Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Siasat di Kala Dana Cekak

Pemerintah tak punya dana melimpah untuk menyelenggarakan persiapan ideal bagi beberapa atlet yang bakal menjadi andalan di SEA Games. Agar persiapan maksimal, atlet harus berusaha sendiri.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN US$ 270 di kantongnya, petenis nomor satu Indonesia, Christopher Rungkat, nekat terbang dari Manila ke Yangoon, akhir Maret tahun lalu. Selembar tiket pesawat seharga sekitar US$ 180 mengantarnya ke Yangoon. Kini, dengan sisa uang sekitar US$ 80, Christo—demikian Christopher dipanggil— mencoba peruntungannya.

Di Yangoon, Christo mengincar hadiah ribuan dolar di salah satu turnamen lokal untuk mengisi rekeningnya yang kosong. Hal itu dilakukan agar dia bisa memiliki uang buat mengikuti turnamen internasional berikutnya. Ternyata ia menjadi runner-up dan berhak atas hadiah yang setara dengan US$ 4.000. "Selamat, deh, saya bisa tur lagi," ujar Christopher saat menuturkan kejadian itu kepada Tempo di Jakarta, Selasa dua pekan lalu.

Di dunia tenis, tak ada jalan untuk meningkatkan kualitas permainan selain terus ambil bagian di turnamen internasional. Apa pun kondisinya, Christo harus melakukan hal itu, mengingat dia adalah petenis yang selalu diandalkan dan sering menjadi penentu kemenangan tim tenis Indonesia di kejuaraan dunia seperti Piala Davis atau kompetisi multicabang antarnegara semacam SEA Games, yang tahun ini berlangsung di Singapura, Juni mendatang. Setiap tahun dia harus berkeliling dari satu negara ke negara lain untuk mengikuti turnamen-turnamen internasional itu.

Tidak ada skenario bantuan dana dari pemerintah untuk membiayai keikutsertaan Christo di turnamen-turnamen internasional itu. Menurut Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Djoko Pekik Irianto, pemerintah hanya bisa membantu melalui Program Indonesia Emas—program untuk mempersiapkan atlet yang diandalkan bisa merebut medali di kompetisi multicabang, seperti SEA Games dan Asian Games. Di dalam program itu memang terdapat alokasi dana untuk mengikutsertakan atlet ke kompetisi internasional sebagai persiapan menuju SEA Games. Sayangnya, jumlahnya terbatas.

"Sesuai dengan undang-undang, dana olahraga itu tidak hanya bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), tapi juga dari masyarakat," kata Djoko. "Itu sebabnya, kami juga berharap cabang-cabang olahraga bisa menggali sumber dana yang ada di masyarakat, misalnya dari sponsor atau kontrak kerja sama."

Dengan kondisi seperti ini, Christo harus bersiasat dengan menyisihkan hadiah uang, baik dari turnamen internasional maupun dari turnamen nasional berhadiah besar, seperti Garuda Indonesia Terbuka, untuk ia gunakan sebagai biaya mengikuti turnamen profesional berikutnya.

"Misalnya, kemarin di Garuda Indonesia Open saya menang dan mendapatkan US$ 5.000, hanya saya gunakan US$ 500. Sisanya, ya, diputar lagi untuk tenis," tutur Christo, yang mendapatkan bonus total Rp 650 juta dari pemerintah atas prestasinya mendapatkan tiga medali emas dan satu perak di SEA Games 2011.

Begitu juga untuk urusan pelatih. Demi mengembangkan level permainannya sebaik mungkin, Christo menyewa seorang pelatih internasional, Robert Davis, untuk mendampinginya saat berkeliling mengikuti turnamen. Tarif pelatih itu tidak murah, yaitu US$ 1.500 per pekan. "Saya tidak sanggup jika harus membayar pelatih seorang diri, jadi saya share (patungan) dengan dua petenis lain. Dibagi tiga, kan hanya US$ 500 per pekan. Tapi itu belum termasuk biaya akomodasi dan tiket pelatih itu," ujarnya.

Christo sebenarnya menikmati dana sponsor untuk mengikuti turnamen dari Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia periode sebelumnya, Martina Widjaja. Namun, sejak Martina tidak lagi menjabat, bantuan buat Christo berkurang dan pada akhirnya berhenti. Christo pun mencoba menggaet sponsor dari beberapa perusahaan. Namun, hingga tulisan ini dibuat, belum ada yang bersedia membiayainya.

Seperti Christo, atlet boling nasional, Tannya Roumimper, juga berusaha meningkatkan performanya dengan menambah jam terbang bertanding. Untuk itu, setiap tahun Tannya menyebarkan proposal permintaan sponsor ke beberapa orang dan perusahaan untuk membiayainya mengikuti turnamen di luar negeri.

"Biaya mengikuti turnamen boling dalam setahun tidaklah sedikit, jadi saya juga sangat memaklumi bila perusahaan swasta tidak dengan gampang mengiyakan permintaan saya," tutur Tannya melalui surat elektronik di sela-sela kesibukannya bertanding di Sitra, Bahrain, Rabu pekan lalu. "Tapi, seperti mencari pekerjaan, saya juga tidak berhenti mencari orang atau perusahaan yang tertarik mensponsori saya. Biasanya saya mencari sponsor ke orang yang bergelut di dunia boling juga atau perusahaan swasta yang saya kenal."

Menurut Tannya, orang-orang atau perusahaan-perusahaan itu lebih tertarik ketika dia mengajukan proposal kerja sama di mana dia akan membagi uang hasil kemenangan dengan mereka ketimbang proposal yang hanya mengajukan permintaan dana bantuan untuk pertandingan.

Tannya lebih beruntung daripada Christo. Tahun ini, menjelang SEA Games, dia berhasil mendapatkan bantuan dana dari sebuah perusahaan jual-beli valuta asing. Dengan sponsor itu, Tannya bisa mengikuti Tur Dunia Boling di Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Jepang.

Sebenarnya kurangnya dukungan pemerintah tak hanya soal kebutuhan jam terbang bertanding. Untuk kebutuhan paling mendasar, seperti nutrisi, apa yang diterima atlet-atlet itu belum ideal. Perenang peraih empat medali emas pada SEA Games 2011, I Gede Siman Sudartawa, adalah salah satu atlet yang mengalaminya.

Ibunda Siman, Ni Made Sri Karmini, mengatakan menu katering yang disediakan dari dana pemerintah tidak cukup untuk kebutuhan anaknya. Maklum, plafon dana konsumsi buat tiap atlet per hari hanyalah Rp 200 ribu, itu pun termasuk dana akomodasi. "Kadang porsi makanan dengan beban latihan enggak nyambung," kata Sri. "Jadi kami harus menambah daging ayam, telur, tahu, tempe, dan sayur. Selain itu, kalau Siman bosan dengan makanan katering, kami mencari makanan di luar."

Bukan hanya itu. Siman juga harus merogoh tabungannya untuk membeli suplemen yang ia perlukan. "Kadang ada lima-enam macam (suplemen) sebelum berlatih beban. Untuk latihan di kolam juga beda lagi," tutur Sri. "Ada omega, protein, vitamin. Macam-macam." Menurut Sri, harga per botol berbagai suplemen itu berkisar Rp 400-800 ribu. "Sebotol kurang-lebih dihabiskan dalam waktu sebulan," ujarnya.

Pemerintah pun mengakui kekurangan ini. "Memang belum ideal. Seharusnya ada ahli yang turun ke lapangan untuk menghitung kebutuhan nutrisi per atlet," kata Djoko Pekik. "Kami paham kebutuhan tiap disiplin olahraga berbeda. Kami sebenarnya sedang ancang-ancang menuju ke sana."

Menurut Djoko, itu tidak berarti dana dari APBN untuk peningkatan prestasi olahraga akan bertambah. "Jumlahnya sama, yaitu berkisar Rp 645 miliar. Tapi nanti akan kami ukur dengan hitungan yang pas, sehingga nantinya setiap atlet akan menerima bantuan sesuai dengan kebutuhannya," ucapnya. "Tentu saja jumlah atlet yang didanai akan dibatasi, yaitu yang benar-benar berpotensi meraih medali saja."

Gadi Makitan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus