Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tumbang Terhantam Obat Pencahar

Juara tinju nasional, Afrizal Cotto, meninggal setelah koma empat hari pascapertandingan. Diduga menenggak obat pencahar untuk menurunkan berat badan.

16 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang juara terdesak. Pukulan demi pukulan mendarat telak di kepala Muhammad Afrizal, mencuatkan lebam di pelipis kirinya. Juara nasional kelas ringan junior itu jatuh pada ronde ketiga, meski langsung bangkit sebelum wasit memulai hitungan knockout. Pada ronde kedelapan, pelatih Misyanto alias Little ­Holmes hendak lempar handuk karena merasa petinjunya tak mampu memenangi pertandingan.

"Jangan Pak, ada bos saya dari Padang datang," kata Holmes—menirukan ucapan Afrizal—kepada Tempo awal pekan lalu. Dari bangku penonton, menyembul teriakan penyemangat dari petinggi Perusahaan Daerah Air Minum Padang, tempat petinju 32 tahun itu bekerja. Dia kembali menolak tawaran menghentikan pertandingan pada ronde kesebelas, yang datang dari promotor Gelar Tinju Profesional Indosiar, Erick Purna Irawan. Bel penanda ronde 12 berdentang beberapa menit sebelum kalender Maret habis. Sang penantang, Irvan Barita Marbun—sembilan tahun lebih muda—menyabet sabuk Komisi Tinju Indonesia dari pinggang Afrizal.

Gelumat sembilan ratus penonton di Studio Indosiar di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, tak sampai ke kamar ganti. Afrizal mengelap peluh dan mengenakan kemeja lengan pendek kotak-kotak pemberian perempuan yang akan dinikahinya pada 15 April ini. Tapi, saat akan mengenakan celana, dia mendadak kehabisan tenaga. "Saya berbaring dulu. Pusing," kata Afrizal kepada Holmes. Dia mulai panik setelah setengah jam Afrizal tak berdaya merespons panggilan, lalu si petinju muntah.

Pelatih 43 tahun itu memboyong petinjunya ke Rumah Sakit Royal Taruma, yang berjarak sekitar satu kilometer. Pencitraan sinar-X menyatakan terjadi perdarahan di otak Afrizal. Namun operasi urung dilakukan karena ruang unit perawatan intensif—yang dibutuhkan pasca-operasi—penuh. Ahad, 1 April, sekitar pukul 3, Afrizal tiba di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur, yang jadi rujukan Komisi Tinju. Operasi dilakukan tujuh jam kemudian. Dokter berhasil mengangkat darah beku yang menghambat aliran oksigen ke otaknya. Namun Afrizal tetap tak sadarkan diri, sampai maut menjemputnya beberapa menit setelah azan subuh, Rabu dua pekan lalu.

Situs Boxing-Indonesia mengatakan pria kelahiran Padang ini jadi petinju Indonesia ke-27 yang meninggal setelah bertanding. Daftar itu bermula ketika Jimmy Koko meninggal di Surabaya pada 1948 sampai korban terakhir, Fadly Kasim, 22 tahun, petinju Manado yang meninggal setelah roboh pada partai perdananya, enam tahun lalu. Tahun 2001 tercatat sebagai masa terkelam dengan tiga korban: John Namtilu pada Maret, Muhammad Alfaridzi sebulan kemudian, dan Donny Maramis pada Oktober.

l l l

Afrizal mulai belajar tinju sekitar umur 16 tahun di Sasana Cendrawasih, Medan. Dua tahun kemudian, petinju kidal ini beralih ke profesional. Pada 2001, dia ­hijrah ke Jakarta dan dilatih Little ­Holmes—yang pernah mengalahkan mantan juara dunia Ju-Do Chun dari Korea Selatan dan juara nasional pada 1988. Pelatih kepala di Kelompok Penyanyi Jalanan Bulungan Boxing Camp, Jakarta Selatan, ini mengasah kemampuannya sebagai counter-­boxer, bertinju dengan menunggu serangan lawan dan melancarkan serangan balasan, mirip gaya Chris John. Kelincahan tubuh, kekokohan pertahanan, dan pukulan lurus kiri keras merupakan modal Afrizal merajai kelas bulu di level nasional dan Asia-Pasifik versi Organisasi Tinju Internasional (IBO) serta Pan Asian Boxing Association pada 2007 dan 2008.

Lima kekalahan beruntun pada 2009 dan 2010 jadi lembaran buruk dalam kariernya. Ini membuat Afrizal melirik penghidupan di luar ring. Direktur Perusahaan Daerah Air Minum Padang Azhar Latif mempekerjakannya sebagai petugas bagian pemutusan. Sebagai pegawai golongan II—lulusan sekolah menengah atas—Afrizal mendapat gaji Rp 3 juta per bulan. Adiknya, Dicky Putra, yang juga petinju, ikut bekerja di sana. Abang-adik ini tetap bertinju di Sasana PDAM Padang.

Dengan nama baru, Afrizal Cotto—mengacu pada Miguel Cotto, juara dunia kelas menengah ringan versi Asosiasi Tinju Dunia (WBA) asal Puerto Riko, dan suku Koto di Minangkabau—comeback dengan me­ngandaskan petinju asal Biak, Frans Yarangga, dan menjadi juara nasional kelas ringan junior, Juli tahun lalu. Pada 15 Februari lalu, promotor Erick Purna Irawan menghubunginya untuk menjalani tarung wajib menghadapi Irvan Marbun. "Semua orang menjagokan Afrizal karena lawan baru tiga kali bertanding," ujar Erick. Bayarannya tergolong tinggi untuk laga domestik: Rp 6 juta.

Minimnya lawan tanding di Padang membuat Afrizal kembali ke Bulungan pada 5 Maret. "Saat datang, kondisinya di bawah normal," ujar Holmes. Beratnya 64 kilogram, jauh di atas kelas ringan junior—sering juga disebut bulu super—58,9 kilogram. Pekan awal, pelatih berfokus menurunkan berat dan meningkatkan stamina. Menu latihannya berlari sampai 24 kilometer lewat Fatmawati, Cilandak, dan kembali ke Bulungan melalui Kemang. Memukul samsak dan pad baru dimulai pekan kedua.

Di balik tembok kamar 2,5 x 1,5 meter yang lembap di sudut sasana, Afrizal menenggak obat pencahar. Hal itu diungkapkan dokter pertandingan, Putu Agus Parta Wirawan, kepada Tempo. Menurut Koordinator Dokter Komisi Tinju Indonesia ini, Dicky Putra menceritakan kepadanya bahwa sang abang menelan obat urus-urus itu untuk membantu menurunkan berat. Dokumen pertandingan menyatakan, sehari sebelum Afrizal naik ring, berat badannya masih 60,6 kilogram. Larangan si adik tidak dia indahkan. Namun saat Tempo menemui Putra, 24 tahun, di kontrakannya di Pauh, Padang, dia enggan membicarakan hal itu.

Obat urus-urus sering digunakan atlet tinju, terutama mereka yang mendapat jadwal pertandingan mendadak. Seorang petinju, sebut saja Sinyo, tiga kali menggunakan obat pencahar dalam sebelas tahun karier profesionalnya. Pencahar bernama generik furosemide dan wajib resep ini dia tenggak tujuh butir sekaligus. Sinyo tahu benar risikonya. "Tapi tak ada pilihan, karena tanding tinggal beberapa hari dan berat masih lebih enam kilo," ujarnya. Dalam hitungan jam, dia beser tanpa henti. Mendadak pandangannya jadi gelap dan nyaris pingsan. Beruntung petinju asal Maluku ini menemukan botol berisi air satu liter dan langsung dia habiskan. Perlahan Sinyo kembali bisa melihat bola lampu yang menyala di kamarnya. Setelah entah berapa botol air dan berapa kali bolak-balik kamar mandi, keesokan harinya berat badannya susut dari 60 jadi 54 kilogram.

Meski memenuhi syarat berat badan di kelas bantam super—maksimal 55,2 kilogram—Sinyo kepayahan. "Berjalan saja sering oleng," katanya. Ujungnya, di pertandingan yang berlangsung enam tahun lalu tersebut, dia kalah KO. Dampak laksatif terasa sampai beberapa hari setelah pertandingan, seperti persendian yang sakit. Saat melihat Afrizal bertanding, Sinyo melihat gejala yang sama. "Kuda-kudanya lemah. Biasanya dia tidak begitu," ucapnya.

Dokter Putu mengatakan petinju yang akan naik ring haram mengkonsumsi pencahar. Sebab, efek cuci perutnya membuat tubuh kehilangan banyak cairan dan stamina anjlok. Dia mengaku kecolongan. Sehari sebelum pertandingan, Putu memeriksa kesehatan Afrizal. Sama seperti pada pemeriksaan Afrizal di Badan Olahraga Profesional Indonesia beberapa jam sebelumnya, tekanan darah, nadi, otot, dan lainnya normal. Menurut Sinyo, petinju bisa mengelabui pemeriksaan kesehatan dengan banyak-banyak menenggak minuman yang mengandung ion.

Pelatih Holmes menyesal gagal mengendus tindakan petinjunya. Menurut dia, penggunaan obat yang mengandung furosemide biasanya bisa terdeteksi dari jari-jari tangan yang kering dan bola mata cekung. "Tapi kali ini saya tidak tahu," katanya. Penyesalan kedua adalah gagal membujuk petinjunya melempar handuk. Holmes merasa tak berkuasa penuh karena Afrizal naik ring membawa nama Sasana PDAM dan hanya menumpang latihan di Bulungan. Dia menolak menyalahkan wasit. Sesuai dengan peraturan tinju profesional, wasit wajib menghentikan laga jika petinju menerima enam pukulan beruntun tanpa balas. Sepanjang 12 ronde, Afrizal menerima pukulan beruntun paling banyak dua kali. "Tapi telak," ujarnya.

Deretan bogem telak—plus badan loyo karena dehidrasi—jadi pemicu perdarahan di otak Afrizal. Dokter Tunggul Marpaung, yang mengoperasi Afrizal di Rumah Sakit UKI, mengatakan perdarahan terjadi di rongga subdural—antara lapisan otak luar dan jaringan otak. Spesialis bedah saraf ini mengatakan golden period atau waktu maksimal antara perdarahan dan operasi adalah empat jam. Selisih sepuluh jam antara akhir pertandingan dan dimulainya pembedahan berarti terlambat. Tunggul mengatakan butuh waktu ekstra untuk mempersiapkan tim dan ruang operasi, yang baru kelar diasapi. Menurut dia, justru dokter ring yang kasip mengidentifikasi gejala awal perdarahan otak, seperti penebalan pupil, kesemutan di tangan dan kaki, serta badan lemas. "Kalau baru ketahuan waktu kehilangan kesadaran, sudah terlambat," katanya.

Putu hakulyakin pemeriksaan pascapertandingan, baik di ring maupun ruang ganti, tak menunjukkan gejala gegar otak. "Perdarahan bisa terjadi satu-dua jam setelah benturan," katanya.

l l l

Saat jenazah Afrizal dikebumikan di Medan, kota kediaman keluarganya, Rabu dua pekan lalu, pelatih Holmes membersihkan bekas kamar petinjunya itu di Bulungan, Jakarta Selatan. Lemari dan kasur dia jemur. Pria asal Malang itu mewanti-wanti sepuluh petinju di sana untuk tidak memasuki kamar tersebut sampai 40 hari.

Holmes teringat, pada hari-hari terakhir, anak didiknya itu lebih pendiam. Ketimbang kongko, Afrizal memilih berdiam di kamar itu. Kepada hampir semua temannya, petinju yang memiliki rekor 20 kali menang dengan 11 KO, 7 kali kalah dengan 4 KO, dan 1 kali seri ini mengatakan letih beradu pukul. Ia ingin menjadikan laga ini sebagai penutup karier. "Habis pertandingan, saya mau langsung pulang," kata Holmes menirukan ucapan yang berulang-ulang dilontarkan Afrizal.

Reza Maulana, Ananda Teresia, Febrianti (Padang)


Terlambat Enam Jam

5 Maret
Afrizal mulai berlatih di Bulungan dengan berat badan 64 kilogram, jauh di atas batas maksimal kelas ringan junior, 58,9 kilogram.

12 Maret
Beratnya antara 60 dan 61 kilogram.

30 Maret
Beratnya masih 60,6 kilogram. Pemeriksaan dokter dari Badan Olahraga Profesional Indonesia dan Komisi Tinju Indonesia menyatakan kondisi kesehatan Afrizal normal. Tensinya 110/70 dan gerak nadi 60.

31 Maret (23.50)
Afrizal kalah angka dari Irvan Barita Marbun dan kehilangan sabuk kelas ringan junior versi Komisi Tinju Indonesia. Pemeriksaan dokter ring pascapertandingan menyatakan kesehatannya normal.

1 April (00.30)
Dokter ring kembali memeriksa Afrizal di ruang ganti dan tidak menemukan gejala negatif.

01.40
Afrizal pusing dan muntah.

01.16
Petinju itu dilarikan ke Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta Barat. Afrizal kehilangan kesadaran di perjalanan.

02.15
Royal Taruma menyatakan terjadi perdarahan di otak Afrizal. Operasi urung dilakukan karena ruang unit perawatan intensif penuh.

03.10
Afrizal tiba di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur. Ia tidak bisa langsung dioperasi karena ruangan dan tim dokter belum siap.

10.00
Operasi membuka batok kepala dan mengangkat darah beku.

14.00
Operasi selesai dan dokter menunjukkan hasil operasi kepada keluarga Afrizal.

4 April (04.50)
Afrizal meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus