KALENG minuman siapa lebih dulu melayang, korban mana pertama kali jatuh tergencet, sudah tidak mungkin lagi diketahui. Kerusuhan meletus tiba-tiba di sektor Z stadion Heysel, Brussels, Rabu malam pekan silam. Peristiwa yang kemudian dicatat sebagai tragedi sepak bola itu menelan paling sedikit 38 korban jiwa - 25 di antaranya warga Italia - dan 473 luka-luka berat dan ringan. Bukan baru pertama kali ini darah mengalir di stadion sepak bola. Namun, malapetaka di Brussels benar-benar sangat keterlaluan. Ketika pagar penyekat yang memisahkan massa Liverpool dan Juventus patah, orang-orang Inggris mulai beraksi. Ratusan kaleng, botol, dan pecahan batu mereka hunjamkan ke arah orang-orang Italia. Sesudah itu, besi pagar yang patah berubah jadi pentungan, sedangkan rantai dipukulkan ke sana kemari. Panik melanda para penonton Italia dan mereka bertemperasan menyelamatkan diri. Korban yang kepepet mencoba memanjat tembok. Sial bagi mereka, tembok itu roboh hingga beberapa orang mati tertimpa atau terinjak-injak. Sebagian penonton yang lari ke arena terbantai dalam cara yang tidak kurang ganasnya. Polisi Brussels yang bersenjata pentungan dan menunggang kuda ternyata tidak dapat berbuat banyak. Anjing-anjing herder polisi juga kurang bisa dimanfaatkan. Pada saat yang serba tidak menentu itu, kubu Italia melancarkan serangan balasan. Mereka balik menghajar orang-orang Inggris, memporak-perandakan lampu-lampu reklame dan menghantam lawan dengan alat apa saja yang mereka temukan. Suasana tambah panas ketika pendukung Juventus memajang poster besar bertuliskan Red Animals - makian untuk pemain Liverpool yang berkostum merah. Stadion Heysel - yang sejak dibangun pada 1930 belum pernah mengalami renovasi itu - dalam waktu singkat berubah jadi arena pembunuhan. Pada mulanya dikerahkan 1.000 polisi. Karena situasi menggawat ditingkatkan menjadi 2.300. Tapi, terlambat, korban sudah berjatuhan. Melihat bagaimana cara satuan keamanan menangani pertumpahan darah, jelaslah mereka tidak siap menghadapi tindak kekerasan orang Liverpool. Padahal, jauh-jauh hari sudah diberitakan, Brussels siap menyambut arus besar penonton Inggris dengan penjagaan keamanan yang ketat. Soalnya, mereka tidak mau pengalaman pahit yang ditimbulkan kesebelasan Tottenham, juga dari Inggris, pada 1984, akan terulang. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Ketentuan semula, menempatkan massa pendukung kedua kesebelasan terpisah jauh, tidak dipenuhi. Khusus di sektor Z, massa Liverpool dan Juventus duduk bersebelahan, hanya dipisahkan pagar rendah. Sampai kini tidak jelas bagaimana sektor Z yang dikhususkan untuk penonton Belgia bisa ditempati orang-orang Italia. Dipersoalkan juga bagaimana mungkin massa penggemar menyelundupkan ribuan kaleng, botol, pisau, dan kembang api. Pemerintah Belgia - tanpa mengakui kekurangannya - telah melemparkan kesalahan pada perusuh-perusuh Inggris. Tetapi, pekan lalu, melalui rekaman siaran televisi, polisi Brussels menangkap Umberto Salussoglia, 22, mahasiswa Turin pendukung Juventus, yang tampak mengacungkan pistol. Sebagai tuan rumah, Belgia tidak mau dirusakkan nama baiknya. Tapi, PM Inggris Margaret Thatcher ternyata bersikap lebih jujur. Sehabis menonton pertumpahan darah di layar tv, ia marah sekali. "Darah saya mendidih," katanya. Ia menyatakan rasa dukacita dan penyesalan yang mendalam kepada presiden Italia Sandro Pertini. Dengan jiwa besar, pemimpin Inggris itu mengaku bahwa warganya telah berbuat salah dan menawarkan bantuan œ 250.000 untuk keluarga korban. Di pihak Italia, air mata justru mengalir terlalu deras. Pada saat-saat menjelang pelepasan 20 peti jenazah korban Italia dari lapangan udara Brussels, berkali-kali tampak kaum pria menangis, memagut peti bertutupkan bendera Italia. Di Roma, kemenangan Juventus disambut dalam suasana dukacita. Bendera Italia dikibarkan setengah tiang, sedangkan di Turin, kota asal Juventus, sejumlah bendera Inggris telah dibakar. Koran-koran menuduh kerusuhan itu sebagai pembantaian dan untuk itu massa Liverpool harus bertanggung jawab. Sebuah komisi penyidik telah pula dibentuk untuk mengusut sebab-sebab kerusuhan. Liverpool, kota pelabuhan kedua terbesar di Inggris, juga mengibarkan bendera setengah tiang sebagai ungkapan rasa malu. "Menyakitkan," tulis koran lokal Daily Post menyambut kembalinya tim bola kebanggaan mereka. Upacara penyambutan dibatalkan, seluruh kota tampak murung. Mereka terpukul karena martabat kota itu yang terangkat tinggi karena sepak bola, kini terbanting hina lantaran olah raga itu juga. Sesudah empat kali memenangkan piala Eropa (1977, 1978, 1981, 1984), mereka sebenarnya punya peluang lebih besar untuk menggondol gelar juara, ketimbang Juventus. Kini kesebelasan Liverpool menghadapi masa suram. Kuat dugaan, persatuan sepak bola Eropa dalam sidang komisi Juli depan akan melarang semua klub Inggris bermain dalam kejuaraan Eropa selama tiga tahun dan bagi Liverpool dikenakan sanksi lima tahun. Di kandang sendiri atas desakan PM Thatcher semua klub bola dilarang bermain selama satu periode. Tapi apakah hukuman ini bisa dibilang adil, mengingat dosa itu bukan dilakukan pemain sepak bola tapi masyarakat penggemarnya? Tentang ini Thatcher berkomentar, "Untuk begitu banyak korban yang kehilangan nyawanya, kita harus bertindak tegas." Untuk membatasi hal-hal negatif, ia pernah mengusulkan larangan menjual minuman keras di stadion. Imbauan Thatcher ini, seperti juga usul-usulnya yang lain, tidak digubris. Padahal, sikap keras pecandu sepak bola Inggris bukanlah barang baru, terutama bagi masyarakat Eropa. Tahun 1972, suporter Glasgow Rangers mengobrak-abrik stadion Barcelona, Spanyol. Perbuatan tak terpuji ini kemudian mereka tunjukkan di berbagai kota: Rotterdam, Paris, Turin, Madrid Basle, Oslo, Amsterdam, Luksemburg, Lisabon. Dan, seperti biasa, dosa yang dilakukan suporter mesti ditebus pemain sepak bola. Mereka didenda, dilarang main, dan sebagainya. Tapi kerugian itu tidak menghambat masyarakat penggemar untuk melestarikan hobi brutal, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah the English disease - penyakit Inggris. Benih penyakit itu sudah tampak pada 1966, ketika untuk pertama kali Inggris memenangkan gelar juara dunia. John Smith, ketua klub Liverpool, menyatakan bahwa unsur semacam itu ia temukan di kalangan perusuh Inggris di Brussels. "Saya punya bukti," katanya dengan tandas. "Sebagian dari mereka adalah anggota Front Nasional, yang juga muncul di Amerika Selatan, tahun lalu." Kecurigaan Smith dibantah juru bicara Front Nasional di London. Tapi kecurigaan ini bisa jadi faktor yang mendorong Thatcher mengancam perusuh sepak bola dengan tindakan keras. Untuk itu, polisi diberi wewenang lebih besar, dan penjualan alkohol sekitar lapangan sepak bola dilarang. Pokoknya, lewat sebuah UU, risiko yang ditimbulkan para perusuh akan dibatasi sekecil-kecilnya. Dewasa ini yang penting bagi Thatcher adalah bagaimana memuhhkan reputasi Inggris di dunia internasional. Dalam rangka itu pula, Kamis pekan ini, tim nasional Inggris dan Italia akan melakukan pertandingan persahabatan. Kabarnya akan disiapkan sebuah upacara khusus, untuk memperingati arwah mereka yang gugur di stadion Heysel. Isma Sawitri Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini