Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Kamis, 5 Maret 2015, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terendah sejak 1998. Saat itu rupiah ditutup di angka 13.022 terhadap dolar Amerika Serikat. Hingga pekan lalu, rupiah masih dipertukarkan pada kisaran tersebut. Namun semua perkembangan ini tidak membuat Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo panik. Ia justru meminta masyarakat tidak khawatir. "Saya nyaman saja karena ekonomi Indonesia dalam keadaan baik," ujarnya dalam wawancara dengan Tempo, Kamis pekan lalu.
Agus menjamin pelemahan rupiah pada saat ini hanya sementara. Sebab, volatilitas (perubahan-perubahan) nilai tukar rupiah terhadap mata uang Abang Sam itu masih bisa dijaga dengan baik. Dia menekankan bahwa BI akan selalu berada di pasar demi menjaga volatilitas rupiah. "Lihat peak-nya (puncak) rupiah Juni nanti, ketika pemerintah berfokus pada penguatan transaksi berjalan," katanya. Untuk memperkuat rupiah, BI juga tengah menyiapkan langkah-langkah kebijakan moneter.
Ini adalah wawancara eksklusif pertama Agus Marto dengan media dalam dua tahun terakhir ia menjabat Gubernur BI. Agus menerima Tomi Aryanto, Heru Triyono, Artining Putri, fotografer Wisnu Agung Prasetyo, dan videografer Ryan di ruang tamu tempat kerjanya di lantai 1 Gedung Thamrin Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, dalam sebuah percakapan yang berlangsung dua jam lebih.
Rupiah akhirnya tembus di angka 13 ribu per dolar. Apakah itu sudah Anda perkirakan sebelumnya?
Itu cerminan fundamental ekonomi Indonesia. Tapi rupiah kemudian tidak akan bergejolak dan akhirnya menciptakan ketidakpercayaan masyarakat. Tugas Bank Indonesia adalah menjaga volatilitas nilai tukar mata uang rupiah itu, sehingga ekonomi Indonesia mengarah ke kondisi yang lebih baik.
Sebenarnya apa faktor-faktor yang melemahkan rupiah?
Ekonomi Amerika yang menguat dan, sebaliknya, ekonomi Tiongkok melemah. Di dalam negeri, kita memiliki utang yang semakin meningkat, lalu neraca transaksi berjalan defisit. Transaksi berjalan yang defisit ini mempengaruhi nilai tukar rupiah. Pada Maret sampai Juni nanti, kebutuhan valuta asing juga akan tinggi karena banyak investor melakukan repatriasi keuntungan atau bayar utang. Itu juga menyebabkan uang banyak keluar dari Indonesia.
Berapa nilai tukar rupiah yang dianggap aman oleh Bank Indonesia?
Saya tidak bisa sebut titik nilai tukarnya. Yang pasti Bank Indonesia tetap pada kebijakan moneter ketat (mengurangi/membatasi jumlah uang beredar) agar stabilitas perekonomian yang masih dibayangi berbagai tekanan ekonomi global dan ancaman laju inflasi dari domestik ini terjaga. Kita harus berhati-hati dan belum masuk ke periode kebijakan moneter longgar.
Bank Indonesia punya level nilai tukar rupiah tertentu yang hendak dicapai?
Tidak. Sistem nilai tukar rupiah adalah mengambang, sehingga kita tidak mempunyai batas mencapai nilai tukar tertentu.
Sampai kapan pelemahan rupiah terus berlangsung?
Kalau kita berfokus dan bisa melakukan penguatan transaksi berjalan yang kini defisit, Juni nanti rupiah akan membaik. Semoga Maret sampai Juni pemerintah bisa membuktikan bahwa perizinan berjalan baik, reformasi listrik dan energi juga baik—sehingga bisa menciptakan kepercayaan. Tentunya hal itu harus tetap didukung neraca transaksi berjalan yang lebih baik.
Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terendah sejak 1998, tapi Bank Indonesia sepertinya tenang-tenang saja....
Saya ini nyaman. Seperti saya bilang tadi, ini adalah cerminan fundamental ekonomi kita. Bank Indonesia terus melakukan aktivitas menjaga nilai tukar agar stabil. Kami mempertimbangkan kecukupan cadangan devisa dan mengarahkan pengelolaan moneter untuk bisa mencapai target inflasi jangka menengah pada 2015-2016, yaitu 4 persen plus-minus 1 persen. Dalam waktu bersamaan, defisit transaksi berjalan diupayakan ke arah 3 persen sampai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto.
Tapi beberapa pengamat mengatakan nilai tukar fundamental kita itu seharusnya berada di kisaran Rp 11.600-11.800. Level Rp 13 ribu dinilai sudah terlalu rendah.
Tren penguatan dolar ini lazim terjadi. Tapi masyarakat harus tahu, hal seperti ini adalah musiman. Sudah selama 10 tahun ini terjadi bahwa pada Maret-Juni dolar pasti tinggi. Kenapa? Karena di bulan-bulan ini orang melakukan repatriasi keuntungan (pembagian dividen sejumlah perusahaan asing investor di Indonesia kepada pemegang saham di luar negeri) dan bayar utang. Masyarakat yang tidak mendapatkan informasi simetris bisa menjadi khawatir.
Saya selalu menekankan bahwa ekonomi kita baik. Indonesia pada 2013 masuk kategori fragile five (dianggap rentan terhadap krisis), bersama India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki, tapi kini sudah keluar dari kelompok itu. Nah, yang dianggap rentan itu sekarang trouble three: Brasil, Afrika Selatan, dan Turki.
Kenapa Indonesia bisa dianggap tak mengkhawatirkan, sedangkan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika akhir-akhir ini memunculkan kecemasan?
Kondisi Indonesia tidaklah buruk. Lihatlah Brasil. Tahun lalu depresiasinya (penurunan nilai mata uang terhadap mata uang lain) mencapai 12 persen terhadap dolar. Tahun ini, mulai Desember hingga Maret, bahkan sampai 17 persen. Kemudian Turki pada 2014 depresiasinya 8 persen. Lalu pada Desember-Maret 2015 naik menjadi 12 persen. Sedangkan Indonesia pada 2014 depresiasinya 1,8 persen dan mulai Desember ke Maret 6 persen. Bahwa sejak 2013 terjadi pelemahan rupiah memang karena ekonomi Amerika membaik. Itu ditambah indikasi Amerika akan mengurangi stimulus moneter dan menghilangkannya. Belum lagi kecenderungan The Fed (bank sentral Amerika) yang akan menaikkan suku bunga antara Juni dan September. Jadi wajar dolar menguat.
Apakah kondisi Indonesia saat ini sama dengan krisis moneter 1997-1998—yang ketika itu dolar mencapai Rp 16 ribu?
Beda sekali. Ketika itu nilai tukar rupiah di kisaran 2.000-3.000. Kemudian melonjak menjadi 16 ribu. Depresiasinya mencapai 350 persen. Itu terjadi dalam satu tahun. Nah, saat ini kita hanya mengalami depresiasi 1,8 persen pada 2014, kemudian pada 2015 (sampai Maret) menjadi 6 persen. Pun kita amat tahu penyebabnya, yaitu ekonomi Amerika menguat dan negara lain, seperti Tiongkok, ekonominya sedang lemah. Tiongkok, yang pertumbuhannya biasa sebanyak dua digit selama 20 tahun, pada 2013 mulai turun dan sekarang hanya 7 persen.
Jadi apa sikap yang tepat yang harus dilakukan?
Perlu waspada, tapi tidak perlu khawatir. Sebab, pelemahan rupiah seiring dengan perbaikan defisit transaksi berjalan. Total defisit transaksi berjalan di sepanjang 2014 sebesar US$ 26,2 miliar (2,95 persen PDB), turun dari US$ 29,1 miliar (3,18 persen PDB) pada 2013. Masalah utama dari ekonomi Indonesia itu sudah dipahami antara pemerintah dan BI.
Apakah pelemahan rupiah belakangan ini adalah bagian dari terapi menyeimbangkan neraca transaksi berjalan yang defisit, untuk mendorong ekspor, alias ini disengaja?
Negara berkembang dunia yang besar, transaksi berjalannya semua defisit. Walaupun negara-negara itu punya cadangan devisa yang besar, kalau tidak dikelola dengan hati-hati, tetap akan membawa risiko.
(Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia akhir Januari 2015 tercatat sebesar US$ 114,2 miliar. Angka ini meningkat dari posisi akhir Desember 2014 sebesar US$ 111,9 miliar.)
Jadi fokus pemerintah dan Bank Indonesia adalah perbaikan defisit transaksi berjalan?
Saya melihat pemerintah yang baru sudah bisa merumuskan apa yang perlu disikapi menghadapi situasi global yang tidak pasti ini. Koordinasi yang dilakukan pemerintah begitu baik. Arahnya jelas, memperbaiki neraca transaksi berjalan yang defisit. Tapi mungkin masih banyak informasi yang tidak seimbang sampai ke publik, sehingga salah dimengerti. Sekarang prinsipnya Bank Indonesia menjaga agar kita bisa melalui periode ini dengan stabilitas yang baik. Inflasi terjaga, transaksi berjalan terkendali, utang di luar negeri dan surat utang yang dimiliki asing lebih rendah, pendalaman pasar uang dilakukan, sehingga kita akan bisa melalui semuanya.
Soal stabilitas itu yang sekarang dipertanyakan. Orang melihat dari posisi yang sebelumnya di kisaran Rp 10 ribu, lalu naik Rp 11 ribu, Rp 12 ribu, kemudian sekarang Rp 13 ribu, bagaimana Anda menjelaskan itu ke publik?
Selama empat tahun terakhir sampai 2013, dunia dipengaruhi oleh kebijakan moneter longgar Amerika, sehingga dolar tersedia begitu luas di masyarakat dunia dan tingkat bunga pun mendekati nol, sekitar 0,25 persen. Pada 2013, ekonomi Amerika membaik, kebijakan moneter longgar dikurangi, yang berpengaruh ke negara lain di dunia, termasuk Indonesia—yang penuh dengan transaksi valuta asing (dolar).
Itu menunjukkan begitu rentannya rupiah terhadap dolar. Kenapa rupiah tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri?
Kita tahu praktek di dunia usaha, banyak transaksi dilakukan dalam valas, padahal itu terjadi antara resident (pemukim) dan resident. Contohnya di tingkat hulu, termasuk minyak dan gas, yang ditransaksikan dalam dolar. Ini harus ditertibkan. Karena itu, akan kami keluarkan peraturan Bank Indonesia tentang penggunaan rupiah di dalam negeri.
Apakah akan ada sanksi bagi yang melanggarnya?
Benar. Sebenarnya di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sudah ada, bahwa untuk yang menggunakan transaksi valuta asing secara tunai ada sanksi pidana.
Apa yang spesifik dari peraturan Bank Indonesia yang sedang disiapkan itu?
Peraturan itu merujuk pada undang-undang tentang mata uang dan Undang-Undang Bank Indonesia. Di Undang-Undang Bank Indonesia itu ada kewenangan dan otoritas BI dalam pengelolaan moneter, termasuk bagaimana melakukan transaksi dalam valas. Dengan dasar itu, kita turunkan aturan mengenai penggunaan rupiah, baik yang tunai maupun nontunai.
Jadi, prinsipnya, kalau ada resident yang bertransaksi dengan resident harus dalam rupiah. Kalau ada orang asing datang ke Indonesia kemudian ingin membeli barang atau jasa, dia harus bertransaksi dalam rupiah. Kalau dia datang ke hotel, bayar tarif harus dalam rupiah.
Selama ini bagaimana implementasi Undang-Undang Mata Uang?
Pemerintah sudah mengumpulkan dunia usaha dan menjelaskan transaksi harus dalam rupiah. Pemerintah jelas harus jadi penjuru dan memberi contoh. Jangan sampai di bandara atau pelabuhan masih memakai mata uang asing.
Berapa persen transaksi dalam mata uang asing itu terjadi?
Yang pasti bukan di daerah perbatasan saja, tapi juga di ekonomi kita. Anda tahu sendiri, hotel, kantor, sampai dagang komoditas barang dilakukan dalam valas. Biasanya penawaran harga dalam dolar, tapi nanti dibayarnya dalam rupiah. Padahal itu sama saja.
Kalau sudah ada Undang-Undang Mata Uang, peraturan baru Bank Indonesia itu untuk apa lagi?
Ini menegaskan peran daripada otoritas moneter untuk meyakinkan transaksi rupiah dalam negeri. Akan kami keluarkan paling lambat akhir bulan ini.
Pemerintah mengeluarkan enam paket kebijakan ekonomi. Sejauh mana akan berdampak terhadap rupiah?
Kami menyambut baik. Paket itu terlihat ingin memperbaiki defisit transaksi berjalan, bahkan bukan hanya komponen barang dan jasa, melainkan juga neraca pendapatan atau income kita yang betul-betul bermasalah. Bayangkan, neraca jasa itu bisa defisit US$ 10 miliar dan neraca pendapatan defisit US$ 27 miliar. Hal ini sudah berjalan bertahun-tahun dan mesti disikapi. Kebijakan yang akan diberlakukan 1 April adalah respons terhadap hal itu.
(Enam Paket Kebijakan Ekonomi: 1) Ada pengurangan pajak penghasilan atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi. 2) Bea masuk antidumping untuk impor. 3) Pembebasan visa bagi wisatawan asing. 4) Kewajiban pencampuran bahan bakar nabati sebanyak 15 persen untuk solar. 5) Kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam. 6) Pembentukan perusahaan reasuransi domestik.)
Menurut Anda, upaya itu cukup?
Ini inisiatif yang kami anggap baik. Membuka visa kepada negara sahabat adalah sikap untuk menghadapi persaingan. Kalau visa dibuka untuk 30 negara, tujuan mendekati jumlah turis yang datang ke Malaysia bisa terwujud. Malaysia itu memberikan bebas visa ke 180 negara. Indonesia, dengan tambahan 30 negara ini, mungkin baru 40 negara. Saat ini turis yang datang ke Indonesia berkisar 7-8 juta orang, sementara turis ke Malaysia mencapai 20 juta orang.
Beberapa kalangan menilai paket itu memang oke, tapi dampak yang diharapkan pasti perlu waktu. Yang dikhawatirkan adalah munculnya spekulasi-spekulasi jangka pendek yang bisa memicu kepanikan. Anda melihat gejala ini?
Pemerintah baru tentu ada tantangan, bukan hanya di ekonomi, tapi juga di politik, sosial, dan masalah luar negeri. Namun saya melihat perlu ada koordinasi yang baik dan komunikasi yang konsisten dari waktu ke waktu. Menurut saya, pertumbuhan ekonomi 7 persen masih belum logis. Karena transaksi berjalannya defisit, kok kejar 7 persen. Di samping itu, infrastruktur belum ada, penawaran juga belum siap, serta impor yang tinggi akan memberi tekanan pada stabilitas ekonomi makro dan rupiah. Kemudian bukan hanya utang luar negeri meningkat, tapi juga kepemilikan asing akan saham dan SBN (Surat Berharga Negara) sudah mendekati 40 persen.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 persen. Ini kontradiktif dengan situasi pelemahan rupiah saat ini dan suku bunga acuan BI sebesar 7,5 persen, yang dianggap mengecewakan. Bagaimana komunikasi BI dengan pemerintah?
Media yang instan seperti media online menyampaikan informasi yang tak utuh. Saya sampaikan bahwa koordinasi yang dilakukan pemerintah dan BI begitu baik dan saya tekankan bahwa tak ada intervensi terhadap kami.
Bunga acuan BI sebesar 7,5 persen terlalu tinggi bagi pemerintah?
Saya ingin sampaikan bahwa BI Rate tak seperti policy rate negara-negara lain—yang merupakan tingkat bunga antarbank. Tingkat bunga antarbank adalah PUAB: pasar uang antarbank. Kalau di Indonesia itu sebesar 5,5 persen. Publik harus tahu hal ini. Kalau ada pandangan agar tingkat bunga BI perlu penyesuaian, kami hormati.
Pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi, sementara Bank Indonesia menaikkan suku bunga. Seperti tak selaras?
Kami melihat secara seimbang. Pemerintah harus berfokus pada reformasi struktural, jaga penyerapan APBN dan realisasinya. Tugas kami adalah melakukan koordinasi dengan pemerintah dan mencari solusi terbaik. Tapi, kalau BI dipaksa atau diintervensi, kami tidak mau. Kami yakin niatnya sama-sama melakukan yang terbaik. Kami tak ingin terjadi ketidakharmonisan yang justru merugikan. Kepada rakyat, kami harus jalankan mandat dengan memelihara stabilitas rupiah. Itu tecermin dari nilai tukar dan inflasi.
Kabarnya, Anda dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla dan diminta menurunkan BI Rate?
Koordinasi mungkin saja. Aspirasi harus didengarkan. Kami independen dan tidak akan diintervensi. Kalau ada intervensi, sistem ini akan rapuh dan tumbuh ketidakpercayaan.
Anda menyampaikan soal independensi itu kepada Jusuf Kalla?
O, iya. Pak Wapres itu senior dan sudah paham.
Jadi benar Anda dipanggil Jusuf Kalla?
Kalau sebatas koordinasi yang membahas ekonomi, termasuk nilai tukar dan BI Rate, itu sudah lima kali selama periode pemerintahan baru ini. Ini menunjukkan tanggung jawab pejabat negara. Mandat saya saat berkarya di swasta, publik adalah atasannya. Nah, kalau di BI, atasan saya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Akan saya jaga itu dengan usaha terbaik demi institusi negara ini. Jika harus sampai berselisih, kalau perlu akan saya bawa sampai Mahkamah Konstitusi.
Anda pulang cepat dari Basel, Swiss (dalam pertemuan gubernur bank sentral sedunia), karena ada panggilan mendadak dari Istana?
Jadwal pertemuan gubernur bank sentral negara sedunia itu enam kali dalam setahun. Pertemuan gubernur itu hanya satu hari, dan kedatangan saya sesuai dengan jadwal. Pulangnya juga tidak dipercepat.
Bukan dipanggil karena sedang ada krisis?
Tidak. Dan saya tegaskan sekali lagi bahwa, dua tahun di Bank Indonesia, saya menjalankan tugas dan fungsi dengan independen. Tujuan BI adalah memelihara dan menjaga stabilitas nilai rupiah, dan kami konsisten dengan tugas itu.
Agus Dermawan Wintarto Martowardojo Tempat dan tanggal lahir: Amsterdam, Belanda, 24 Januari 1956 Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1984) | Kursus Perbankan dan Manajemen di State University of Buffalo, New York, Stanford University, Palo Alto | Institute of Banking and Finance Singapura Karier: Direktur Utama Bank Bumiputera (1995-1998) | Direktur Utama Bank Ekspor Impor Indonesia (1998-2002) | Direktur Utama Bank Permata (2002-2005) | Direktur Utama Bank Mandiri (2005-2010) | Menteri Keuangan (2010-2013) | Gubernur Bank Indonesia (mulai Mei 2013) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo