ORGAN Badan Team Nasional dalam tubuh PSSI, kini tak lebih
ibarat maean sirkus. Lantaran wewenang Badan Team Nasional
dalam- menentukan team manager, memilih pemain, dan lainnya
tidak lagi merupakan leluasa dari tokoh yang menduduki jabatan
itu, melainkan telah dilimpahkan pada "pawang" yang secara
organisatoris berada di eselon bawah Badan Team Nasional. Figur
yang menentukan itu adalah: Wiel Coerver. Kuasa itu diperoleh
Coerver dari Ketua Umum PSSI, Bardosono selepas tarik urat dalam
pertemuan di Sekretariat PSSI 6 Nopember lampau. Mengingat
pelimpahan wewenang tersebut telah diberikan jauh sebelum Dr.
T.D. Pardede ditunjuk menggantikan Muhono SH sebagai Ketua Badan
Team Nasional, maka ia lebih banyak memilih untuk tidak membuka
mulut dalam menilai kekuatan team Pre Olimpik PSSI -meski
menurut diskripsi kerja itu adalah kuasanya. "Sekarang ini kita
lebih baik sebagai penonton saja dulu", ucap Pardede seusai
pertandingan regu Pre Olimpik vs Voest Lin, (Austria), Minggu 14
Desember lalu. Sebab, "buat Pre O]impik ini wewenang saya cuma
sebagai pengurus, thok".
Timpang
Memilih untuk jadi "penonton", bukan berarti Pardede diam sama
sekali. Dalam batasan kerjanya, ia telah mengajukan usul kepada
pirmpinan PSSI agar uang saku para pemain yang terpilih
dinaikkan jumlahnya menjadi Rp 100.000 plus bonus bila
memenangkan pertandingan. "Sementara ini jumlah itu saya kira
sudah cukup memadai", kata Pardede tanpa menutup kemungkinan
akan penambahan lagi. Semua itu dilakukannya dalam keadaan
keuangan PSSI tengah dilanda krisis (menurut Bardosono,
pendapatan PSSI selama 10 bulan lalu berkisar Rp 800.000.000
telah habis untuk pengelolaan organisasi. Bahkan defisit,
malah). Tapi, "itu bukan persoalan", tambahnya.
Yang jadi permasalahan bagi team Pre Olimpik Indonesia agaknya
adalah belum meratanya kekuatan di semua lini. Dan masih
timpangnya ketrampilan antara pemain inti dan cadangan. Di
samping masalah mental yang juga perlu mendapat perhatian
khusus. Sebab, tanpa tertuangnya masalah-masalah pokok itu ke
dalam diri para pemain, sukar untuk mengharapkan mereka bisa
berbuat banyak. Paling tidak ukuran kelemahan tersebut terlihat
ketika team Pre Olimpik menghadapi kesebelasan Voest Linz, di
mana tampak beberapa kasus ketidak-mantapan di antara pemain.
Misalnya, digantinya poros halang Oyong Liza dengan Widodo,
langgam permainan yang semula sudah kelihatan enak, tiba-tiba
menjadi sedikit timpang. Juga temperamen Nobon yang cepat
menghangatkan suasana permainan Karena persoalan
penggemblengan pemain ini merupakan kuasa penuh Coerver, tak
ayal Pardede cuma memberikan penilaian off the record. Sambil
berharap: "Marilah kita berdoa, agar kita berhasil dalam
turnamen Pre Olimpik nanti", katanya.
Doa semata, jelas tidak cukup. Untuk mematangkan permainan team
nota bene belum lama menjalin kerja sama - tentu dibutuhkan
pertandingan lawatan. Menurut jadwal yang telah disusun Coerver,
team Pre Olimpik (sementara) akan melawat ke Surabaya, Ujung
Pandang, dan menghadapi kesebelasan Grasshoper, pertengahan
Januari depan. Adakah lawatan dalam regional sendiri akan
memberi manfaat ketimbang melakukan try out ke negara tetangga?
Sulit untuk diramalkan. Meski menurut pengalaman Pardede lawatan
ke luar negeri sangat dibutuhkan, tapi ia tidak mau ikut campur
dalam menentukan kebijaksanaan kali ini. "Pemilihan tempat try
out sekarang, Coerver yang menentukan", ucap Pardede. "Saya sama
sekali tak campur tangan".
Martil Tidak Di Tangan
Dalam wewenang yang besar, beban yang dipikul Coerver pun cukup
berat. Bukan aneh, bila ia memperhatikan segala tetek-bengek
mengenai pemain. Dulu, kabarnya ia pernah mengeluh soal makanan
yang diberikan pada pemain Diklat Salatiga. Menurut cerita yang
bergalau di kalangan masyarakat seputar Diklat, sebagian dari
jatah makanan pemain itu dilego kepada umum. Apakah keadaan
serupa juga merundung pemain Pre Olimpik? dugaan itu dibantah
oleh Pardede: "Untuk ukuran makanan orang Indonesia, menu yang
diberikan paa pemain-pemain itu sudah cukup baik". Mengingat
lamanya pemain-pemain terpilih ini akan menghuni pelatnas, tidak
kah nanti akan timbul kerinduan pada isteri, anak atau pacar,
hingga mengganggu konsentrasi mereka? Mengambil pedoman dari
apa yang diperbuat oleh team Belanda dan Jerman Barat menjelang
turnamen Piala Dunia 1974 lalu, di mana pimpinan mereka
mendatangkan keluarga pemain untuk menjenguk calon dan suaminya,
langkah itu tampaknya akan ditiru pula oleh team Pre Olimpik
Indonesia. Paling kurang ide itu telah memenuhi kepala Pardede.
"Hal itu telah saya bicarakan dengan pimpinan PSSI dan Coerver.
Kelihatannya mereka setuju", kata Pardede.
Tiba pada topik team manager yang akan memimpin regu Pre Olimpik
Indonesia Ketua Badan Team Nasional ini sekali lagi mengelak
untuk membicarakannya: "Ttu wewenang Ketua Umum PSSI",
tambahnya. Menilik kembali ke belakang, persoalan team manager
ini juga melibatkan Coerver. Sebagaimana kata Bardosono dulu:
Penentuan Team Manager akan dibicarakan antara Ketua Umum PSSI
dan Coerver. Pejabat yang dipilih berdasarkan usul Coerver
sendiri (TEMPO, 15 Nopember 1975). Melihat semua itu, adakah
Ketua Badan Team Nasional lepas tangan dalam permasalahan team
Pre Olimpik ini? "Angkat tangan sih tidak. Cuma martilnya yang
tidak di tangan saya", kata Pardede. "Tunggulah selesai Pre
Olimpik. Di situ baru saya menggunakan wewenang saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini