Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lost Butterfly, Dilema Cinta Mantan Pria
Penulis: Yandasadra
Penerbit: Tinta Publisher, Januari 2011
Tebal: 327 halaman
Namanya Maria Fitriyana Lucci. Dalam novel Lost Butterfly, Dilema Cinta Mantan Pria, ia digambarkan sebagai sosok misterius: datang dan pergi seperti angin. Ia irit bicara, berambut panjang bergelombang dengan bandana bergambar kupu-kupu, senang memakai parfum Hanae Mori Butterfly.
Sejak pertemuan mereka di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Arman—lengkapnya Dr Arman Wiranata—tokoh utama novel ini, dosen favorit di universitas Islam negeri, tak sanggup menghapus ingatannya tentang perempuan ”berparas sedih” ini. Ya, kisah cinta Maria-Arman seakan didorong oleh tangan yang gaib, kekuatan yang berada di luar kehendak mereka.
Cerita bergulir, dan perlahan-lahan kita pun menyaksikan posisi masing-masing: Maria sebagai korban, sedangkan Arman malaikat penolong yang kemudian gagal menyelamatkan sang korban. Di akhir cerita, dua sejoli itu dipisahkan oleh kematian tragis arsitek desain interior lulusan Institut Teknologi Bandung ini. Maria mengalami komplikasi setelah menjalani operasi di Bangkok. Maria tak tertolong, tapi Arman tetap merupakan seorang ”pahlawan” dalam cerita ini. Dosen filsafat dan sosiologi agama ini berhasil mengartikulasikan wacana tentang orang-orang yang terperangkap dalam jasmani dengan jenis kelamin yang salah, dan bagaimana seharusnya agama menjawab tantangan ini.
Membaca Lost Butterfly, Dilema Cinta Mantan Pria karya Yandasadra ini tak ubahnya seperti membaca sebuah makalah yang dikemas dalam sebuah novel. Penulisnya asyik berkisah tentang dunia urban mutakhir yang penuh paradoks, kampus yang aktif mengkampanyekan dialog, gerakan dan tokoh-tokoh radikal, kafe yang menjadi ajang diskusi sekaligus transaksi politikus korup, dunia maya para blogger yang tak mengenal istirahat, lelaki bernama Haryono yang berdandan seperti perempuan supaya lebih mudah mengumpulkan uang—semua ini dituturkan sambil menyarikan diskursus tentang transgender.
Di mata Arman, agama mengakui kenyataan adanya orang-orang yang terlahir dengan ambiguitas gender: memiliki dua jenis kelamin sekaligus, atau yang menderita lantaran jiwanya terperangkap dalam tubuh yang salah—dalam terminologi agama golongan ini disebut khuntsa. Namun Arman juga menegaskan bahwa kondisi ini bukan titik akhir, dan bukan pula kodrat karena kodrat bukanlah sesuatu yang bisa diubah dan dimanipulasi. Dosen yang pernah kuliah di Sorbonne, Al-Azhar, dan Qom ini lalu menawarkan operasi ganti kelamin sebagai jalan keluar.
Bukan apa-apa, agama menuntut ketegasan gender—dengan dasar itu pula ia melarang homoseksualitas. Tapi ia mencela mereka yang menghujat golongan ini tanpa mencarikan jalan keluar, seraya menyeru agama memperlihatkan wajahnya yang welas asih kepada kreasi Allah ini. Kalau sudah begini, apa boleh buat, operasi kelamin merupakan solusi untuk menyudahi keterasingan jiwa dan tubuh yang melelahkan ini, begitulah kurang-lebih jalan pikiran yang disodorkan Arman.
Banyak yang bisa ditarik sebagai pelajaran dari Lost Butterfly, Dilema Cinta Mantan Pria. Kalaupun ada yang perlu dikritik di sini, mungkin soal perhatian penulis yang kelewat besar ditujukan kepada Arman, sehingga melupakan pengembangan karakter Maria Fitriyana Lucci, sang korban. Maria memang bercerita tentang banyak hal mengenai dirinya dengan beberapa teman curhat-nya. Namun pembaca tidak memperoleh gambaran yang jelas tentang pergulatan eksistensial—menyangkut hubungan ”aku”, orang lain, dan Tuhan—yang telah dilaluinya dengan hati yang hancur.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo