Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, semua itu tak mungkin dilakukan. Pasalnya, duit yang nilainya hampir dua kali lipat jumlah uang rupiah tunai yang beredar itu sudah lenyap disulap para penjahat. Setidaknya itulah hasil laporan yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setelah mengaudit kucuran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut lembaga pemeriksa keuangan negara ini, dari sekitar Rp 164 triliun uang yang seharusnya hanya merupakan pinjaman sementara berbunga tinggi bagi bank sehat yang mengalami rush itu, hampir separuhnya tak jelas pertanggungjawabannya.
Selain itu, besar kemungkinan dari yang sesuai dengan prosedur pun hanya sekitar separuh yang akan kembali ke kocek negara melalui penjualan aset yang dijaminkan para penerima BLBI itu. Lantas, siapa yang akan menanggung kerugian ini? Siapa lagi kalau bukan rakyat. Soalnya, pemerintah harus mencicil semua kerugian ini berpuluh tahun ke depantahun ini saja dianggarkan Rp 17 triliun untuk cicilan inidan kita semua paham bahwa uang pemerintah itu adalah uang rakyat jua.
Walhasil, musibah menguapnya dana BLBI ini adalah sebuah tragedi nasional. Korbannya sudah jelas. Jutaan rakyat Indonesia yang miskin, yang seharusnya dapat dientaskan melalui program pemerintah, kini kehilangan peluang itu. Kesempatan pemerintah Indonesia mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih bersaing melalui penyediaan sarana pendidikan yang lebih baik juga sirna. Jutaan anak yang seharusnya dapat berusia panjang jika diberi sarana air bersih dan makanan yang bergizi barangkali tak akan pernah merayakah ulang tahun mereka yang kelima dan akan tercatat sebagai bagian dari generasi yang hilang. Maka, timbul pertanyaan: semua pengorbanan ini untuk apa dan siapa?
Jawabannya ternyata membuat kita terenyuh. Semua utang yang kini harus dibayar hingga ke anak-cucu kita itu terjadi hanya karena dua hal: kebijakan pemerintah yang keliru dan pelaksanaannya yang nyaris tanpa kontrol sehingga dipenuhi kegiatan kolusi dan korupsi.
Kebijakan pemerintah yang keliru adalah dalam membuat asumsi bahwa sistem perbankan di Indonesia harus diselamatkan at all cost. Apalagi kebijakan ini diterjemahkan dengan upaya penyelamatan hampir setiap bank dengan mengguyurkan uang BLBI. Pertimbangannya ketika itu adalah, jika ada satu bank saja yang ambruk, akan terjadi kepanikan di kalangan nasabah semua bank di Indonesia. Mereka akan segera beramai-ramai menarik uang tabungannya danbagai mengikuti teori dominosemua bank pun akhirnya turut terjengkang.
Asumsi ini, dalam wacana pemikiran, sebenarnya sah-sah saja. Namun, bila dilihat dari konteks kepentingan publik, pengambilan keputusan berdasarkan asumsi ini merupakan kekeliruan besar karena hanya ditentukan oleh segelintir orang. Padahal, pilihan keputusan yang tersedia penuh dengan berbagai ranjau ketidakadilan alias moral hazard. Bayangkan, tak sampai satu persen penduduk Indonesia mempunyai deposito di bank. Apalagi jika nilainya dinaikan menjadi deposito di atas Rp 10 juta, jumlahnya langsung melorot tajam. Maka, pertanyaannya sekarang: apakah upaya menyelamatkan harta para pemilik depositoyang jumlahnya tak sampai satu persen dari pendudukini setara dengan risiko kehilangan puluhan triliun rupiah uang publik yang kemudian harus dicicil dalam dua generasi mendatang?
Perihal pelaksanaan kebijakan ini, yang diduga penuh kolusi dan korupsi itu, lebih mengiris hati. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa hingga kini belum ada satu pun pejabat atau penerima BLBI yang divonis bersalah dan masuk bui. Yang sudah diumumkan ke masyarakat adalah daftar nama penerima BLBI yang belum juga membayarnya kembali. Selain itu, juga fakta bahwa nama-nama yang disebut itu ternyata hidup amat mewah dan tampil seolah tak bersalah. Bahkan, sebagian besar di antaranya sibuk membina hubungan mesra dengan para pejabat pemerintah yang baru dan ada yang mencuri peluang untuk mendapatkan jabatan resmi.
Keadaan yang sangat ganjil ini tentu tak boleh dibiarkan. Sebab, bila Presiden Abdurrahman Wahid menerapkan asas biarinisme dalam menghadapi persoalan ini, kemungkinan masyarakat mencari keadilan melalui jalur di luar hukum akan makin meninggi. Karena itu, ada baiknya pemerintah segera mengambil tindakan antisipatif untuk meniadakan kegundahan rasa keadilan masyarakat luas akibat kasus BLBI.
Salah satu cara yang patut dipertimbangkan dengan serius adalah menghidupkan kembali lembaga sandera (gijzeling), yang memungkinkan pemerintah mengurung para pengutang BLBI sampai mereka melunasi kewajibannya itu. Sebaiknya tempat pengurungan itu dibuat setransparan mungkin dan dapat dikunjungi publik dengan mudah, sehingga kemungkinan terjadinya kolusi dengan pengurus tempat tahanan diminimalkan.
Bila ini dilakukan, dahaga rasa keadilan masyarakat akan lebih terpenuhi. Selain itu, dan ini lebih penting, kemungkinan kembalinya dana BLBI yang raib itusetidaknya sebagian di antaranyaakan lebih besar. Jika mereka telah terbukti dapat menghilangkan triliunan rupiah ala simsalabim, bukankah seharusnya dapat pula mengembalikannya dengan cara yang sama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo