KEKALAHAN Polly Pesireron, 29, akhirnya berbuntut. Ini gara-gara ketidakberesan pembayaran honor tinjunya. "Belum sampai ke tangan saya, padahal saya sangat membutuhkanya," katanya, pekan lalu, dari Rumah Sakit Pertamina, tempat ia dirawat setelah dikalahkan petinju Korea Selatan Bok Yul Kim. Honor itu menurut kontrak Rp 15 juta. Setelah dipotong antara lain 30% untuk sasana dan 4% untuk KTI, menurut Polly, jumlah honor yang akan diterimanya jadi sekitar Rp 10 juta. Dan akan diterimanya begitu pertandingan selesai. Tapi sampai beberapa hari ayah dua anak ini usai bertarung, duit yang ditunggunya itu tak juga diberikan. Keluhan Polly rupanya dibaca Menpora Abdul Gafur. Kepada M. Anwar, Ketua I KTI, yang menemaninya membesuk Polly, Gafur minta kasus itu diselesaikan. Kasus ini pun jadi besar. Sebab, tak kurang Herman Sarens Sudiro, promotor merangkap pemilik sasana Satria Kinayungan, Jakarta, yang mengurus Polly, langsung bereaksi. Ia menyatakan niatnya mau mengundurkan diri sebagai promotor tinju karena ramainya pemberitaan kasus itu (lihat Saya Mundur sebagai Promotor). Ceritanya jadi makin hangat. Sebab, kemudian muncul perbedaan ngenai jumlah uang bayaran antara Polly dan pihak Satria Kinayungan. Menurut Manajer Satria Kinayungan Rizaf Thaib, Polly hanya akan menerima Rp 6.876.000 lagi dari keseluruhan kontrak. Namun, Polly menyangkal. Bahkan ia membantah pernah menandatangani kontrak seperti yang disebut-sebut staf Herman itu. Silang pendapat ini kemudian ditengahi KTI. Hasilnya cepat. KTI lalu memutuskan jumlah yang diterima Polly adalah Rp 9.080.000. Hasil ini merupakan putusan kompromi. Menurut Solihin, Ketua KTI, KTI menetapkan jumlah itu setelah mendengar pertimbangan kedua belah pihak dengan tetap menggunakan patokan kontrak yang sudah mereka tanda tangani. Lewat KTI pula Polly menerima uang itu di kamar 422, tempat ia dirawat di Rumah Sakit Pertamina. Toh, tetap ada syarat yang diminta oleh pimpinan sasana Satria Kinayungan sebelum penyerahan uang dilakukan: Polly harus menandatangani pernyataan setuju keluar dari rumah yang kini ditempatinya di Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, sebelum 15 Februari ini. Itu berarti ia didepak dari tempat ia bernaung sejak 1981. "Kalau Ontua (panggilannya pada Herman) sudah bilang begitu, beta nurut. Tak apa-apa, beta toh bisa hidup di emper toko," ujar Polly.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini