Ruang gerak TNI dalam percaturan politik kini semakin sempit saja. Sedikit demi sedikit "anggota tubuh" TNI diamputasi Presiden Abdurrahman Wahid. Kini giliran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan lembaga Penelitian Khusus (Litsus) untuk pegawai negeri yang dibabat. Pekan silam, kedua perangkat pengawas gerak-gerik rakyat di bawah naungan TNI itu dibubarkan.
Bakorstanas lahir 5 September 1988, semasa Soeharto menjadi presiden. Ketika itu sedang marak tuntutan masyarakat agar lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibubarkan. Maklum, sudah banyak cerita, dengan berkedok Kopkamtib, aparat keamanan bisa menyeret seseorang ke penjara tanpa pernah diadili.
Mungkin, agar terkesan tidak represif kepada rakyat, Soeharto melalui Keppres No. 29 Tahun 1988 melikuidasi Kopkamtib dan membentuk Bakorstanas. Tugas lembaga baru itu dibuat tidak menakutkan: memberi masukan situasi keamanan kepada Presiden. Padahal, di bawah koordinasi Panglima ABRI, dengan anggota di antaranya panglima kodam sampai komandan kodim, Bakorstanas setali tiga uang dengan Kopkamtib: bertindak aktif melakukan penangkapan para aktivis yang dianggap berseberangan dengan pemerintah Orde Baru.
Tidak hanya itu. Agar mendapat pegawai negeri yang loyal pada pemerintah, Soeharto membentuk lembaga Litsus. Badan yang dibentuk melalui Keppres No. 16 Tahun 1990 itu bertugas membersihkan aparat birokrat dari "kuman" komunis. Dalam prakteknya, Litsus—di bawah koordinasi Bakorstanas—digunakan sebagai alat penyaring agar para "pembelot" tak masuk birokrasi.
Jadi, jangan heran jika banyak pihak menyambut gembira tindakan Gus Dur itu. "Langkah Presiden itu bagus dan positif untuk menghapus dwifungsi TNI," kata pengamat politik Mochtar Pabottingi. Pihak TNI sendiri juga menyatakan setuju. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI, Marsekal Muda Graito Usodo, likuidasi Bakorstanas justru memberi peluang bagi setiap institusi untuk menjalankan fungsinya secara profesional. Tidak kurang Sudomo, mantan Panglima Kopkamtib, mengamini langkah tersebut. "Badan ini sudah menyimpang karena mulai main tangkap dan mengurus masalah buruh segala," kata Sudomo Jumat pekan silam.
Penyimpangan Bakorstanas lumayan banyak. Salah satunya diungkapkan Pungki Indarti. Kepala Divisi Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya itu punya catatan buruk aparat Bakorstanasda Jawa Timur. Ia menyebut tewasnya Marsinah, aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Sidoarjo itu, akibat campur tangan lembaga tersebut. "Meski belum jelas siapa pembunuhnya, Marsinah raib setelah diinterogasi aparat Kodim Sidoarjo," ujarnya.
Contoh lain adalah nasib yang menimpa almarhum Lasimo. Buruh PT Maspion Sidoarjo itu diterjang popor bedil aparat yang mencoba membubarkan unjuk rasa buruh, Juli 1998. Keterlibatan militer itu, tutur Pungki, karena ada surat keputusan yang dikeluarkan Bakorstanas bernomor 02/Strans/90. Isinya, lembaga tersebut ikut berwenang menangani masalah perburuhan demi stabilitas nasional. "SK itu ditafsirkan pihak militer untuk bertindak aktif meredam unjuk rasa," ujarnya.
Pantas saja, setiap ada unjuk rasa, terutama kaum buruh, aparat militer dengan baju Bakorstanas selalu bertindak aktif menangkap para demonstran. Padahal, tugas itu seharusnya menjadi urusan kepolisian.
Kini, masih ada badan sejenis produk Orde Baru yang masih aktif bekerja. Namanya Pos Kewaspadaan Nasional. Lembaga yang juga bernaung di bawah institusi TNI sampai ke tingkat kodim itu dibentuk pada Januari 1997, saat sedang mewabah kerusuhan berbau SARA seperti kasus di Situbondo dan Tasikmalaya. Agar masyarakat tidak mudah dihasut, perlu dibentuk pos komando (posko) yang bisa memberi informasi apa sebenarnya yang terjadi, begitu alasannya.
Namun, dalam praktek sehari-hari, lembaga posko itu tidak banyak gunanya. Selain menghabis-habiskan anggaran, lembaga itu juga, "semangatnya hanya untuk mengawasi gerak-gerik masyarakat," ujar Akbar Tanjung, Ketua DPR. Buktinya, setelah Soeharto lengser, kerusuhan berbau suku dan agama malah merebak di mana-mana.
Entah karena lupa atau sengaja dibiarkan oleh pemerintahan Gus Dur, sampai kini lembaga itu belum disentuh. Sebelum institusi ini merambah dengan kedok "waspada", sebaiknya Gus Dur melibas saja Posko Kewaspadaan ini. Toh, memberi informasi pada masyarakat sebenarnya bisa dilakukan banyak lembaga, tak harus tentara dengan menyandang bedil.
Johan Budi S.P., Darmawan Sepriyossa, Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini