SEKOLAH eksperimen sudah gagal. Bila Senin pekan ini sekolah kembali dibuka, sejumlah siswa angkatan baru di Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Jakarta bukan lagi murid yang akan menerima pelajaran lewat cara khusus. Yakni dengan modul, dengan cara belajar siswa aktif, dengan tes hasil belajar untuk kenaikan kelas yang waktunya boleh dipilih sendiri oleh siswa secara individual. Lewat surat keputusan Menteri P & K tahun lalu, PPSP jadi sekolah biasa. "Suatu waktu sebuah sekolah percobaan harus diputuskan selesai," kata Harsja W. Bachtiar, Kepala BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) -- lembaga yang, antara lain, mengurus sekolah-sekolah percobaan Departemen P & K. Mengapa PPSP gagal, dan bagaimana nasib sekolah percobaan yang lain? PPSP Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di 8 IKIP: Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Medan, dan Ujungpandang, diresmikan pada 1974. Dengan biaya ekstra, sekolah eksperimen ini menerapkan belajar dengan modul, dengan guru-guru khusus, dan sistem belajar-mengajarnya maju berkelanjutan. Gagasan Menteri P & K -- kala itu Mashuri -- ini memang kemudian diakui banyak pihak melahirkan lulusan yang mampu belajar sendiri. Sekolah ini memberikan kail, bukan ikan -- perumpamaan ini yang sering dikatakan. Baru kemudian timbul persoalan bila hendak diterapkan secara nasional. Karena ini eksperimen dengan biaya khusus, "menjadi mahal bila harus diterapkan di semua sekolah," kata Harsja. Tak cuma itu. Keberhasilan sistemnya pun masih diragukan, karena siswa tersaring lewat tes psikologi dan tes yang lain, hingga mereka memang sudah pilihan. "Jadi, yang bikin dia jagoan itu sistemnya atau memang mereka sudah jagoan?" kata Harsja. Kesimpulannya, sistem PPSP sangat bagus untuk lingkungan sendiri, yang dibiayai secara khusus. Tapi percobaan itu dinilai gagal, bila model ini dimaksudkan untuk diterapkan secara nasional, karena mahal. SD Cianjur. Tapi PPSP tidak sama sekali mubazir. Program pemakaian modul, sistem belajar mandiri, diterapkan di banyak SD di Cianjur, Jawa Barat. Ini jenis sekolah eksperimen yang lain lagi, yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), mulai diterapkan pada 1980. CBSA mengutamakan pengembangan kemampuan perorangan siswa. Hasilnya, dengan terus terang Harsja mengatakan, "Ternyata, tak cocok untuk semua pelajaran." Tapi CBSA masih akan dilihat perkembangannya. Bahkan tahun lalu SD jenis ini dibuka pula di Lombok. STM Pembangunan Sekolah kejuruan yang ini muncul di zaman Mashuri, pada 1970-an. Dan sebenarnya dinilai berhasil: lulusannya langsung bisa bekerja. Tapi, sama dengan PPSP, dinilai sulit dinasionalkan karena harus dijalankan dengan biaya mahal. Subsidi untuk seorang siswa jurusan elektronika, yang termurah, misalnya, per tahun mencapai Rp 500.000. Kini, STM ini pun telah jadi biasa lagi bukan sebaliknya semua STM di-Pembangunan-kan. SD Pamong Pada 1970-an ahli-ahli pendidikan Asia Tenggara mencoba memecahkan masalah banyak anak desa yang sebetulnya tidak bodoh putus sekolah. Sebabnya, waktu belajar mereka tersita untuk membantu orangtua. Maka, pada 1974 diadakanlah di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang disebut SD Pamong (Pendidikan Artak oleh Masyarakat, Orangtua, dan Guru). Prinsip SD ini, tetap muka guru dan murid di kelas dibatasi dua kali seminggu, hingga murid punya keluwesan waktu belajar dan bekerja. Belajar sehari-hari dilakukan dalam kelompok, kelompok ini terdiri dari siswa yang berdekatan rumahnya. Jam belajar kapan saja, sesuai dengan kesepakatan. Hal-hal yang tak bisa mereka pelajari sendiri dicatat, untuk ditanyakan bila bertemu guru. Atau, kepada siapa saja -- orangtua, kakak kelas, misalnya. Tentu, di hari-hari pertama ada bimbingan, penjelasan bagaimana cara mereka harus belajar. Sebagaimana PPSP, di sini dipakai pula modul. Program Karanganyar dinilai sukses. Pada 1977, 26 SD di Gianyar, Bali, di-Pamongkan. SD Pamong ini masih berjalan terus. "Yang kini perlu diperbaiki adalah sistem penyusunan modulnya," ujar Harsja. SD Kecil Mirip SD Pamong adalah SD Kecil yang didirikan di Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Madura. Yakni daerah yang jumlah siswanya sedikit, hingga bila didirikan SD biasa dalam satu kelas bisa jadi jumlah murid kurang dari 10 orang. Dengan sistem modul dan kelompok belajar, lalu dimungkinkan dalam satu kelas, satu guru, belajar siswa dari beberapa tingkat kelas. Umpamanya, kelas I, II, dan III. Hingga sekarang SD Kecil berjalan efisien seperti direncanakan. Dan sebagaimana SD Pamong, sistem modulnyalah yang perlu ditinjau, agar lebih mudah untuk belajar sendiri. SD Kecil dan Pamong inilah yang boleh dianggap benar-benar memecahkan masalah belajar mengajar di lingkungan tertentu. SMP Terbuka Eksperimen yang dibuka pada 1978 di Lampung, Cirebon, Tegal, Banyuwangi, dan Lombok Timur ini barangkali yang paling runyam. Sistem ini mirip SD Pamong, tapi tingkat SMP. Tampaknya, memang lebih susah, belum setahun, sekitar 50% siswa sudah mogok sekolah. Kini, namanya masih "terbuka" tapi berjalan mirip SMP biasa. Hingga kini, BP3K belum menghitung berapa biaya sudah diinvestasikan, dan apa hasil nyatanya. Padahal, efek pcrcobaan ini bukan hanya lenyapnya dana, tapi bisa juga berdampak pada anak didik. Lebih dari itu, hilangnya kepercayaan bila ada eksperimen baru lagi. Sekolah percobaan tentunya bukan usaha coba-coba. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini