BAU amis darah. Truk tentara melindas tubuh-tubuh yang terbujur di jalan. Dua potongan kejadian pada tahun 1984 itu masih saja melekat di memori otak Yusron Zainuri, saksi hidup dan korban kasus Tanjungpriok. Tidak hanya itu, ayah satu anak ini terkena tembakan peluru aparat, yang bersarang di tubuhnya selama setahun.
Penderitaan itu semakin lengkap ketika tentara menjebloskan Yusron ke penjara. Wajar jika Yusron—juga banyak korban kasus Priok—menuntut pelaku pembantaian Priok itu diadili. Sebenarnya, kasus yang sangat memukul hati kalangan Islam ini hampir dibuka saat angin reformasi mulai bertiup kencang, pertengahan 1998 silam. Pemerintah waktu itu mendapat tekanan kuat dari masyarakat agar tragedi berdarah ini diusut.
Gayung bersambut. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun akhirnya membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Tanjungpriok. Diketuai Baharuddin Lopa—ketika itu Sekretaris Jenderal Komnas HAM—tim ini mulai melakukan penyelidikan. Hasilnya, beberapa nama direkomendasikan untuk diperiksa, di antaranya Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani, mantan Panglima ABRI, dan Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, bekas Panglima Kodam Jaya. Namun, jerih payah itu tidak ditindaklanjuti. Rekomendasi Komnas itu akhirnya tersimpan sebagai arsip di laji meja pemerintah.
Bak musim yang datang silih berganti, tuntutan untuk menyelidiki kasus Priok muncul lagi. Komnas HAM pun membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk Tanjungpriok. Pekan silam, susunan keanggotaan tim itu terbentuk dan Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto turun langsung memimpinnya.
Akankah Komisi Hak Asasi Priok memenuhi harapan Yusron dan kawan-kawannya? Jika melihat hasil "Komisi Baharuddin Lopa" yang bekerja dua tahun silam, rasanya nasib "Komisi Djoko Soegianto" belum jelas benar—walaupun ada harapan: kondisi politik negeri memang berbeda jauh dibandingkan dengan suasana pada 1998. Dengan duduknya seorang kiai sebagai Presiden RI, rasanya membuka kasus Priok bukan hal mustahil lagi.
Namun, ini juga bukan hal yang gampang. Pekan lalu, contohnya, Try Sutrisno, Panglima Kodam Jaya ketika kasus Priok meledak, sudah menyatakan menolak jika dipanggil komisi. "Kasus Priok adalah masalah institusi TNI, bukan masalah pribadi," ujarnya. Bekas Panglima ABRI L.B. Moerdani, yang dianggap sebagai kunci penting kasus itu, juga tengah dirawat di rumah sakit, sejak dua pekan silam. Presiden Soeharto, yang memerintah kala itu, juga dikatakan sakit oleh keluarganya.
Penolakan Try Sutrisno dipandang akan ikut menghambat hasil kerja komisi. A.M. Fatwa, anggota DPR yang juga "korban" tak langsung peristiwa Tanjungpriok, melihat, "Sebagai mantan wakil presiden dan Panglima TNI, Try Sutrisno memiliki jaringan yang punya pengaruh besar untuk menghambat proses pengusutan kasus Priok."
Hambatan tidak hanya itu. Independensi anggota tim juga digugat, misalnya oleh Koalisi Pembela Kasus Priok. "Kami mempertanyakan kredibilitas mantan anggota militer seperti Mayjen (Purn.) Samsuddin yang duduk di komisi," kata M. Benni Biki, adik kandung Amir Biki, tokoh Islam dari Tanjungpriok yang memimpin demonstrasi waktu itu dan ditembak mati tentara. Samsuddin sendiri menyatakan tidak ada hambatan psikologis meski Try Sutrisno adalah bekas teman seangkatannya.
Agar kredibel dan lebih independen, Benni Biki mengusulkan, anggota tim ini ditambah lima, antara lain Hartono Mardjono, salah satu ketua Partai Bulan Bintang, dan Husein Umar, anggota MPR dari PPP. Namun, usul itu ditolak Djoko Soegianto. "Jumlah anggota tidak bisa ditambah. Lagi pula, kami tidak bisa seenaknya mengubah," tuturnya. Lagi pula, kata Djoko, lima nama yang diusulkan Benni Biki bisa saja menjadi narasumber komisi.
Djoko menepis jauh-jauh keraguan orang terhadap komisinya. Barangkali dia tahu bahwa dia "dibeking" perangkat hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dengan perangkat hukum itu, "Komisi Djoko Soegianto" bisa memanggil siapa saja yang dianggap terlibat—kalau perlu, dengan upaya paksa melalui pengadilan. Tambahan lagi, saksi dan bukti kasus Tanjungpriok kini bermunculan. Soal adanya kuburan massal, misalnya, "Dalam waktu dekat, saya akan membawa saksi lurah yang diperintah mengubur mayat-mayat tersebut," kata Benni Biki.
Dengan semua kelengkapan hukum itu, yang diperlukan "Komisi Djoko Soegianto" untuk mengusut tragedi September 1984 hanyalah kesungguhan dan kerja keras—juga keberanian.
Johan Budi S.P., Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini