HARI Minggu sore pekan lalu, beberapa murid SD Kasugengan II
Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon berada di rumah Dedi Sunadi,
guru kelas VI sekolah tersebut. Sesudah mengambil Surat Tanda
Tamat Belajar (STTB) dari rumah 'guru Dedi, mereka sepakat
hendak meneruskan belajar ke SMP Negeri Plumbon. Kalau toh
gagal, mereka akan masuk ke SMP PGRI atau kursus ketrampilan.
Masuk SMP Terbuka?
"Saya masih bingung apa itu SMP Terbuka? Jadi supaya tidak
kejeblos saya lebih baik mendaftar ke SMP PGRI saja," jawab
Susila, 13 tahun dengan lugu.
Apa itu SMP Terbuka (SMPT)?
Di lima daerah, mulai tahun ajaran 1979 ini pemerintah membuka
SMPT sebagai langkah perintisannya. Ia berbeda dengan SMP biasa.
Di SMPT tidak dikenal sosok gedung dan sarana pisik sekolah,
tapi ia bernaung di bawah suatu SMP Negeri. Bahan pelajaran SMPT
lebih banyak disampaikan lewat media (90%) daripada tatap muka
(10%) atau oleh guru di kelas. Anak-anak tidak perlu datang ke
sekolah untuk menerima pelajaran. Dengan media cetak berupa
brosur dan modul bahan-bahan tadi dipelajari murid di rumah. Di
bawah pengawasan seorang guru pembimbing, setiap 10 murid SMPT
tadi di rumah seorang murid atau di mana saja juga akan menerima
bahan pelajaran lewat slide, radio dan kaset sebagai penunjang.
Kesempatan bertemu dengan guru pembimbing ini bisa dipakai buat
mengemukakan kesulitan menghadapi modul dan brosur. Kalau toh di
sini masih sulit, mereka bisa melontarkannya pada guru pembina
yang menentukan waktu berkumpul beberapa kali dalam seminggu
selama 6 jam di SMP Induk.
Yang terpenting seorang siswa SMPT harus bersentuhan dengan
bahan pelajaran 4 jam sehari -- pada SMP biasa setiap murid
bersentuhan antara 6 jam. Murid bisa belajar di mana dan kapan
saja. "Mau belajar sambil berdagang di pasar atau menunggui
sawah bisa juga," kata Jusufhadi Miaro MSc, Kepala Pusat
Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola
SMPT perintis di lima daerah.
Alternatip yang diambil Dep. P & K untuk menampung ledakan
lulusan Sl) ini memang baik. Tapi penerangan yang harus
dilakukannya, tidak pernah terdengar. Padahal ini model baru
yang perlu dijelaskan segala sesuatunya. Mungkin terpojok
persiapan yang mepet dan bahan penelitian yang belum lengkap,
tentang SMPT ini bagi orang tua dan murid dalam lingkungan SMPT
tersebut yang sesungguhnya merupakan konsumen, soal ini masih
seperti kucing dalam karung. Di Plumbon, Cirebon, maupun
Adiwerna, Tegal, seperti ditinjau wartawan TEMPO Aris Amiris,
SMPT hanya diketahui kalangan Kantor P & K setempat.
"Penyuluhan secara masal belum pernah dilakukan Kantor Dep. P &
K Cirebon maupun Kepala SMPT. Tapi secara umum saya sudah
terangkan pada murid-murid saya, apa itu SMPT," kata guru Dedi
Sunadi.
Tapi di Kecamatan Kalisat, Jember, Jawa Timur meskipun pihak
pembina sudah mempropagandakannya keluarmasuk desa, tanda-tanda
masyarakat tertarik belum kelihatan. Di gedung SMP Negeri
Kalisat yang bakal menjadi induk SMPT juga tak ada kesibukan.
Bagaimana kalau sampai Juni iJll mk ad seorang pun sudi
menuntun anaknya ke SMPT? "Proyek ini jalan terus," kata drs
Karsidi dosen Univ. Jember yang ditunjuk sebagai pembina SMPT
Kalisat.
Di Adiwerna murid SMPT diharapkan datang dari 10 desa, dan di
Plumbon dari 18 desa. Syarat bagi terselenggaranya sebuah SMPT
adalah jumlah murid minimal 200. "Kurang dari 200 murid, biaya
penyelenggaraan SMPT tidak akan efisien," ungkap Jusufhadi.
Sebab sudah diperhitungkan, bersandar pada guru yang terpakai di
SMPT (hanya 1/6 jumlah guru SMP biasa), biaya operasional SMPT
harus 60% dari SMP biasa atau kira-kira Rp 111.450 tiap murid
per tahun. "Kalau biaya SMPT lebih mahal, itu bukan alternatif
lagi namanya," tambah Jusufhadi.
Bagi Adiwerna syarat minimal itu mungkin berlebihan. Jumlah
luluslm SD yang bakal tak tertampung dan diharapkan jadi murid
SMPT adalah 315. Sementara di Plumbon 256. Tidak seluruhnya akan
jadi murid SMPT, "mungkin saja beberapa di antaranya melanjutkan
ke Tegal," kata Soekarno, Kepala Kantor P & K Kecamatan
Adiwerna. Tapi yang jelas, sebelumnya banyak lulusan SD yang
tidak tertampung hanya menganggur dan tidak pergi ke Tegal.
STTB, Kurikulum '75 dan SPP di SMPT sama seperti SMP Negeri.
Perlakuan istimewa tidak ada. Tapi yang sulit adalah, seperti
diakui Jusufhadi, "mencegah anggapan masyarakat, mereka yang
sekolah di SMPT adalah kelas II."
Dan yang penting ditekankan SMPT menuntut kemauan belajar
sendiri dari murid. Tentu saja, bertemu guru pembinanya 'kan
hanya 6 jam seminggu.
Bisakah itu dilakukan? Banyak yang pessimis, seperti Kyai
Sadali, tokoh desa Kasugengan, Plumbon. "Untuk menanamkan
disiplin kepada anak mungkin sulit. Jangankan untuk belajar
sendiri, pelajaran yang diberikan guru di kelas saja sangat
sulit dicerna," katanya. Tapi Jusufhadi sebagai Kepala TKPK
tentu saja optimis: "Respons dan bimbingan orang tua sangat
diperlukan."
Yang mungkin akan menarik minat anak-anak, di sela pejalaran
bahasa Inggeris atau matematika lewat kaset itu, diselipkan juga
lagu-lagu. Ini untuk mencegah kebosanan dan rasa ngantuk, karena
sifat penyampaian bahan yang satu arah tersebut.
Sementara tahun ajaran baru sudah harus dimulai Juli ini, kesan
SMPT hanya akan menerima sisa, sulit dihindarkan. Celakanya di
SMPT Plumbon daerah yang mudah dijangkau Jakarta, modul bidang
studi, radio kaset dan slide projektor belum lengkap diterima.
"Baru modul bidang studi matematika dan Inggeris yang kami
terima," kata Dana Supena Kepala SMPT Plumbon. Bagaimana halnya
dengan SMPT Kalianda, Lampung yang menyeberang laut segala itu,
sulit dibayangkan. Tapi dari Kepala Kanwil P & K Nusa Tenggara
Barat, SMPT di Terara, Lombok, sudah mencatat 290 calon siswa.
Soalnya memang bagaimana menawarkan model baru ini kepada
masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini