Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sersan Kepala Siswadi kerap bertanya kepada anak bungsunya, Aryani Regina Putri, 4 tahun, soal kondisi tangannya. "Adik malu enggak keluar sama Ayah yang tangannya kayak gini?" kata pria 45 tahun itu menceritakan kepada Tempo, pekan lalu. Menurut anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu, Aryani menjawab pendek, "Enggak!"
Ada apa dengan kedua tangan Pak Sersan? Siswadi sungguh tak akan pernah melupakan hari itu, Selasa, 23 September 2014, ketika bapak dua anak ini kehilangan kedua telapak tangannya.
Di Pusat Latihan Tempur Marinir Angkatan Laut Purboyo, Malang, saat itu Siswadi bertugas mengajarkan materi melempar granat kepada 90 tentara pemula kompi B. Satu siswa mendapat jatah satu granat. Tapi latihan tak berlangsung mulus 100 persen. Dari semuanya, ada tiga granat yang busung alias tak meledak. Sebagai instruktur, menjadi tanggung jawab Siswadi untuk mengamankan granat mejen tersebut.
Maka berjalanlah Siswadi ke hutan tempat semua granat dilemparkan. Di sana dia segera melihat satu di antaranya dan mendekat untuk menandai. Ini prosedur biasa sebelum senjata lempar itu diledakkan pada jarak tertentu. Belum selesai Siswadi menandai, granat itu meledak di genggaman tangannya. Blaar!
Tubuhnya terlindung baju antigranat lengkap dengan helm. Semua aman. Tapi kedua tangannya tidak, dan inilah yang membuat insiden itu menjadi fatal. Kedua telapak tangannya hancur seketika. Pria kelahiran Bojonegoro itu tak menyangka, sepanjang delapan tahun mengajar, baru sekarang ia menemukan granat busung bisa mbledos. Dengan helikopter, suami Susi Handayani itu segera diterbangkan menuju Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Ramelan, Surabaya, untuk mendapatkan perawatan.
Tim dokter RSAL Dr Ramelan yang dipimpin Kepala Subdepartemen Ortopedi dan Traumatologi Letkol Laut (K) dr Adi Suriyanto, SpOT, segera berembuk. Menimbang kedua pergelangan tangan Siswadi yang hancur tak menyisakan apa pun, dr Adi dan dr Andi Abdullah memutuskan melakukan operasi pemotongan stump (puntung bagian tubuh bekas amputasi). Pemotongan dilakukan pada bagian pergelangan tangan.
Beberapa minggu seusai kejadian, Kepala Staf Angkatan Laut, yang kala itu dijabat Laksamana Marsetio, menjenguk Siswadi. Semangat dan tekad kuat sang anak buah yang ingin kembali mengajar meluluhkan hati para petinggi TNI Angkatan Laut. Melalui usul tim dokter, asisten personal, hingga Kepala RSAL, Marsetio menyetujui mendatangkan teknologi bionic hand (tangan bionik) dari Inggris bagi Siswadi.
Pada 2 Maret lalu, pemasangan dilakukan dan kini lengan kanan Siswadi memiliki perangkat baru. Sebuah alat buatan berbahan karbon seberat 500 gram telah menggantikan tangannya yang diamputasi. Tangan bionik seharga Rp 600 juta itu sehari-hari terbungkus sebuah "kaus tangan" putih untuk menyembunyikan penampakan aslinya.
Dengan tangan barunya itu, Siswadi mampu melakukan 14 gerakan dasar motorik halus. Misalnya menggenggam benda besar dan benda kecil; menulis; memegang tas, kunci, dan sendok; membalikkan halaman di buku; serta menerima uang kertas.
Teknologi tangan bionik ialah tangan palsu yang terdiri atas seperangkat alat pengganti anggota gerak (protese). Untuk menanamnya diperlukan operasi khusus agar otot-otot tendon dapat terhubung dengan otak.
Pada prinsipnya, kata dokter Adi, tangan bionik bekerja berdasarkan kontrol sinyal listrik yang dikirim dari tekanan otot tendon. Sinyal itu lalu ditangkap oleh sepasang elektroda di dalam soket atau cangkang plastik yang mencengkeram lengan bawah hingga siku. Sinyal yang diterima integrated circuit (IC) itu lalu disinkronkan menjadi gerak tertentu. "Microchip yang ditanamkan di dalam IC itulah yang mengontrol gerakan protese."
Setelah tangan bionik terpasang, Siswadi harus berhati-hati saat menggunakannya. Sebab, ia mesti tetap mengatur seberapa kuat tenaga disalurkan ke tangan palsu. Kontrol pada kekuatan otot dilakukan lewat pandangan mata terhadap obyek. "Kalau sambil terpejam, ya, enggak bisa. Apalagi kalau salaman dengan atasan, saya takut kalau tangannya terjepit," kata Siswadi, tergelak.
Ini memang adaptasi terbesar yang harus dilakukan Siswadi, yakni menyesuaikan perintah otak dengan kekuatan otot. Dia wajib berkonsentrasi ketika menggerakkan ototnya. "Intinya jangan terlalu kuat, tapi juga jangan terlalu lemah. Nanti malah enggak bisa gerak," tutur Adi.
Sebelum menerima anggota tubuhnya yang baru itu, Siswadi tak hanya berpangku tangan. Dia harus melatih otot-otot di sekitar pangkal tangan yang masih berfungsi agar bisa digerakkan. Tim dokter pun melakukan perbaikan melalui prosedur tenodesis. "Harus kami pastikan ujung-ujung otot tendon diikat atau difiksasi sehingga memiliki kekuatan ketika otot berkontraksi," kata Adi.
Proses latihan agar otot siap menggunakan protese baru itu dibantu dokter ahli rehabilitasi medis, dr Marcus Anthonius, SpRM. Yang terutama dilatih adalah otot-otot rangka fleksor dan ekstensor.
Lalu, begitu tangan bionik terpasang, Siswadi kembali berlatih keras cara mengoperasikannya. Dia didampingi seorang instruktur dari Prancis yang berpengalaman 25 tahun menangani tangan bionik. Demikian keras berlatih, dalam tiga hari Siswadi sudah berhasil menulis dengan tangan barunya. Ini luar biasa, karena biasanya dibutuhkan waktu sekitar dua bulan.
Konsultan bedah tangan dan bedah mikro Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Dr Heri Suroto, dr SpOT(K), mengatakan teknologi tangan bionik adalah terobosan bagus di dunia kedokteran Indonesia. Menurut dia, teknologi myoelectric prosthesis (protese mioelektrik) ini sudah berkembang pesat di dunia kedokteran Amerika dan Eropa.
Menurut Heri, protese mioelektrik adalah perangkat pengganti untuk anggota badan yang hilang menggunakan aktivitas elektromiografi otot kontrak sebagai sinyal kontrol. Teknologi ini paling sering digunakan untuk bagian tubuh di bawah siku yang diamputasi guna mempertahankan fungsi sikunya.
Heri menyebutkan ada dua fenomena yang berkembang di kalangan ahli medis Timur dan Barat. Dokter-dokter Asia dan Pasifik lebih mengandalkan microsurgical skill. "Sehingga justru lebih jago dalam membedah," ucapnya. Sedangkan dokter Barat (Kaukasian) cenderung mengandalkan protese yang canggih. Jadi wajar protese mioelektrik ini lebih berkembang pesat di Amerika Serikat dan Eropa.
Kepala Instalasi Bank Jaringan dan Sel RSUD Dr Soetomo itu berharap ilmuwan Indonesia mampu menciptakan alat protese serupa. Sebab, teknologi ini sangat mungkin diadopsi dan dibuat di dalam negeri. Dia berharap Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya mampu mengembangkan tangan bionik tersebut. "Ini bukan teknologi yang sulit, kok. Apalagi ITS berpengalaman di bidang robotika," katanya.
Mungkin itu masih butuh waktu beberapa lama lagi. Namun, kelak jika berhasil, harganya berpeluang bisa ditekan sehingga kian banyak mereka yang cacat anggota tubuh bisa memanfaatkannya. Mereka akan kembali bisa tersenyum seperti Siswadi, yang kini tengah menunggu kedatangan satu tangan bionik lagi untuk tangan kirinya. "Saya selalu siap kembali untuk mengabdi," ujarnya.
Tulus Wijanarko, Artika Rachmi Farmita (Surabaya)
Fakta-fakta
1. Terdiri atas dua bagian, yakni soket (cangkang) dan telapak tangan. Soket (cangkang) berbahan plastik, sedangkan telapak tangan terbuat dari titanium dilapisi karbon. Di dalamnya terdapat microchip beserta komponen integrated circuit (IC).
2. Otak memerintahkan gerakan ke otot tendon.
3. Otot tendon mengirimkan sinyal listrik dan ditangkap sepasang elektroda di dalam soket atau cangkang plastik yang mencengkeram lengan bawah hingga siku.
4. Sinyal diterima IC, lalu disinkronisasi menjadi gerak tertentu. Microchip yang ditanamkan di dalam IC itulah yang mengontrol gerakan protese.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo