Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT mencegah ribut-ribut mengenai kemudaan usia, tatkala bursa awal calon presiden 2014 diramaikan oleh sejumlah tokoh sepuh: Aburizal Bakrie, Megawati, Prabowo, Jusuf Kalla. Umur mereka rata-rata di atas 60 tahun—lazim diyakini telah melampaui puncak usia manusia. Aturan pensiun di Indonesia pada usia 55-56 tahun juga mencerminkan keberpihakan pada usia anom. Orang dipandang tak lagi masuk "liga utama" selepas 56 tahun.
Tapi soal umur rupanya tak keras-keras amat diberlakukan bila menyangkut kedudukan tertinggi di negeri kita. Pada masa-masa awal Republik, kita masih mencatat dua presiden yang memulai tugasnya pada usia muda. Sukarno pada 44 tahun dan Soeharto pada 47 tahun. Selebihnya, usia pemimpin Indonesia terus melampaui rata-rata usia pensiun, dan kian sepuh melihat bursa awal calon presiden 2014.
Pro-kontra pun muncul, lengkap dengan argumentasi. Yang berpihak pada calon berumur mengedepankan faktor pengalaman panjang dan kemampuan yang sudah teruji. Ketika Taufiq Kiemas menyebut Megawati dan Aburizal Bakrie terlalu tua untuk berlaga di arena pemilihan presiden 2014, segera saja dia menerima tentangan dari Golkar dan partainya sendiri, PDI Perjuangan.
Kalangan "pro-muda" menginginkan perubahan dengan munculnya wajah-wajah segar di level kepemimpinan nasional. Apa daya, elite puncak partai-partai masih terus didominasi para sepuh, yang justru gandrung betul bertarung pada 2014. Halangan ini diperberat oleh reputasi buruk sejumlah politikus muda yang terkait kasus korupsi besar.
Undang-undang dasar kita menyatakan usia 35 tahun sebagai umur termuda calon presiden, tanpa memberi batasan tertua. Ini menjadi salah satu pegangan para pendukung pemimpin sepuh.
Walhasil, debat kusir mengenai umur tak akan membawa kita ke mana-mana. Jadi, mari bicara saja soal reputasi.
Faktor reputasi akan menerabas usia, asal-usul, latar belakang, serta bisa diukur secara transparan melalui rekam jejak. Calon yang memiliki uang dan kuasa dapat memanfaatkan kekuatan media dan lembaga survei untuk membentuk citra serta mengaburkan rekam jejak yang buruk. Ini yang harus kita waspadai. Media, sebagai pilar demokrasi, perlu diimbau dan didesak supaya menyiarkan reputasi sesungguhnya—dan bukan hasil polesan—ke ranah publik. "Audit" terbuka dan independen terhadap para calon akan membantu rakyat memilih yang tepat.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42/ 2008 mencantumkan 18 syarat menjadi Presiden Indonesia. Bila ditapis dengan cermat, akan kita temukan setidaknya tiga substansi terpenting. Pertama, identitas keindonesiaan. Seorang calon presiden haruslah warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Kedua, aspek kesehatan—harus sehat jasmani, rohani, serta cerdas, agar mampu menjalankan tugas-tugas kepresidenan.
Substansi ketiga sejatinya menyangkut reputasi, yakni kejujuran dan keberanian. Kejujuran akan menjauhkan pemimpin dari korupsi dan nepotisme. Dengan keberanian, dia teguh mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan rakyat, walau tidak populer untuk citra sendirinya—sesuatu yang kian dirindukan para pemilih di negeri kita. Dengan reputasi bersih dan kuat, belasan syarat lain dalam undang-undang—termasuk usia—rasanya bisa dihitung sebagai "bonus".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo