Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sudut ring itu Muhammad Rachman, 39 tahun, bersujud satu, dua, tiga kali. Bibirnya tak henti mengucap puji sanjung ke Yang Mahaperkasa. Di sudut lain, petinju Thailand, Kwanthai Sithmorseng, yang sepuluh tahun lebih muda, juga bersujud, tapi sembari mengerang kesakitan. Pukulan Rachman menghajar telak rusuk kanan, sekaligus melucuti gelarnya sebagai juara dunia kelas terbang mini Asosiasi Tinju Dunia (WBA). Wasit menyematkan sabuk kulit hitam itu ke pinggang Rachman. Dunia memiliki juara baru. ”Saya masih setengah percaya,” kata Rachman.
Pertarungan di Universitas Thonburi Krungthep, Bangkok, Thailand, 19 April lalu itu memang penuh kejutan. Maklum, sejak kehilangan gelar juara dunia Federasi Tinju Internasional (IBF) empat tahun lalu, ayah empat anak ini dianggap tamat. Usianya hampir berkepala empat. Dia hanya menang dua kali dalam enam pertandingan terakhir.
Kebetulan, Kwanthai, yang baru jadi kampiun November tahun lalu, sedang mencari lawan. Promotor di Thailand menganggap si gaek dari Blitar, Jawa Timur, itu sebagai ”korban” yang cocok untuk memperpanjang rekor 32 pertandingan tanpa kalah petinjunya. ”Namanya menjual karena mantan juara dunia, tapi bakal jadi lawan empuk karena sudah tua,” kata manajer Rachman, Erick Purna Irawan. Petinju veteran yang bercokol di penantang urutan 12 WBA itu mendapat durian runtuh.
Pertandingan berlangsung dramatis. Di hadapan ratusan penonton yang memenuhi aula universitas tersebut, Rachman jatuh di ronde kedua. Lengah dan menurunkan pertahanan tangan kanan, dia lagi-lagi tersungkur saat hook kiri lawan mendarat tepat di dagunya pada ronde keempat. ”Langsung gelap,” katanya. ”The Rock Breaker”, julukannya, tidak dapat mengingat banyak setelah menerima bogem mentah tersebut. Dia hanya tahu harus bangkit sebelum wasit menyelesaikan hitungan.
Kesadaran Rachman baru pulih saat uppercut kirinya menghunjam rusuk kanan dan membuat lawan terhuyung di ronde kedelapan. Wajah tampan Kwanthai berubah jadi aneh seperti orang mau muntah. Lima hook kanan susulan membuat Kwanthai mencium kanvas, tapi kembali tegak.
Sesuai dengan julukan ”Predator”, insting pemangsa Rachman kembali mengincar rusuk yang kesakitan itu dengan kombinasi pukulan kepala. Sang juara tumbang, menyisakan wajah kecewa dari delapan penjuru tribun, plus ribuan lain yang menyaksikan lewat stasiun Channel 7 Thailand.
Sepi mengiringi kemenangan Rachman, yang hanya ditemani tiga pengiring. Namun Rachman sebenarnya punya firasat bakal menang. Di malam sebelum pertandingan, dia bermimpi naik tangga sampai puncak. ”Sebagai orang Jawa, saya yakin itu pertanda akan naik derajat,” ujarnya.
Terlahir dengan nama Mohamad Rachman Sawaludin bin Suhaimat, dia menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya, Merauke, Papua Barat. Rachman kecil doyan adu jotos di jalanan. Hasrat bertarung itu dia asah dengan belajar tinju. Dia bermimpi bisa mengalahkan semua lawan, seperti Ellyas Pical menjatuhkan lawan dengan tinju kidal mautnya.
Pada 1991, pasangan Suhaimat dan Siti Maryam mengirim putra kedua dari tujuh bersaudara itu ke Surabaya untuk kuliah. Alih-alih duduk manis di bangku perguruan tinggi, Rachman malah mengasah kepalan di Sasana Pirih.
Pengalaman perdana naik ring dia dapatkan dua tahun kemudian. Dia memenangi laga empat ronde yang berlangsung di tempat parkir Plaza Surabaya. Upahnya Rp 20 ribu dan dia gunakan untuk membeli celana panjang. ”Sisa sedikit untuk makan dan ongkos,” katanya.
Babak-belur, kantong kempis, dan omelan keluarga tidak dia hiraukan. Satu per satu lawan dia kalahkan, yang mengantarkannya sebagai orang Indonesia keempat yang menjadi juara dunia tinju, setelah Ellyas Pical pada 1985, Nico Thomas (1989), dan Chris John (2003).
Dia merebut sabuk IBF pada 2004 setelah merobohkan Daniel Reyes dari Kolombia. Sang juara dunia sempat tiga kali mempertahankan gelar sebelum kalah oleh petinju Filipina, Florante Condes, pada 2007. Tanpa sabuk di pinggang, dia hanya mampu menang atas petinju gurem asal Filipina dan kalah tiga laga berturut-turut. Dunia pun melupakannya.
Tapi ”singa tua” itu ogah menyerah. Sepeninggal pelatih Muhammad Yunus, yang mundur karena stroke pada 2005, dia memilih berlatih swadaya. Meski tidak ada pertandingan, dia bangun subuh untuk jogging sedikitnya delapan kilometer berkeliling stadion sepak bola di dekat kediamannya di Blitar, Jawa Timur. Lalu Rachman naik-turun tribun untuk menguatkan kaki, diakhiri shadowboxing alias tinju bebas tanpa sasaran.
Bila mempersiapkan diri untuk bertanding, Rachman pindah berlatih ke Sasana Merah Putih, Blitar, untuk menghajar sansak dan sasaran pukulan (punching pad) serta melakukan lompat tali. Istrinya berperan sebagai asisten cabutan untuk menghitung waktu tiga menit, sesuai dengan ronde di pertandingan. Hanya sesekali Rachman menyewa petinju untuk jadi lawan tanding.
Menurut Rachman, berlatih sendiri membuatnya lebih terfokus. ”Saya yang paling tahu kekurangan atau kelebihan saya,” katanya. Misalnya, jika setelah sparring merasa kurang cepat, Rachman berfokus berlatih sprint dan menghindari angkat beban 16 hari. Menurut dia, angkat beban memperbesar massa otot dan menambah tenaga pukulan, tapi memperlambat gerakan.
Di Bangkok, Rachman memutuskan bertanding sendirian. Padahal petinju wajib didampingi pelatih. Pengatur pertandingan menugasi seorang warga Thailand jadi ”pelatih” yang memberi Rachman instruksi di ring. ”Dia ngomong apa, saya tidak ngerti,” ujar Rachman.
Dia cuma berfokus pada strateginya sendiri yang direkam di otaknya. Skenarionya adalah menunggu momen melancarkan uppercut. Strategi itu dia dapat dari rekaman pertandingan Kwanthai yang diunduh lewat YouTube.
Sarjana hukum dari Universitas Putra Bangsa Surabaya ini juga mengubah gaya tinjunya. Dari fighter, yang maju terus pantang mundur, dia menjadi counter boxer, yang cenderung menunggu lawan menyerang agar dapat melancarkan pukulan balasan. Alasannya, usia yang tak muda membuatnya kalah jika harus adu kecepatan pukulan.
Erick menilai disiplin jadi kunci sukses petinjunya. ”Kebanyakan petinju hanya berlatih jika sudah mendapat agenda pertandingan,” kata manajer yang telah menangani lebih dari sepuluh petinju ini. Hasil latihan tanpa libur terlihat dari timbangan Rachman yang stabil, tidak pernah lebih dari 53 kilogram. Beratnya menyusut jadi 47,5 kilogram saat bertanding, sesuai dengan kategori terbang mini, kelas dengan berat terendah di tinju. Otot di sekujur tubuhnya terpahat tajam, lengkap dengan perut six-pack.
Dia pantang menyentuh alkohol, rokok, dan kopi. Saat menemui Tempo, Selasa pekan lalu, Rachman menolak menyantap sirloin steak untuk menghindari lemak, dan memilih tenderloin tanpa lemak. Pola tidurnya juga layak ditiru: selalu di peraduan paling telat pukul 10 malam dan bangun ketika matahari terbit.
Di mata petinju muda, Rachman adalah teladan. ”Bagi saya, juara sejati adalah orang yang bisa bangkit dari kekalahan,” kata Daud Yordan, 23 tahun, petinju asal Ketapang, Kalimantan Barat, yang dikalahkan Chris John dalam perebutan sabuk kelas bulu WBA dua pekan lalu.
Rachman belum punya rencana pensiun. ”Kalau masih sanggup, kenapa harus berhenti,” katanya. Dia melirik George Foreman, yang jadi juara dunia kelas berat WBA dan IBF pada usia 45 tahun. Terlebih, sejak dua tahun lalu, dia jadi kontraktor di proyek pemerintah daerah Blitar, mulai pengecatan jalan sampai pembelian bibit tanaman. ”Alhamdulillah, saya bisa hidup tanpa uang dari tinju,” katanya.
Sang singa tua, yang sudah mengarungi 79 pertarungan, menargetkan tiga atau empat laga sebelum menggantung sarung tinju. Setelah malang-melintang di negeri orang, dia berharap bisa dipertemukan dengan calon-calon juara sebangsa dan bermain di kandang. ”Sehingga, kalaupun saya kalah, sabuk ini tetap ada di sini,” katanya.
Reza Maulana
Muhammad Rachman
Julukan:
The Rock Breaker, Predator
Lahir:
Merauke, 23 Desember 1971
Tempat tinggal:
Blitar, Jawa Timur
Kuda-kuda:
Ortodoks/kanan
Tinggi:
160 sentimeter
Jangkauan:
150 sentimeter
Rekor:
64 kali menang dengan 33 KO, 10 kalah, 5 seri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo