PARA bankir Jakarta yang terbelit kredit macet agaknya boleh belajar pada Armyn. Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU) itu hanya dalam tempo setahun sudah berhasil menagih kredit macet Rp 43,75 miliar -- 40% dari jumlah Rp 100 miliar yang membelit bank tersebut. "Terus terang, kami memang menghindari penyelesaian lewat pengadilan. Tapi yang kami lakukan ini juga tak melanggar hukum," kata Armyn. Untuk mengatasi kredit bermasalah, setahun lalu Armyn membentuk tim pemburu kredit macet. Ide itu lahir pada 1992, sesaat setelah ia dilantik menjadi pimpinan di situ. Ia pusing melihat jumlah angka kredit macet yang untuk ukuran bank daerah cukup besar jumlahnya. Anggota tim dibagi menjadi 30 unit satuan -- beranggotakan masing-masing empat orang (dua anggota, seorang ketua, dan seorang sopir). Setiap unit dilengkapi sebuah mobil Kijang, yang pada dinding mobilnya tertulis dengan huruf mencolok: BPDSU. Anggota tim, kata Armyn, sudah dilatih bagaimana cara berkomunikasi dengan segala perilaku nasabah. Cara kerjanya mirip dokter. Mereka melakukan diagnosa dulu, baru memutuskan cara apa yang mesti dilakukan. Jika misalnya tingkat kesulitannya baru pada tahap stadium satu, biasanya diselesaikan secara bisnis. Misalnya, dengan menyuntikkan dana segar. Tapi, jika menghadapi nasabah bandel, penyelesaiannya lain lagi. Dalam keadaan seperti ini, penyelesaiannya sudah mengarah untuk menyentuh harga dirinya, misalnya, dengan membuat malu si nasabah. Armyn memberikan kiat operasinya, antara lain, dengan berkali-kali mendatangi rumah nasabah, bila perlu menongkronginya hingga larut malam. Selain itu, mereka juga melakukan pemotretan di rumah tersebut. "Dengan seringnya didatangi, kan nasabah itu malu pada tetangganya. Rasa malu inilah yang mendorong mereka buru-buru ingin menyelesaikan kreditnya," tutur Armyn. Kendati menurut Armyn cara yang ia tempuh masih manusiawi, sebaliknya nasabah banyak yang kesal. Seorang nasabah menyebut langkah yang dilakukan Armyn mirip praktek-praktek preman. Beberapa nasabah, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan, Alamsyah Hamdani, malah mengadu ke kantornya. "Penagihan gaya BPDSU sudah melanggar hak asasi manusia, karena dilakukan dengan cara mempermalukan nasabah di depan umum, bahkan dengan pelbagai teror," kata Alamsyah. Kendati cara itu efektif, Alamsyah minta Bank Indonesia agar menegur cara yang dilakukan itu. Undang-Undang Perbankan memang tak mengatur soal penagihan. Alamsyah mengakui, upaya penagihan lewat pengadilan terlalu bertele-tele dan menyita waktu. Tapi, katanya, itulah aturan mainnya yang harus dipatuhi. Armyn, yang juga aktif sebagai pengurus PSMS Medan, menolak jika disebut melakukan praktek bergaya preman. Kendati sering menagih tengah malam, menurut Armyn, anak buahnya tetap memperlihatkan muka manis dan selalu ramah. "Jika mereka orang Islam, kami selalu menyapa dengan assalamualaikum," katanya. "Apakah cara ini bisa disebut ala preman? Itu hanya penafsiran orang. Lagi pula, kami pun tak pernah kena tegur Bank Indonesia." Banyaknya bank yang memakai debt collector seperti itu dikecam Hakim Agung Bismar Siregar. Berbicara pada sebuah seminar perbankan di Lampung pekan lalu, Bismar menyebut penggunaan tukang pukul sebagai juru tagih sangat tidak etis menurut etika hukum. Sebab, tak jarang malah menimbulkan masalah baru. "Tukang pukul memang tak selalu memukul orang yang ditemuinya, tapi dalam menjalankan tugasnya ia akan menggunakan berbagai cara, termasuk pemaksaan agar tugasnya berhasil."Sarluhut Napitupulu dan Affan Bey Hutasuhut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini