Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai itu diberikan karena Gus Dur memang mengerjakan hal yang begitu penting. Bakorstanas lebih banyak membuat kekeruhan ketimbang memecahkan masalah rakyat, seperti alasan Gus Dur. Bakorstanas sesungguhnya "sosok lama dalam baju baru" dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)yang terakhir ini dibentuk Presiden Soeharto pada 3 Maret 1969. Itulah lembaga ekstrajudisial dengan kewenangan nyaris tanpa batas. Sejak awal 1970-an, lembaga itu mulai menangkapi dan menjebloskan orang ke dalam penjara dengan alasan-alasan yang tak perlu dibuktikan lebih dulu: cukup dicurigai berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan.
Selama 12 tahun, sudah begitu banyak orang ditangkap dan dibui, tapi pemerintah seperti main "petak umpet" untuk mengelakkan protes rakyatyang pada zaman Soeharto, itu nyaris cuma terdengar "sayup-sayup", lebih-lebih karena pers pun hidup dalam ancaman pembredelan. Untuk "menyenangkan" rakyat, Kopkamtib dicabut pada September 1988, tapi seketika itu lahirlah Bakorstanas, di pusat dan di daerah, yang sebenarnya tak punya wewenang komando tapi tetap saja "menakutkan" bagi rakyat.
Pada 1990, barulah jelas bahwa pemerintah memang belum berubah walau Kopkamtib dihapuskan. Lewat keputusan presiden, diwajibkan ada penelitian khusus bagi pegawai negeri dan anggota DPRuntuk bukti bebas PKI dan onderbouw-nya. Satu lagi "saringan politik" diciptakan Soehartoyang diduga kuat merupakan rangkaian keputusan presiden yang dipakai untuk memelihara status quo Orde Baru. Dengan senjata litsus itu, bukan saja mereka yang punya kaitan dengan PKI yang dilibas, mereka yang tak sepaham dengan pemerintah pun ikut digilas. Yang terasa tidak adil: vonis diambil tanpa secuil pun memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan.
Lama-kelamaan, alat serupa litsus bertambah, misalnya kewajiban mengikuti penataran P4 yang menjadi syarat boleh-tidaknya seseorang menjadi pemimpin redaksi media massa.
Maka, ketika "momok" rakyat berupa litsus dan Bakorstanas dihapuskan, mengapa bukan nilai A bulat untuk Gus Dur? Sebab, di republik ini masih ada saringan semacam litsus yang dilakukan tanpa memberikan kesempatan membela diri. Fit and proper test oleh Bank Indonesia untuk bankir adalah contohnya. Bahwa ada penelitian untuk para bankir, rasanya bisa diterima. Tapi bahwa penelitian itu dilakukan tertutup, tanpa dijelaskan kriterianya, dan orang yang diteliti tak diberi kesempatan menjawab apa pun, ini yang disesalkan. Seorang bankir di bank kelas A yang sudah 20 tahun bekerja tiba-tiba dinyatakan tidak lulus tes oleh BI. "Mengapa saya tak pernah diberi kesempatan menjelaskan," kata sang bankir masygul.
Masih ada "ujian" lain agar Gus Dur mendapat nilai A bulat. Apa itu? Kalau ia kelak membubarkan pos kewaspadaan yang kewenangannya juga tak jelas, menghapus babinsa di desa-desa, yang suka memeras rakyat. Sebab, itulah lembaga-lembaga yang hanya mengesankan Republik selalu dalam keadaan darurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo