Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Setelah kegagalan Seoul

Prestasi tim ag x, indonesia mundur karena kurangnya pembinaan atlet berbakat. tenis menyabet 1 emas lewat susana & yayuk. sejumlah rekornas terpecahkan a.l., renang (elfira) dan angkat besi (dirdja).(or)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONTINGEN Indonesia gagal total di Asian Games X. Tapi, hasil pahit itu: terpuruk dari posisi 6 besar Asia (4 emas, 4 perak, dan 7 perunggu) ke posisi 9 (hanya 1 emas, 5 perak, dan 15 perunggu) agaknya tak perlu diratapi berlama-lama. Setidak-tidaknya oleh atlet tenis dan angkat besi. Sejumlah atlet dan ofisial kedua cabang ini malah tampak sudah bermuka cerah ketika menghadiri selamatan yang diprakarsai ketua mereka, Mayjen (pur) Jonosewojo, Senin siang pekan ini. Di rumahnya, Jalan Lembang Terusan, Jakarta Pusat, Jono memang sengaja mengadakan tumpengan sambil membagi-bagikan penghargaan dan bonus kepada anak buahnya yang berhasil menyumbangkan medali. Dari tenis, ganda putri Suzanna Anggarkusuma dan Yayuk Basuki, peraih emas di Asian Games (AG) X, misalnya, menerima bonus sekitar Rp 8 juta. Sedangkan dari angkat besi, lifter Dirdja Wihardja, peraih perunggu di kelas 56 kg, mendapat perangsang sekitar Rp 170.000. Jono, 65, mengakui hasil atletnya kali ini memang tak begitu memuaskan. Tenis di AG IX, New Delhi, bisa menyumbangkan dua emas, dan angkat besi kendati tetap menyumbangkan satu perunggu, berhasil memecahkan beberapa rekor nasional. Sedangkan, kali ini hanya Dirdja -- dari empat lifter yang disertakan ke Seoul -- yang sambil merebut perunggu juga memecahkan rekor nasional. Namun, Jono, yang biasa dipanggil Mas Piet itu, tetap merasa gembira karena baik Dirdja maupun Suzanna/Yayuk sama-sama menjadi peraih medali pembuka untuk kontingen Indonesia. Dirja untuk medali pertama dan Suzanna/Yayuk sebagai peraih emas pertama. Sekaligus inilah emas satu-satunya yang menyelamatkan pamor Indonesia dari kemelorotan lebih parah dalam peringkat di antara 27 negara peserta Asian Games. Toh, dengan perolehan medali itu, KONI, induk organisasi yang mengirimkan kontingen yang sudah menghabiskan dana sekitar Rp 3 milyar itu, apa boleh, harus menerima pelbagai kritik dan kecaman tajam. Bisa jadi, karena memang tampak kesan jor-joran dalam kontingen yang berangkat kali ini. Jumlah personel Indonesia yang terdaftar di Panitia Asian Games mencapai 353 orang, 195 atlet dan 158 ofisial. Para atlet ikut di 22 dari 25 cabang yang dipertandingkan. Di New Delhi empat tahun lalu Indonesia hanya mengirimkan 115 atlet yang ikut di 18 dari 23 cabang yang dipertandingkan. Mengapa jumlah kontingen bisa begitu besar? "Sebenarnya, di Musornas (Musyawarah Olah raga Nasional) V, Maret lalu, sudah ditetapkan kita hanya akan kirim atlet 140 orang dan mereka akan ikut di 21 cabang," kata M.F. Siregar, bekas Sekjen KONI yang kini juga staf Asisten II Menpora, kepada Toriq Hadad dari TMI'O. Juga, kata Ketua Umum PRSI ini, sudah pula ditetapkan Musornas ketentuan bahwa cabang yang masuk pelatnas (diikutkan ke Seoul) hanya cabang yang sedikitnya mampu mencapai 6 besar Asia. Mereka ini nantinya akan didampingi paling banyak 38 ofisial. Lalu mengapa kemudian bisa membengkak begitu besar, Siregar mengatakan tak tahu. "Mungkin pengurus baru punya penilaian sendiri," kata Master Olah Raga lulusan AS itu, sambil senyum. Ia mengatakan tak bermaksud menuding KONI. "Tapi terus terang saya melihat di sini tak ada kesatuan pendapat. Musornas sudah mematokkan tak ada penambahan cabang olah raga kecuali yang berpretasi luar biasa, tapi pengurus baru KONI memiliki pertimbangan lain," kata Siregar. Tentang soal jumlah atlet ini, Sekjen KONI M. Sarengat pernah mengemukakan bahwa apa yang kini dikerjakan pengurus lama merupakan proyek KONI lama. "Karena belum berpengalaman, kami tak berani sembarangan mengubah," kata Sarengat. Dia memang mengakui KONI menyetujui pengiriman beberapa cabang, seperti voli, karena pimpinan cabang bersangkutan sanggup menjamin biaya pengiriman. "Kita akan jadi tuan rumah SEA Games tahun depan. Jadi, dengan pertimbangan bisa memberikan bekal pengalaman bertanding, KONI kemudian mengizinkan atlet-atlet cabang lain ikut," tambah Bob Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri KONI. Beda pendapat soal pengiriman atlet itu lumrah saja. Yang tak biasa dan bikin penasaran banyak orang ialah kemunduran prestasi atlet yang dikirim itu. Tak semua pimpinan KONI mengakui kemunduran ini. Ada dalih, "Kita maju selangkah, tapi negara lain maju beberapa langkah." Dalam beberapa kasus, misalnya renang yang menyumbangkan pemecahan 8 dari 11 rekor nasional yang bisa dibuat atlet Indonesia selama Asian Games, itu bisa diterima. Sebab, di kolam renang ini beberapa perenang, seperti Elfira Rosa Nasution di nomor gaya bebas 200 m putri, Rainy Maria Awuy di nomor 200 m gaya bebas putri, sebenarnya bisa memecahkan rekor nasional. Namun, mereka tak mendapat medali karena terseok jauh di belakang lawan-lawannya. Awuy, misalnya, memecahkan rekor nasional di nomornya dengan waktu 2.45,92 menit (rekor lama 2.46,37). Rekor ini tetap saja berselisih jauh dari rekor peraih emas Hiroko Nagasaki (jepang) yang bisa menyelesaikan nomor itu 2.34,10 menit. Bisa merebut 2 perunggu masing-masing lewat tim estafet 4 x 100 m putra (membuat rekor baru Asian Games) dan melalui perenang Wirmandi Sugriat di nomor gaya dada 200 m putra, hasil ini memang merosot dibandingkan AG New Delhi yang bisa merebut 6 perunggu. Tapi, dibandingkan hasil 11 cabang olah raga terukur lainnya, prestasi renang sedikit lebih baik. Misalnya dari atletik, menembak, panahan yang tak menyumbangkan satu medali pun. Atletik, sekalipun tak memperoleh satu pun medali, masih menyumbangkan dua pemecahan rekor nasional. Masing-masing lewat kaki Edwardus Nabunome pelari asal NTT, di nomor lari 10.000 meter. Ia memperbaiki rekornya dari 30.20,13 menit menjadi 29.50,59 menit -- dan kemudian lewat atlet asal Irian Jaya, Yulius Uwe di nomor dasa lomba. Uwe mencatat rekor nasional dasalomba atas namanya ketika ia bisa memperoleh nilai 6746. Rekor itu diperbaikinya di Asian Games dengan berhasil memperoleh nilai 6811. Tapi, hasil itu tetap tak menutupi kegagalan cabang ini dalam membuat prestasi bagus di Seoul. Padahal, sebenarnya dalam 4 tahun terakhir ini, sudah pelbagai cara dilakukan pimpinan PASI untuk bisa menaikkan prestasi atlet-atletnya. Mulai dari mengirim atlet dan pelatih ke luar negeri, mendatangkan pelatih asing ternama dari luar negeri, dan menggencarkan jalannya roda kompetisi di pelbagai daerah. Dari semua upaya itu, dengan dana besar yang sudah dihabiskan, PASI ternyata baru puas dengan prestasi Purnomo, yang dua tahun lalu sempat jadi pelari tercepat Asia dan sempat terpilih mewakili Asia di Olimpiade 1984. Waktu itu pula disebut-sebut potensi Purnomo untuk mengimbangi pelari-pelari dunia. Tapi, itulah. Kendati pernah bisa membuat rekor bagus 10,33 detik di nomor sprint 100 m, prestasinya tak pernah bisa dipertajam. Memang, di Seoul, ada alasan ia cedera di otot pahanya, gara-gara terjatuh sewaktu latihan. Namun, tetap harus diakui, seperti dibenarkan Siregar, dalam mempertajam seorang atlet berbakatlah, salah satu kelemahan para pelatih Indonesia saat ini. "Kita bisa menyusun program dari bawah, tapi sampai di atas kita tak tahu meneruskannya ke mana," katanya. Mungkin sudah saatnya, kasus mandeknya prestasi Purnomo -- satu dari sedikit atlet yang diketahui punya bakat menonjol tadi -- dikaji lebih dalam. Sebab, siapa tahu ada yang salah dalam program latihan untuk dia hingga dia tak mencapai puncak karirnya. Padahal mencari bibit berbakat itu bukan main sulit. Sudah pernah disebut-sebut salah satu penyebab mundurnya prestasi olah raga Indonesia: kurangnya bibit atlet berbakat. Bisa jadi benar. Sebab, bulu tangkis Indonesia memang tak bisa dipungkiri merajalela di dunia karena ada atlet berbakat besar dan kemudian jadi bintang seperti Tan Yoe Hok, Ferry Sonneville dan Rudy Hartono, beberapa tahun silam. Contoh sama dialami beberapa cabang lain, seperti sepak bola, renang, juga atletik, yang pernah bersinar dengan M. Sarengat, Gurnam Singh, Charanjit Singh untuk menyebut beberapa nama, peraih mcdali emas Asian Games. Kenapa atlet berbakat seperti itu tak ditemukan lagi? Pelbagai kemungkinan memang bisa terjadi. Umpamanya, boleh jadi memang tak pernah lagi lahir atlet berbakat itu. Tapi mungkin juga karena proses pencarian bakat yang tak dilakukan serius. Untuk yang terakhir ini, di kolam renang, M.F. Siregar, sekarang baru tersentak untuk meniru Korea Selatan, yang sudah lama menjaring anak sejak sekolah TK. "Kita punya sekitar 25 juta anak-anak usia sekolah yang belum digarap. Selama ini kita baru menggarap anggota-anggota klub saja. Hasilnya, ya, begitu-begitu saja, " katanya. Karena itu dia sudah berencana menggiatkan pencarian bibit di sekolah-sekolah itu. Ada juga yang menggembirakan, misalnya, berhasilnya taekwondo, cabang bela diri asal Korea yang baru ada di 18 provinsi dan hanya dimainkan sekitar 40.000 orang di seluruh Indonesia, yang membuat debut bagus di Seoul. Sungguh, tak satu pun pimpinan KONI sebelumnya memperkirakan, cabang olah raga yang baru dikenal di sini sejak 1973 itu bisa membuat prestasi: merebut 3 perak dan 1 perunggu -- lebih baik dari bulu tangkis, cabang yang selama ini diandalkan, tapi kemudian ternyata hanya bisa merebut 4 perunggu. Tapi tanpa persiapan yang balk, dan semangat tempur yang berkobar-kobar, memang tak mungkin para taekwondowan Indonesia itu membuat kejutan. Seperti cerita Ketua Umum Taekwondo Indonesia Sarwo Edhie Wibowo kepada TEMPO, selama setahun sebelum ke Seoul, anak-anaknya sudah ikut pelbagai kejuaraan, antara lain Kejuaraan Taekwondo Asia VII di Darwin, Australia, April lalu. Dan dibantu juga pelatih asal Korea Selatan Young Hur, atlet cabang bela diri ini, mendadak saja tampil jadi salah satu pahlawan olah raga Indonesia di Asian Games X. Suatu hal yang sama sekali di luar perkiraan. Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus