KALAU tunggal putra dianggap sebagai ukuran, maka Eropa kelihatannya mulai unjuk gigi dalam olah raga bulu tangkis sekarang ini. Keluarnya Morten Frost Hansen (Denmark) sebagai juara tunggal putra All England yang berakhir Minggu pekan lalu menunjukkan hal itu. Tetapi, dilihat dari seluruh unsur yang diperebutkan, pada dasarnya kekuatan masih berbagi antara Eropa dan Asia. Hal itu dibuktikan Kartono/Heriyanto dari Indonesia yang tampil sebagal juara ganda putra. Pasangan Inggris, Martin Dew/Gilliand Gilks, menjadi juara ganda campuran. Tetapi gelar ganda putri diraih Lin Ying/Wu Dixi dari RRC. Pemain RRC malahan menunjukkan kejayaannya untuk nomor putri melalui tangan Li Lingwei yang memenangkan partai tunggal putri. Buat Indonesia, gelanggang di Wembley, London, itu kabarnya hanya merupakan "jendela" untuk mengintai kekuatan RRC. Sebab, tim dari negara itulah yang diperhitungkan akan dihadapi Indonesia dalam perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, 7 Mei mendatang. Meskipun tidak mengumbar optimisme, Hendra Kartaneara melihat peluang Indonesia cukup baik untuk merebut kembali Piala Thomas dari RRC bulan Mei mendatang. Terutama melihat prestasi yang dicapai pasangan Kartono/Heriyanto. Liem Swie King juga tampil memesonakan, sekalipun harus mengakui keunggulan Hansen di final. Barangkali yang mencemaskan adalah Icuk Sugiarto . Anak Solo yang baru kawin delapan bulan itu tampil kurang meyakinkan di All England. Di babak ketiga dia dihadang dan dikalahkan pemain kurang dikenal dari Denmark, Kjeldsen, dengan rubber set. Sebelum berangkat ke London, sang juara dunia itu kabarnya sudah kalah. Menurut Christian Hadinata, sebagaimana yang dikutip Kompas, selama tiga minggu menjelang All England, praktis Icuk telantar tanpa pelatih. Dia menolak dilatih Hendra Kartanegara, pemain Indonesia pertama yang berhasil merebut gelar juara tunggal All England tahun 1959. Ketika itu namanya Tan Joe Hok. Icuk hanya ingin dilatih Tahir Djide. orang yang mengantarkannya menjadi juara dunia di Kopenhagen, Mei 1983. Tapi keinginan itu tak kesampaian karena PBSI sudah memutuskan, Tahir hanya menangani tim putri menuju Piala Uber. Menghadapi Piala Thomas yang tinggal sebulan, menurut Rudy Hartono, Ketua Bidang Pembinaan PBSI, "mungkin saja Icuk akan dilatih Tahir Djide kalau ada hasil musyawarah yang menyebutkan begitu." Tahir Djide sendiri yang dihubungi wartawan TEMPO, Aris Amiris, di Bandung, secara tak langsung menyebutkan kesediaannya untuk melatih. "Tapi belum tentu di tangan saya dia akan menang dalam Piala Thomas. Saya bukan juru selamat," katanya. Berbagai kalangan yang menyaksikan penampilan pemain Eropa di All England menyebutkan bahwa gaya permainan Icuk Sugiarto yang bertahan pasti akan mengalami kekalahan. Mengandalkan tenaga, Icuk gampang ditundukkan, sebagaimana yang diderita Luan Jin dari Nick Yates, pemain yang berada di bawah peringkat pemain RRC itu. Tetapi, menurut Tahir Djide, untuk menghadapi Piala Thomas yang sudah mendekat itu, tidak mungkin mengubah pola permainan Icuk. "Sebenarnya, pelatih hanya tinggal mengoreksi kekurangannya," katanya mengulas. Ketika ditangani Tahir Djide dulu, untuk gaya permainannya yang superdefensive, Icuk mendapat porsi latihan daya tahan yang melebihl porsi pemain lain. Dia juga memperoleh latihan kelenturan, untuk mengatasi kakinya yang sering kram. Ditambah dengan latihan stroke dari Rudy Hartono menjelang kejuaraan dunia di Kopenhagen dulu, Icuk menjadi banteng yang pantang menyerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini