Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUIZ Felipe Scolari menggaruk-garuk kumis. Uban makin banyak saja mampir di kepala Raymond Domenech dan Roberto Donadoni. Begitu lolos ke Piala Eropa, mereka langsung sibuk mengutak-atik susunan pemain yang akan dibawa ke Swiss dan Austria.
Scolari bimbang karena Portugal punya banyak pemain bagus. Sedangkan Domenech kelimpungan lantaran pemainnya sudah banyak yang letoi dimakan usia. Donadoni deg-degan, takut bila tim asuhannya yang menyandang gelar juara dunia keok di babak awal. Mereka diimpit kegelisahan.
Tapi lupakan para pelatih tua itu. Mari terbang ke Zagreb, ibu kota Kroasia. Di sebuah studio musik, bersama empat temannya anggota band Rawbau, Slaven Bilic, 39 tahun, manajer tim nasional Kroasia, juga sibuk. Bedanya, Bili—panggilan akrabnya—banyak berkutat dengan kertas dan gitar.
Bilic bukan sedang berkerut kening menyusun nama pemainnya, melainkan membuat sebuah komposisi lagu. Iramanya jelas cadas metal. Singkat cerita, lagu itu pun kelar. Bilic nongol di sebuah klip video—yang meriah ditayangkan di situs You-Tube. Penampilannya gahar seperti layaknya anak band rock metal. Anting perak menancap di telinga kirinya. Tangan kanannya menggaruk dawai-dawai gitar mengiringi lirik yang meluncur dari kerongkongan si gondrong Josko Matura, sang vokalis.
And now, 10 years later Again the same hope, same dream We have the tickets, backpacks, and a crest on our chests…
Itulah terjemahan petikan lirik lagu yang kemudian diberi judul Vatreno Ludilo, atau dalam bahasa Inggrisnya Fiery Madness, kegilaan yang membakar. Lagu ini sengaja dibuat Bilic untuk menyemangati pemainnya yang berlaga di Austria dan Swiss.
Hasilnya? Tak percuma. Lagu yang kerap diputar di radio-radio di Kroasia dan menjelang pertandingan itu menjadi anthem yang mampu melipatgandakan semangat pemain Kroasia. Pada babak penyisihan grup, tim kotak putih-merah ini sama sekali tak kehilangan poin.
Bilic memang berhasil mencuri perhatian di Piala Eropa kali ini. Gayanya di pinggir atau di luar lapangan menjadi hotlist media. Dia begitu digdaya memimpin timnya melumat kesebelasan unggulan, Jerman. Meski hujan deras, Bilic tetap memberikan instruksi dari pinggir lapangan, pantang berteduh.
Bilic juga ekspresif. Dia berteriak dan jejingkrakan ketika timnya berhasil mencetak gol. Tapi, ketika jimat keberuntungannya terjatuh dari kantong jasnya, Bilic buru-buru memungutnya kembali dan menciumnya, dengan wajah menyesal.
Kehidupannya sungguh berwarna. Di negerinya sendiri, selain menjadi manajer, Bilic adalah gitaris Rawbau. Gibson Explorer merah, gitar listrik dengan ujung seperti ekor ikan, adalah ”senjata” andalannya. Sebelumnya, dia punya band bernama New Era. Dia juga pemegang gelar sarjana hukum. ”Tapi saya tak pernah menangani satu kasus hukum pun,” ujar duda dengan anak laki-laki berusia 11 tahun ini sambil tergelak.
Di luar itu, ia punya cara unik dalam menangani timnya. Manajer ini membebaskan pemainnya berjumpa dengan pasangan masing-masing. ”Tapi, kalau main-main dengan teman atau penggemar, no way…,” katanya sambil menggoyangkan telunjuk.
Keputusan ini memang tak lazim. Biasanya manajer langsung mengunci pintu bagi pemain yang ingin bersenang-senang dengan pasangannya. Itu perintah generik yang biasa dianut pelatih atau manajer sepak bola di mana pun. Alasannya, sudah jelas, gara-gara bertemu dengan pasangannya, kemampuan fisik pemain—yang banyak dibuang di ranjang—bisa berakibat fatal di lapangan.
Bilic punya dalih di balik kelonggaran itu. Menurut dia, manajer tim Italia pada Piala Dunia 2006 juga mengizinkan pemainnya bersenang-senang dengan pasangan mereka. Toh, Italia menjadi juara. ”Selama mereka melapor ke saya, tak jadi masalah,” katanya. Syaratnya, pasangan dilarang datang saat jadwal latihan.
Lainnya? Sebagai perokok, dia tidak pernah melarang pemainnya ikut ngudut. ”Dalam tim saya ada beberapa pemain yang tak bisa lepas dari rokok. Mereka boleh saja merokok, asalkan jangan di depan saya,” katanya. Tapi Bilic tak sungkan merokok bersama, asalkan di tempat tertentu. ”Kalau lagi kongko di bar atau kafe, ya, masak sih hanya saya yang boleh merokok,” katanya.
Kebebasan itu, menurut dia, merupakan cara menciptakan suasana cair di dalam tim. Dia juga membangun kebersamaan. Makan dan berlatih, mereka selalu bersama. Sekalipun diberi kamar masing-masing, ternyata para pemain lebih suka tidur bareng. ”Rasa kebersamaan merupakan fondasi penting buat tim,” katanya. Konflik haram bagi Bilic karena bisa merusak hubungan antarpemain. Sepak bola bukanlah arena politik.
Tapi Bilic tak sepenuhnya funky dan baik hati. Saat pemainnya bertingkah, dia pun tak segan memberikan hukuman. Ini yang terjadi ketika mereka bertandang ke Rusia. Bilic tidak membawa tiga pemain pentingnya: Darijo Srna si pencetak gol pertama melawan Jerman di Piala Eropa, Ivica Olic, dan Bosko Balaban. Mereka ketahuan berpesta di sebuah klub malam di Zagreb beberapa malam sebelumnya.
Gaya kepemimpinannya tak terbentuk begitu saja. Bilic telah melalui jalan panjang sebelum menemukan cara yang paling pas. Dari pengalamannya merumput selama belasan tahun membela berbagai klub, seperti Hajduk Split, Everton, dan West Ham, serta tim nasional Kroasia, dia beroleh kesimpulan: interaksi antara pemain dan manajer harus cair. Tidak lagi ada batasan bos dan anak buah.
Lalu, setelah gantung sepatu pada 2001, dia memutuskan menjadi pelatih. Targetnya, Bilic bisa membuat prestasi setidaknya di kancah Eropa. Dia pun sempat nyantrik pada beberapa pelatih yang dianggapnya mumpuni. Dua di antaranya adalah mantan pelatih Italia, Marcello Lippi, dan pelatih Arsenal, Arsene Wenger. Namun dia kecewa. ”Bukannya aku besar kepala, tapi mereka hanya ngomong yang sudah aku pahami,” katanya.
Bagi Bilic, pola permainan di lapangan sudah tamat. ”Pola 4-5-1, apa artinya lagi? Kayaknya itu hanya penting bagi jurnalis dan komentator pada saat permainan dimulai.” Menurut dia, sepak bola adalah permainan di lapangan. Saat bertahan, para pemain harus ikut turun. Sebaliknya, ketika menyerang, semua pemain harus datang ke gawang musuh. Dia memberikan contoh saat Italia menjadi juara Piala Dunia 2006. Tim tersebut, menurut Bilic, meninggalkan pola bertahan yang biasa mereka mainkan. ”Pada akhirnya, sepak bola adalah pergerakan sepuluh pemain,” katanya.
Rupanya, nasib baik berpihak padanya. Tiga tahun kemudian, tawaran menangani tim nasional junior datang. Dia tak menampik. Bahkan, pada 2006, seusai Piala Dunia, dia mendapat berkah menukangi tim nasional Kroasia. Dia dikontrak menghela tim negaranya hingga Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, dengan honor hampir Rp 2,4 miliar.
Mimpinya menjadi kenyataan. Sebab, Bilic punya obsesi mengulang kembali kenangan manis yang pernah dilaluinya pada Piala Dunia 1998. Saat itu dia ikut mengantar Kroasia nyelonong hingga babak semifinal. Nyanyian suporter Kroasia yang melantunkan ”Hocemo pobjedu! Hocemo pobjedu!” (”Kami ingin menang”) selalu terngiang di telinganya.
Mereka memang kandas. Tuan rumah Prancis yang menjadi juara. Toh, pencapaian Bilic dan kawan-kawan tetap luar biasa. Negara yang baru merdeka pada 1991, setelah Yugoslavia pecah, itu mampu membuat kejutan. ”Dunia telah melihat kita,” tulis Bilic seperti dalam lirik lagunya.Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo