Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Boleh mahal, jangan komersial

Bagi sebagian orang, pendidikan tinggi swasta suatu bisnis yang subur. mengukur mahal tidaknya memang tidak gampang. belum ada standarnya, tergantung tinggi-rendah mutu pts-nya. kini pts saling bersaing.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH PTS bukan lagi perguruan tinggi swasta tapi perseroan terbatas? Bermunculannya gedung baru PTS, bagi sebagian orang, memberi kesan lembaga pendidikan swasta memang bisnis yang subur. Coba amati di Jakarta dan sekitarnya. Tahun lalu Universitas Trisakti menambah gedung berlantai 8 seharga Rp 2,5 milyar. Lalu Universitas Jayabaya, Oktober lalu, membuka gedung baru tiga tingkat, lengkap dengan perpustakaan dan laboratorium di tanah seluas lebih dari 1 ha, yang menurut sebuah sumber, biaya gedung itu sekitar Rp 1,25 milyar. Kemudian tengoklah PTS-PTS yang semula menumpang di sana-sini, kini mulai membangun gedung sendiri dan hampir selesai, di pinggir Jakarta: Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (dulu Sekolah Tinggi Publisistik), Universitas Borobudur, Institut Sains dan Teknologi Nasional (dulu STTN), sebagai sekadar contoh. Semua perkembangan itu tentulah demi menarik konsumen, yakni calon mahasiswa. Sudah menjadi hafalan tiap orang bahwa daya tampung perguruan tinggi negeri (PTN) sangat terbatas. Dari sekitar 600.000 peserta tes masuk PTN tahun ini, misalnya, hanya sekitar 80.000 yang akan diterima dan akan diumumkan Sabtu dua pekan lagi. Ke mana mereka yang masih ingin sekolah bila tak ke PTS. Pada awal 1970-an bakal adanya ledakan lulusan sekolah menengah tingkat atas sudah diramalkan. Pada 1973 jumlah siswa kelas III SMA misalnya, tercatat lebih dari 63.500. Tapi pada tahun berikutnya melonjak menjadi hampir satu setengah kali: menjadi 91.500. Itulah yang mendorong, antara lain, dibentuknya Direktorat Perguruan Tinggi Swasta pada 1975 -- yang menjadi salah satu sebab PTS bisa seperti sekarang ini. "Setelah dibentuk Direktorat PTS, pembinaan yang dilakukan semakin intensif," tutur Prof. Haryadisurja, salah seorang pimpinan Universitas Trisakti (yang berdiri pada 1965), Jakarta. Maka -- di samping faktor PTN yang daya tampungnya terbatas sementara jumlah lulusan SMA meledak dan ekonomi rata-rata bangsa Indonesia meningkat baik di aman Orde Baru itu meningkatnya kualitas PTS karena pembinaan menyebabkan orang tak lagi ragu terhadap perguruan tinggi swasta. Tuduhan yang sering terlontar kemudian, PTS memanfaatkan kesempatan itu guna menaikkan uang sumbangan dan uang kuliah. Maka, kesan PTS mahal pun muncul. Soal mahal itu oleh pihak PTS sendiri tak diingkari. "Untuk menghasilkan lulusan bermutu, wajar bila mahasiswa harus memikul biaya mahal," kata Dr. Sudjana, Penjabat Rektor Universitas Jayabaya. Biaya itu digunakan untuk investasi, gaji para pengajar, kegiatan operasional lainnya guna mendukung pengembangan pendidikan. Tapi orang pun mulai berhitung. Adakah semua perkembangan PTS itu sepenuhnya ditunjang hanya oleh uang kuliah, atau ada dana dari sumber lain. Dari situlah diukur apakah PTS bergerak secara komersial atau tidak. Tak mudah mencari tahu soal "mahal" itu. Universitas Trisakti, yang tahun ini menerima 2.400 mahasiswa, umpamanya, menarik Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) antara Rp 1,5 juta dan Rp 5 juta. Uang kuliah bervariasi antara Rp 300 ribu dan Rp 500 ribu per semester. Angka-angka itu bagi Prof. Haryasudirja bukanlah angka komersial. Soalnya, universitas ini punya sumber dana dari mengadakan berbagai survei. Selain itu, tak semua buku perpustakaan dibeli, tapi ada bantuan dari Negeri Belanda. Namun, seberapa jauh usaha lain dan bantuan itu meringankan biaya yang mesti ditanggung mahasiswa, kurang jelas. Yang pasti, tutur Rektor Trisakti itu, biaya rutin universitas dengan 11.000 mahasiswa ini sekitar Rp 1 milyar per bulan. Ada pembanding dari Yogyakarta, yang lebih berterus terang. Universitas Islam Indonesia (UII) di Kota Gudeg ini, yang mutunya diakui oleh Kopertis setempat hanya memungut uang kuliah Rp 90.000 sampai Rp 225.000 persemester. Bila UII kini mampu membangun tambahan gedung seharga Rp 1,8 milyar, karena ada sumber lain. Antaranya, dari sekitar seribu mahasiswa baru tiap tahunnya, 50 sampai 100 yang dianggap mampu, diminta membayar iuran Rp 2 juta. Di luar itu masih ada sumber lain, yang sangat membantu. Yakni sumbangan dari para simpatisan UII, antara lain berupa tanah kosong. Ditambah, upaya pihak Yayasan: radio siaran niaga dengan penghasilan Rp 12 juta per tahun, dan percetakan milik sendiri yang bisa menghemat ongkos cetak-mencetak yang harus dikeluarkan universitas sebesar Rp 130 juta per tahun. Maka, bila Daliso Rudianto, Ketua Badan Wakaf UII, mengatakan, "pembangunan UII hanya dibiayai oleh uang kuliah dan iuran mahasiswa," tentunya ia hanya merendah saja. Dari contoh-contoh itu memang kemudian sulit untuk mempraktekkan pedoman Menteri P & K Fuad Hassan yang ini: "Pendidikan memang mahal, tapi jangan sampai jadi komersial." Sementara itu, pihak Kopertis, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta, sendiri tak tahu berapa patokan uang kuliah di PTS. "Belum ada standarnya, dan tergantung tinggi-rendah mutu perguruannya," kata Prof. Somadikarta dari Kopertis Wilayah III kepada Suara Pembaruan. Toh, PTS boleh bersyukur. Selama ini sangat jarang mahasiswa, sebagai konsumen, yang protes atas mahalnya biaya kuliah. Memang ada reaksi mahasiswa Universitas Nommensen, Medan, ketika uang kuliah mereka dinaikkan (TEMPO 11 Juli). Tapi biasanya yang terdengar hanyalah keluhan umum, umpamanya seringnya dosen absen. Sementara itu, perluasan gedung atau ditambahnya ruang kuliah memang manfaatnya langsung dirasakan. Setidaknya di Jayabaya, kata Penjabat Rektor, "Mahasiswa tak perlu berjejal-jejal sampai 70-an orang, tapi cukup satu ruang 40 mahasiswa saja." Yusroni Henridewanto, Laporan Moebanoe Moera (Jakarta) & Slamet Subagyo (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus