AIB ini datangnya bak disengat kalajengking. Baru kali ini Indonesia disodok doping besar-besaran. Seorang perenang asal Jawa Barat, Catherine Surya, dan empat pembalap Yogya, Alfi Dwiningrum, Ronny Yahya, Moh. Basri, dan Dadang Haris, Senin pekan lalu dinyatakan positif melakukan doping dengan Nandrolone, termasuk dalam jenis androgenic anabolic steroid. Tuduhan berlaku curang dari KONI itu dilakukan oleh para atlet pada PON XIII lalu. Buntutnya, medali pun harus dikembalikan. Dan karena itu, Yogya, yang semula bertengger di 9 besar, melorot ke urutan 13. Jawa Barat tetap menduduki urutan kedua, di bawah DKI Jaya. Dan yang ketiban "rezeki" adalah Jambi. Dari urutan 12, melonjak ke urutan delapan besar. Adalah Soeweno, Ketua Harian KONI Pusat, yang mengumumkan kasus doping itu secara terbuka. Sebelum disebarkan secara terbuka, vonis itu sempat diperdebatkan dulu selama lima jam. "Ini menyangkut orang dan aset nasional. Apalagi ada yang masih sangat muda dan potensial. Pokoknya, jangan sampai yang kita hasilkan keputusan ngawur," kata Soeweno kepada Joewarno dari TEMPO. Yang dimaksud Soeweno "masih sangat muda" itu adalah Catherine, 13 tahun. "Anak itu korban ambisi orang tuanya," katanya. Banyak yang menyayangkan, Caty -- begitu Catherine biasa dipanggil -- yang telah mengukir lima rekor nasional, dan menyabet tujuh medali emas di PON, kesandung kasus ini. Sanksi dari FINA (federasi renang dunia) pada Caty minimal skorsing 18 bulan. Sedangkan empat pembalap tadi bisa dikenai skorsing dari ICU (organisasi balap sepeda internasional) selama 3-6 bulan. Mendengar vonis KONI itu, Caty, yang berambisi menjadi perenang utama Asia, terpukul. Dua hari ia mengurung diri di kamar sembari menangis. Ayahnya, Ir. Sumanas Surya, juga merasakan kepahitan yang dialami anaknya itu. Anak sulung dari empat bersaudara yang dibinanya sejak usia tujuh tahun ini, yang pernah berlatih di Amerika Serikat (1991) dan Cina (1992), dikhawatirkan mentalnya ambruk. Caty kini masih duduk di bangku kelas II SMP di Cirebon. Sumanas dan istrinya, Drg. Lani Indrawati, tetap membantah memberikan perangsang. "Saya tidak akan menjerumuskan anak sendiri," kata Sumanas kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Caty hanya diberi vitamin dan madu. Tapi, mereka pasrah atas keputusan itu. Lalu, demi kewajiban moralnya, bonus Rp 79 juta dari Pemda Jawa Barat dikembalikan. "Pokoknya, saya kembalikan utuh," kata pengusaha apotek ini. KONI Jawa Barat pun lapang dada menerima vonis itu, tanpa harus mematikan potensi Caty. Untuk itu, Pengda Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) Jawa Barat akan menyurati FINA, agar meringankan skorsing Caty. Selain itu, KONI setempat juga berniat menyekolahkannya ke luar negeri agar terbebas dari trauma. "Mungkin akan kami kirim ke Australia," kata H.M.A. Sampurna, Ketua KONI Jawa Barat. Adakah doping itu garapan pelatih Caty, Ruolando? Guru renang dari Cina yang berusia 42 tahun itu mengaku hanya memberikan ramuan Cina. Ia hanya bermaksud meningkatkan vitalitas Caty, bukan memberikan obat perangsang. "Saya terkejut dan tidak menyangka akan begini," kata Ruolando, yang melatih Caty sejak September lalu. Oleh Sumanas, ia dianggap sebagai keluarga, bukan pelatih profesional. Sementara KONI Jawa Barat berlapang dada, sebaliknya dengan KONI Yoyga. Mereka menggugat. Ketua KONI Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono X, setelah mendengar hasil kerja tim investigasi daerahnya, menyimpulkan bahwa atlet Yogya bebas doping. "Penemuan KONI Pusat mengenai terdapatnya atlet PON XIII yang terkena doping hanyalah isu, karena sampai sekarang KONI DIY belum mendapatkan penjelasan resmi," kata Sri Sultan, Kamis pekan lalu. Untuk itu, KONI Yogya telah mengirim surat meminta prosedur dan mekanisme tes doping, 2 Februari lalu. Dan sebenarnya, sebelum heboh ini, KONI Yogya telah mendengar dari Komda ISSI Yogya, bahwa ada empat atletnya yang positif kena kasus doping. Atas info itu, dibentuklah tim investigasi. Ternyata, hasilnya berbicara lain. "Sejauh ini, kami tidak menemukan adanya kesengajaan menggunakan doping," kata Supartono, ketua tim investigasi. Dokter Calik Sugiarto, anggota tim investigasi, membenarkan. Maka, daftar obat dan menu makanan atlet Yogya dikirim ke pusat. Termasuk, misalnya, menu daun bayam dan kerang yang diberikan secara besar-besaran pada setiap atlet balap sepeda. Dari daftar tadi, tampaknya, yang paling dicurigai mengandung doping adalah obat Cina Gong Bao dan Neo Potentol. Jika ternyata dua obat ini benar sebagai biang kerok, agak aneh. Sebab, dua obat ini direkomendasi bebas doping, dan telah dipakai di Asian Games dan Olimpiade Barcelona. Yang juga mengherankan, mengapa Pembalap Nurhayati, peraih dua emas di PON lalu, yang diberi vitamin dan makanan serupa, tak terbukti doping. Pendeknya, "Kalau toh pemeriksaan urine atlet kami terbukti doping, itu karena human error. Saya tak berniat menuduh pihak lain. Saya hanya menyebut, kemungkinannya doping atlet kami adalah human error," kata Calik. Gara-gara kasus ini, Persatuan Balap Sepeda Colombo, klub keempat atlet ini bernaung, membubarkan diri. Pimpinan Colombo kecewa. Tapi, niat itu dibatalkan lagi sehari kemudian. Colombo maju terus. Sementara itu, pelatih balap sepeda tim Yogya, Theo Gunawan, juga menbantah dirinya sengaja menjejalkan doping. "Saya merasa berdosa jika "meracuni" anak-anak. Akibat kasus ini saya down dan malu pada masyarakat," kata Theo Gunawan. Pembalap putri Alfi Dwiningrum, 20 tahun, yang meraih emas pada nomor road race, mengaku tidak memakai obat doping. "Saya tahu, saya tak mau doping. Saya juga tak mau minum obat apa pun. Saya tak sakit flu saat itu," katanya menggebu-gebu. Dia juga yakin pelatihnya, Theo Gunawan, tidak akan meracuninya. "Saya sudah percaya pada dia," katanya. Alfi merasa kecewa jika nanti diskors dan harus mengembalikan bonusnya yang Rp 3,5 juta. Ia tak sanggup. "Terus terang saya tak akan mampu mengembalikannya," kata Alfi kepada Arief A. Kuswardomo dari TEMPO. Uang itu sudah habis dipakai, antara lain untuk mentraktir teman dan disumbangkan ke orang tuanya. "Apa harus menjual rumah dulu?" tanyanya sembari tertawa. "Cara doping saja saya tidak tahu. Apalagi obat doping, saya juga tidak tahu," kata Ronny Yahya, 27 tahun, pembalap nasional yang sering berlaga di tingkat internasional. Ia malah mengaku dipaksa oleh Sekjen ISSI Hussein Argasasmita, minum obat Nandrolone. "Waktu itu saya sempat emosi karena tak merasa minum obat itu. Yang saya minum tiap hari hanya vitamin. Tapi, Sekjen ISSI menekankan, hukuman saya akan ringan jika mengaku," ujar Ronny. Ia pun mengaku. Ucapan Ronny ini jelas memerahkan kuping. "Itu memutarbalikkan fakta," kata Budi Arianto, Ketua Bidang MTB PB ISSI. Waktu itu, Budi ikut menanyai Ronny, dan tidak benar Hussein memaksa begitu. Hussein sendiri menyayangkan sikap Ronny. Begitu juga jajaran pengurus ISSI Pusat. Dengan omongan itu, ada kesan mengadu domba antara PB ISSI dan Sri Sultan. Soal prosedur, hasil tes, dan tudingan ada human error dalam pengetesan urine atlet ditangkis Dokter Dangsina Moeloek, ketua tim doping PON XIII. Dengan tegas ia katakan bahwa jenis doping yang dipakai mereka sering dipakai atlet Cina (ada sekitar 10 persen atlet Cina). Pemakaian itu sudah berbulan-bulan, dan terprogram. Jika dites, paling tidak, hingga 6-8 bulan masih tetap positif. Obat itu terikat di lemak. Lalu dilepas sedikit demi sedikit sebagai energi, dan si atlet akan lebih bertenaga. Jika dipakai anak-anak, efek sampingnya berupa menghambat perkembangan fisik. Jika dipakai cewek, bisa muncul gejala: mudah berjerawat, suara membesar, timbul bulu-bulu, dan kumis halus. Pada pria bisa berakibat testis mengecil dan impoten. Juga mengganggu liver. Dangsina pula yang membawa 474 sampel urine dalam 9 kopor ke RRC. Ini dibenarkan Dokter Hario Tilarso, wakil ketua komisi doping. "Nggak mungkin keliru," katanya. Pengambilan urine atlet dilakukan dengan telanjang, diawasi petugas. Lalu urine itu dimasukkan dalam dua botol steril, urine A dan B. Diberi nomor (bukan nama atlet) yang dipilih sendiri oleh si atlet. Kemudian disegel mirip ampul obat. Setelah beres, si atlet menandatangani pernyataan bahwa urine tadi benar-benar miliknya. Surat pun diteken saksi. Sampel A tadi dikirim ke Beijing, karena dianggap murah. Biaya pemeriksaan per sampel sekitar Rp 250.000. Bandingkan dengan di Tokyo, yang mencapai Rp 400.000 per sampel. Beijing, Tokyo, dan Seoul adalah labaratorium resmi Asia yang direkomendasi IOC (Komite Olimpiade Internasional). "Pengalaman saya membuktikan, kalau sampel A positif, sampel B positif juga," kata Hario Tilarso.Widi Yarmanto, G. Sugrahetty Dyan K. dan Moch. Faried Cahyono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini