Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sodokan Alwi untuk Citra Biliar

Berlatih secara otodidak, pebiliar Alwi mampu bertengger di posisi puncak. Beberapa soal menghambat penjaringan bibit.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEJA biliar adalah magnet bagi Alwi. Saat masih bocah, ia sempat tinggal di perkampungan Bugis di Mindanao, Filipina. Kebetulan, orang tuanya adalah pelaut yang mondar-mandir Indonesia-Filipina. Di perkampungan itu, ada satu rumah panggung yang menjadi arena permainan bola sodok. Setiap malam, ia melihat betapa tempat itu menyedot banyak pengunjung. Alwi, yang saat itu berusia 12 tahun, menjadi penasaran. Tapi, apa daya, uang tak ada, orang tua pun kencang melarang.

Namun, satu hari, ia nekat mengambil uang orang tuanya dan main secara diam-diam. "Sejak saat itu, saya enggak pernah pulang," kata Alwi sambil terkekeh. Mujur bagi Alwi, kenekatannya tidak berbuah hampa. Alwi, 31 tahun, sekarang tercatat sebagai atlet biliar papan atas di Indonesia. Februari lalu, ia berhasil menjadi pemuncak dalam kejuaraan biliar internasional—diikuti oleh enam negara, antara lain Jepang, Korea, dan Taiwan—di Kuta, Bali. Bagaimana dengan prestasi sebelumnya? Lumayan. Piala yang dibawanya pulang, bila dideretkan, niscaya lebih panjang dari namanya, yang cuma Alwi doang. Hadiah yang ia ingat secara khusus adalah dua medali emas Pekan Olahraga Nasional (PON) 1996. Spesialisasi Alwi adalah permainan pocket untuk 9 dan 15 bola.

Perjalanan Alwi menuju puncak cukup berliku. Hampir setiap hari ia melewati waktu dengan menggumuli bola-bola sekepalan tangan itu. Bahkan, ketika merantau ke Malaysia sebagai pendatang gelap, ia lebih memilih bekerja sebagai tukang pasang bola di rumah biliar ketimbang mencari duit di perkebunan seperti kebanyakan pendatang lain. Pada awal karirnya, Alwi bertahun-tahun menghabiskan malamnya di rumah biliar. Ia berlatih dengan siapa pun yang ditemui.

Kini, atlet PON DKI itu lebih memilih berlatih di rumahnya sendiri di kawasan Bekasi Timur. Setiap pagi, seusai bangun tidur, ia bisa langsung berlatih selama lima jam. Cara ini jelas lebih efektif dan murah. Untuk satu jam di rumah biliar, setidaknya Rp 20 ribu harus terogoh. Mitra tandingnya adalah dua anaknya, Selfy, 12 tahun, dan Faisal, 11 tahun. Dua anaknya ini dinilainya punya bakat cukup besar. Sekalipun dunia biliar identik dengan kehidupan malam, ia mengaku justru senang bila anaknya memilih menjadi pemain profesional seperti dirinya.

Biliar memang telanjur bersarang di sumsum Alwi. Ia memang tidak punya pekerjaan lain. Anna, perempuan yang ia nikahi 13 tahun lalu, justru uring-uringan kalau ia mogok main sodok. Sementara istri orang lain biasanya marah kalau suaminya main ke rumah biliar, istri Alwi sebaliknya. Jika sang istri bilang beras di rumah menipis, Alwi pun segera ngeloyor ke rumah biliar. Di sana, ada saja yang mengajaknya main, entah untuk mengadu kemampuan, entah justru minta diajari. Alwi mendapatkan uang dari mitra mainnya sebagai tanda terima kasih. "Lumayan, bisa untuk beli beras," ujarnya.

Alwi mengaku saat ini tak lagi berjudi untuk mendapatkan uang. Lagi pula, siapa yang mau berjudi dengan pemain sejago Alwi? Namun, beberapa tahun lalu, ia juga main taruhan. Alwi yang ingin main sampai tua ini yakin bisa hidup layak lewat biliar. Ia mencontohkan Jane Leigh, juara biliar wanita kaliber dunia yang selalu tampil seksi. Menurut Alwi, idolanya itu juga laris sebagai bintang iklan, antara lain, untuk sebuah produk pesawat televisi layar datar.

Sayang, selain Alwi, hanya ada segelintir nama yang berhasil melambung, misalnya Ananta, dosen berpendidikan doktor asal Jawa Timur, dan Kempeng Pondiar dari Sumatra Selatan. Mengapa bisa begini, padahal rumah biliar menjamur? Menurut Kundrat Darmono dari Bagian Humas Pengurus Besar Persatuan Olahraga Biliar Seluruh Indonesia (PB POBSI), itu berkaitan dengan citra olahraga ini yang kusam. "Unsur hiburan dan kehidupan malamnya terlalu menonjol," kata Kundrat. Padahal, di daerah bekas koloni Inggris, biliar punya citra elegan.

Meja rumah biliar yang tidak standar dan khusus untuk permainan pocket juga dituding Kundrat membatasi potensi atlet. Idealnya memang rumah biliar memiliki meja dengan standar internasional, yaitu 3 meter, bukan 2,3 meter. Minimnya meja jenis snooker (21 bola) juga membuat atlet kita ketinggalan jauh. "Padahal, snooker itu kelas aristokratnya biliar," kata Kundrat.

Untuk menghapus ketertinggalan ini, PB POBSI sudah membuat beberapa agenda kejuaraan. Mereka juga bekerja sama dengan TVRI untuk menyajikan tayangan biliar dari atlet yang terseleksi. Jadi, untuk mengubah citra biliar yang kadung "terpelintir" bak bola di meja itu, beberapa atlet semacam Alwi memang dibutuhkan buat menyodoknya agar lurus kembali.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus