Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perlawanan Sang Dokter

Naskah Musuh Masyarakat karya Henrik Ibsen diadaptasi sangat aktual. Tentang dokter yang menentang limbah pabrik.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berlembar-lembar kertas merah dibagikan kepada penonton di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kertas itu berisi ajakan Dokter Torangga (diperankan Teuku Rifnu Wikana) kepada warga Kota Kencana tentang hasil penemuannya mengenai pencemaran. Limbah PT Harapan Tambang Gemilang, pabrik di lingkungan kota mereka, ternyata meracuni air di saluran pipa warga. "Saudara-saudara Warga Kota Kencana. Silahkan hadir pada rapat umum malam ini."

Harus diakui, pada adegan ini intensitas dramaturgi pentas Musuh Masyarakat karya dramawan Norwegia, Henrik Ibsen (diterjemahkan menjadi Subversif), yang dibesut sutradara asal Bandung, Wawan Sofwan, pada 13-14 Maret lalu, meninggi. Penonton terbawa oleh cerita. Seyogianya seorang aktor yang memerankan sang dokter pada adegan rapat umum tersebut kemudian mampu mengeluarkan "pesona" aktingnya. Di rapat umum itu, dokter akan membeberkan investigasinya. Di rapat itu terjadi kericuhan. Wali Kota menyanggahnya. Warga mencacinya.

Dalam naskah aslinya, nama Dokter Torangga adalah Dokter Thomas Stockman. Dan yang menjadi sentra pertikaian adalah pemandian umum. Stockman menganggap air pemandian-pemandian umum yang baru didirikan Wali Kota untuk menarik turis mengandung bakteri. Lantaran pemandian tidak terdapat dalam kultur kita, produser Faiza Mardzoeki mengadaptasi bakteri menjadi racun limbah dari pabrik yang masuk ke pipa air minum warga. "Saya seperti bernegosiasi dengan Ibsen. Saya harus berani," ujar Faiza.

Adegan awal dibuka dengan Dokter Torangga berkumpul bersama istri (dimainkan Sita Nursanti) dan anaknya (diperankan Dinda Kanya Dewi). Tiga aktor itu, sayangnya, kurang mampu menampilkan kehangatan sebuah keluarga, menjadikan "start" awal menjadi agak lambat. Di situ Torangga bercerita bagaimana ia menemukan tanda banyak pasiennya menderita gatal-gatal. Ia lalu menulis artikel di media. Wali Kota (dimainkan cukup bagus oleh Ayez Kassar), yang merupakan kakak Torangga sendiri, kemudian menegurnya. Juga mertuanya (diperankan dengan menarik oleh Andi Bersama).

Naskah Ibsen ini bukanlah naskah yang asing di jagat teater kita. Dalam beberapa pertunjukan yang ditampilkan grup teater lain, karakter Stockman selalu ditafsirkan berapi-api, meluap-luap. Sepanjang pertunjukan, Teuku Rifnu Wikana memainkan sosok Torangga dengan tenang. Tak ada ekspresinya yang meledak-ledak. Dokter Torangga cenderung sosok yang mampu mengontrol emosi. Tapi akibatnya, tatkala adegan sang dokter bertahan terhadap massa yang ganas melempari rumahnya, karakter "subversif" menjadi tak mencolok. Akting Sita Nursanti dan Dinda Kanya Dewi juga tak cukup mendramatisasi ketegangan.

Dalam naskah aslinya, konflik kesannya tak hitam-putih sekali. Masyarakat terasa juga memiliki argumen kuat. Warga menganggap pikiran Stockman menghambat peningkatan perekonomian kota. Masyarakat balik mencurigai Stockman. Konflik menjadi menarik lantaran tiap pihak memiliki kebenaran sendiri. Kekisruhan pemandian umum bisa melentingkan imajinasi kita ke kepelikan pertikaian mana pun. Sosok dokter antara hero dan antihero.

Sedangkan pada naskah adaptasi ini, kecenderungan oposisi biner "benar-salah" sangat kuat. Di tangan Faiza, Dokter Torangga ditonjolkan sebagai seorang protagonis antikorupsi. Sebagai antagonisnya adalah kolusi perusahaan tambang, media, dan masyarakat. Toh, ada penonton yang bertanya: apakah logis warga kota digambarkan sama sekali tak terusik oleh sinyalemen Torangga soal adanya bakteri di pipa air minum? Sekolusi-kolusinya mereka dengan perusahaan tambang, bila virus telah masuk ke keran-keran rumah, tentu mereka akan resah. Itu berbeda bila bakteri hanya berbiak di pemandian umum wisatawan. Apa pun itu, adaptasi ini mampu menjadikan naskah Ibsen (1828-1906) kontekstual dengan konflik yang sering diberitakan media kita.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus