sekali memperoleh Piala UEFA. Sedangkan Liverpool, klub yang delapan tahun terakhir inl didewa-dewakan sebagai klub paling stabil di Eropa, baru sempat menjuarai Champions Cup dan Piala UEFA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini