Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gebrakan MA untuk kredit macet

Mahkamah Agung tengah menyiapkan aturan untuk menyelesaikan perkara kredit macet dengan cepat. sebuah terobosan baru atau sekadar gebrakan?

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG bankir terkemuka di Jakarta kini suka melantunkan syair lagu Si Komo: "Macet lagi... macet lagi. Bosan, ah!" Itu dimaksudkan bukan untuk jalan-jalan di Jakarta, melainkan untuk kasus kredit macet yang dialami sejumlah bank. Ia tak habis mengerti, mengapa kasus yang ramai dibicarakan ini tidak bisa dijerat dengan perangkat hukum. Karena itu, ia mengaku bosan membicarakan kredit macet ini -- sekarang ia pelesetkan dengan sebutan "primadosa perbankan". Perangkat hukum yang tak berkutik dalam kasus ini memang banyak dikritik. Dan bak ingin menjawab kritikan itu, Ketua Mahkamah Agung RI, Purwoto S. Gandasubrata, Rabu pekan lalu mengumumkan tekadnya menyelesaikan perkara kredit macet paling lama enam bulan sejak kasus mulai disidangkan. Untuk gebrakannya ini, Ketua MA akan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang ditujukan kepada seluruh jajaran pengadilan. MA tengah menggodok aturan main perkara kredit macet itu lebih rinci, sehingga paling lambat dua bulan lagi surat edaran keluar. Inti dari edaran itu adalah jika ada perjanjian kredit otentik, perkara bisa diputus serta-merta. Artinya, eksekusi bisa segera dilaksanakan setelah putusan pengadilan tingkat pertama jatuh. Jadi, meskipun ada upaya banding atau belum ada kekuatan hukum tetap, itu tak menghalangi adanya eksekusi. Terjunnya MA ikut menanggulangi kredit macet juga sejalan dengan keinginan pihak Bank Indonesia, yang merasa pusing memikirkan kian membengkaknya jumlah kredit bermasalah. Menurut catatan, pada 1992, jumlah kredit macet mencapai sekitar Rp 3 triliun. Pada tahun 1993, menurut data resmi Bank Indonesia, jumlahnya menggelembung menjadi Rp 6,07 triliun, atau 3,5% dari total kredit nasional sebesar Rp 173,4 triliun. Ada pendapat, sebaiknya para debitur (pengutang) bandel diumumkan saja secara terbuka, agar malu. Tapi Gubernur Bank Indonesia tak setuju karena cara itu bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan (UU Nomor 7 Tahun 1992) yang amat menjunjung tinggi rahasia nasabah. Pihak bank pun tak berani mengambil risiko mengingat ancaman hukumannya cukup berat. Jika membocorkan rahasia itu, mereka diancam dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Kemudian, terbetik pula gagasan mengalihkan penagihan kredit macet bank-bank pemerintah dari Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) kepada aparat kejaksaan. Gagasan ini muncul karena BUPLN dianggap tidak lagi mampu mengatasinya sendiri. Ada pula ide menghidupkan kembali lembaga sandera (gijzeling). Lembaga sandera ini memberikan wewenang kepada hakim untuk menyandera orang yang berutang atas permintaan si berpiutang (Pasal 209 Herziene Indonesische Reglement). Hanya saja, pada 1964, Ketua MA Wirjono Prodjodikoro mengeluarkan surat edaran yang membekukan pasal tersebut. Alasannya, tindakan penyanderaan bertentangan dengan peri kemanusiaan. Hakim Bismar Siregar pernah mencoba menghidupkan kembali gijzeling lewat sebuah putusan perkara utang-piutang. Bismar melihat, pembekuan pasal gijzeling justru menimbulkan akibat buruk, yaitu munculnya si berutang nakal yang sengaja tak mau membayar walau mampu. Tapi usaha Bismar kandas karena putusan itu dibatalkan MA. Sementara itu, saran agar penagihan kredit macet dilakukan lewat gugatan perdata tak digubris kalangan perbankan. "Bukan apa-apa. Jika melalui gugatan perdata, waktunya habis di jalan. Satu perkara bisa memakan waktu sepuluh tahun," kata bankir yang tak mau disebut namanya itu. Ia punya pengalaman pahit berurusan dengan lembaga peradilan. Selain urusannya lama, ternyata setelah ia menang tak bisa langsung mengeksekusi agunan. "Menjelang eksekusi, tiba-tiba datang surat sakti dari MA agar eksekusi ditangguhkan. Ini sangat menjengkelkan," katanya. Pada perkembangannya, kalangan perbankan mencari jalan pintas. Mereka kemudian menggunakan jalur nonyuridis, yakni menyewa atau mendirikan usaha "juru tagih swasta" (debt collector). Akibatnya, cara "jasa keras" ini pun tumbuh subur di kota-kota besar. Lewat jasa mereka, seperti dituturkan Direktur Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, hasilnya malah lebih bagus (lihat Menagih dan Meneror). Agaknya, jurus baru MA berupa surat edaran nanti ingin menjawab itu semua. Jika benar satu perkara bisa tuntas maksimum enam bulan (di setiap tingkatan peradilan), tak mustahil para bankir pun akan tertarik memanfaatkannya. Dengan begitu, mungkin usaha debt collector bisa juga tersaingi. Purwoto optimistis dengan rencana barunya itu. "Beperkara lewat pengadilan lebih menguntungkan. Selain nantinya berjalan cepat, biayanya juga rendah dibandingkan dengan memakai debt collector," katanya. Kalangan perbankan umumnya menyambut gembira gagasan baru Ketua MA itu. Jika benar perkara bisa putus cepat, menurut Wakil Presiden Bank Internasional Indonesia, Hidajat Tjandradjaja, pihaknya akan menempuh jalur pengadilan. Diakuinya, selama ini jalur pengadilan adalah prioritas terakhir untuk penyelesaian kredit macet. Alasannya, prosesnya bertele-tele. Ia berharap gagasan itu bisa segera direalisasi. Dari kampus, Dr. Sri Redjeki Hartono, ahli hukum dagang Universitas Diponegoro, juga mendukung gagasan MA. "Ini merupakan terobosan hukum yang positif, yang berpihak pada kepentingan publik. Saya melihat ini upaya penyelesaian dengan menggunakan teknis hukum baru," ujar Sri Redjeki kepada Heddy Lugito dari TEMPO.Aries Margono, Bambang Aji Setiadi, dan G. Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum