Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Melihat amerika dari rawamangun

Fsui, membuka program kajian wilayah as pada fakultas pasca sarjananya. (pdk)

31 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG disebut fakultas sastra, tentulah tak sekadar mengajarkan soal bahasa dan sastra melulu. Di Fakultas Sastra UI Jurusan Inggris misalnya, "diajarkan pula sejarah bangsa Inggris, sosiologi Inggris, juga sedikit tentang politik negeri itu," kata Erry Dharsono, mahasiswi tingkat akhir di jurusan itu. "Kalau cuma mau belajar bahasa, ya, tak perlu ke fakultas, mungkin ke akademi bahasa asing, cukup," katanya lagi. Maka, tak terasa aneh bila FS UI pada 1980 membuka Program Kajian Wilayah Amerika Serikat pada Fakultas Pascasarjana-nya. Lebih kurang, Program Kajian Wilayah itu memberi kesempatan para sarjana dengan lebih mendalam mempelajari segala sesuatu tentang negeri itu. Dan bila Senin pekan lalu Program Kajian Wilayah itu mendapat gedung baru seharga Rp 160 juta, agaknya karena memang dianggap penting. Memang, menurut Pia Alisjahbana, Ketua Jurusan Inggris FS UI, lahirnya Program Kajian Wilayah AS ini bermula dari banyaknya buku tentang negeri itu di perpustakaan Jurusan Inggris. Ditambah dengan banyaknya dosen yang memperoleh kesempatan menambah pelajarannya di sana, dalam segala bidang. Dengan modal itulah, FS UI merasa mampu menyelenggarakan program tadi. Hubungan dua bangsa yang masing-masing memahami dengan baik cara berpikir, adat istiadat, dan aspek-aspek lain sosial budayanya akan lebih membuahkan sesuatu yang bermanfaat. Maka, Program Kajian Wilayah AS tak hanya menerima sarjana sastra Inggris. Mahasiswa untuk program ini bisa datang dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya, dari delapan mahasiswa yang mengambil program magister (S2) di sini ada yang sarjana ilmu sosial dan politik, ada yang sarjana geografi, ada pula sarjana hukum. Bahkan seorang sarjana IKIP Bandung dari Jurusan Inggris, dalam Program Kajian Wilayah ini mempelajari teknologi AS. "Memang bukan dari segi teknologinya, tapi lebih dari latar belakang pemikiran dan filsafat yang melatarbelakangi teknologi itu. Karena itu, pemerintah AS pun sangat antusias terhadap program ini. Hampir setengah biaya pengadaan program dipikul pemerintah AS. Yakni, berupa sumbangan uang sebesar Rp 50 juta ditambah buku-buku seharga Rp 30 juta. "Program ini punya manfaat menjaga hubungan baik kedua negara," kata duta besar AS untuk Indonesia, John H. Holdridge, pada peresmian gedung itu. Dan, kata Jack M. Daniels, orang Amerika yang menjadi Ketua Seksi Dana Panitia Pembangunan Program Kajian Wilayah ini, "Untuk menambah jumlah orang Indonesia yang benar-benar memahami cara berpikir dan bertindak orang Amerika, agar komunikasi antara kedua bangsa, baik di sektor pemerintah maupun swasta, berjalan lancar." UNTUK menjadi mahasiswa di Program Kajian Wilayah ini cukup mahal: Rp 600.000 per semester. Untuk menyelesaikan program S2 harus diselesaikan empat semester. Untuk menyelesaikan program doktor atau S3, mesti ditambah lagi dengan dua semester, dan tentu, plus sebuah disertasi. Tapi, fasilitas memang memadai. Di perpustakaannya kini tercatat 6.000 judul buku. Direncanakan pula mendatangkan beberapa tenaga pengajar dari AS - kini baru ada seorang profesor AS bertugas di sini. Tak begitu jelas adakah Program Kajian Wilayah AS ini akan memancing lahirnya program kajian wilayah-wilayah yang lain, Jepang misalnya. Mengingat hubungan Indonesia-Jepang rasanya juga semakin penting, dengan banyaknya modal Jepang beroperasi di sini. Tahun 1960-an, Jurusan Sastra Cina FS Ul, menurut Pia, sebenarnya punya kemampuan - dan konon memang ada niat waktu itu - membuka program kajian wilayah Cina. Tapi perkembangan politik membuat potensi itu surut. Tapi tak berarti peminat kajian-kajian wilayah selain wilayah AS menemui jalan buntu. Beasiswa untuk itu tetap bisa diusahakan. Masalahnya, memang lebih murah belajar di negeri sendiri. Dan itulah keuntungan yang lain bagi mahasiswa Program Kajian Wilayah AS, sekarang. Tak perlu pergi kc sana, cukup mengkaji AS dari Rawamangun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus