Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Terbuka, Tapi Bukan Nomor Dua

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI Minggu sore pekan lalu, beberapa murid SD Kasugengan II Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon berada di rumah Dedi Sunadi, guru kelas VI sekolah tersebut. Sesudah mengambil Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dari rumah 'guru Dedi, mereka sepakat hendak meneruskan belajar ke SMP Negeri Plumbon. Kalau toh gagal, mereka akan masuk ke SMP PGRI atau kursus ketrampilan. Masuk SMP Terbuka? "Saya masih bingung apa itu SMP Terbuka? Jadi supaya tidak kejeblos saya lebih baik mendaftar ke SMP PGRI saja," jawab Susila, 13 tahun dengan lugu. Apa itu SMP Terbuka (SMPT)? Di lima daerah, mulai tahun ajaran 1979 ini pemerintah membuka SMPT sebagai langkah perintisannya. Ia berbeda dengan SMP biasa. Di SMPT tidak dikenal sosok gedung dan sarana pisik sekolah, tapi ia bernaung di bawah suatu SMP Negeri. Bahan pelajaran SMPT lebih banyak disampaikan lewat media (90%) daripada tatap muka (10%) atau oleh guru di kelas. Anak-anak tidak perlu datang ke sekolah untuk menerima pelajaran. Dengan media cetak berupa brosur dan modul bahan-bahan tadi dipelajari murid di rumah. Di bawah pengawasan seorang guru pembimbing, setiap 10 murid SMPT tadi di rumah seorang murid atau di mana saja juga akan menerima bahan pelajaran lewat slide, radio dan kaset sebagai penunjang. Kesempatan bertemu dengan guru pembimbing ini bisa dipakai buat mengemukakan kesulitan menghadapi modul dan brosur. Kalau toh di sini masih sulit, mereka bisa melontarkannya pada guru pembina yang menentukan waktu berkumpul beberapa kali dalam seminggu selama 6 jam di SMP Induk. Yang terpenting seorang siswa SMPT harus bersentuhan dengan bahan pelajaran 4 jam sehari -- pada SMP biasa setiap murid bersentuhan antara 6 jam. Murid bisa belajar di mana dan kapan saja. "Mau belajar sambil berdagang di pasar atau menunggui sawah bisa juga," kata Jusufhadi Miaro MSc, Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola SMPT perintis di lima daerah. Alternatip yang diambil Dep. P & K untuk menampung ledakan lulusan Sl) ini memang baik. Tapi penerangan yang harus dilakukannya, tidak pernah terdengar. Padahal ini model baru yang perlu dijelaskan segala sesuatunya. Mungkin terpojok persiapan yang mepet dan bahan penelitian yang belum lengkap, tentang SMPT ini bagi orang tua dan murid dalam lingkungan SMPT tersebut yang sesungguhnya merupakan konsumen, soal ini masih seperti kucing dalam karung. Di Plumbon, Cirebon, maupun Adiwerna, Tegal, seperti ditinjau wartawan TEMPO Aris Amiris, SMPT hanya diketahui kalangan Kantor P & K setempat. "Penyuluhan secara masal belum pernah dilakukan Kantor Dep. P & K Cirebon maupun Kepala SMPT. Tapi secara umum saya sudah terangkan pada murid-murid saya, apa itu SMPT," kata guru Dedi Sunadi. Tapi di Kecamatan Kalisat, Jember, Jawa Timur meskipun pihak pembina sudah mempropagandakannya keluarmasuk desa, tanda-tanda masyarakat tertarik belum kelihatan. Di gedung SMP Negeri Kalisat yang bakal menjadi induk SMPT juga tak ada kesibukan. Bagaimana kalau sampai Juni iJll mk ad seorang pun sudi menuntun anaknya ke SMPT? "Proyek ini jalan terus," kata drs Karsidi dosen Univ. Jember yang ditunjuk sebagai pembina SMPT Kalisat. Di Adiwerna murid SMPT diharapkan datang dari 10 desa, dan di Plumbon dari 18 desa. Syarat bagi terselenggaranya sebuah SMPT adalah jumlah murid minimal 200. "Kurang dari 200 murid, biaya penyelenggaraan SMPT tidak akan efisien," ungkap Jusufhadi. Sebab sudah diperhitungkan, bersandar pada guru yang terpakai di SMPT (hanya 1/6 jumlah guru SMP biasa), biaya operasional SMPT harus 60% dari SMP biasa atau kira-kira Rp 111.450 tiap murid per tahun. "Kalau biaya SMPT lebih mahal, itu bukan alternatif lagi namanya," tambah Jusufhadi. Bagi Adiwerna syarat minimal itu mungkin berlebihan. Jumlah luluslm SD yang bakal tak tertampung dan diharapkan jadi murid SMPT adalah 315. Sementara di Plumbon 256. Tidak seluruhnya akan jadi murid SMPT, "mungkin saja beberapa di antaranya melanjutkan ke Tegal," kata Soekarno, Kepala Kantor P & K Kecamatan Adiwerna. Tapi yang jelas, sebelumnya banyak lulusan SD yang tidak tertampung hanya menganggur dan tidak pergi ke Tegal. STTB, Kurikulum '75 dan SPP di SMPT sama seperti SMP Negeri. Perlakuan istimewa tidak ada. Tapi yang sulit adalah, seperti diakui Jusufhadi, "mencegah anggapan masyarakat, mereka yang sekolah di SMPT adalah kelas II." Dan yang penting ditekankan SMPT menuntut kemauan belajar sendiri dari murid. Tentu saja, bertemu guru pembinanya 'kan hanya 6 jam seminggu. Bisakah itu dilakukan? Banyak yang pessimis, seperti Kyai Sadali, tokoh desa Kasugengan, Plumbon. "Untuk menanamkan disiplin kepada anak mungkin sulit. Jangankan untuk belajar sendiri, pelajaran yang diberikan guru di kelas saja sangat sulit dicerna," katanya. Tapi Jusufhadi sebagai Kepala TKPK tentu saja optimis: "Respons dan bimbingan orang tua sangat diperlukan." Yang mungkin akan menarik minat anak-anak, di sela pejalaran bahasa Inggeris atau matematika lewat kaset itu, diselipkan juga lagu-lagu. Ini untuk mencegah kebosanan dan rasa ngantuk, karena sifat penyampaian bahan yang satu arah tersebut. Sementara tahun ajaran baru sudah harus dimulai Juli ini, kesan SMPT hanya akan menerima sisa, sulit dihindarkan. Celakanya di SMPT Plumbon daerah yang mudah dijangkau Jakarta, modul bidang studi, radio kaset dan slide projektor belum lengkap diterima. "Baru modul bidang studi matematika dan Inggeris yang kami terima," kata Dana Supena Kepala SMPT Plumbon. Bagaimana halnya dengan SMPT Kalianda, Lampung yang menyeberang laut segala itu, sulit dibayangkan. Tapi dari Kepala Kanwil P & K Nusa Tenggara Barat, SMPT di Terara, Lombok, sudah mencatat 290 calon siswa. Soalnya memang bagaimana menawarkan model baru ini kepada masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus