Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu Khaldun, sejarawan-sosiolog kelahiran Tunisia pada abad ke-14, pernah melukiskan jatuh-bangunnya dinasti dan kerajaan sebagai cerita pertarungan di antara dua kutub: antara orang-orang kota di satu pihak dan orang-orang badui di lain pihak.
Nun di Afrika Utara, seorang pemimpin pada abad ke-20-21 meletakkan dirinya di antara kelompok badui, orang desa yang memiliki tradisi kental, berjiwa petani sejati, terbiasa menjalani hidup yang liat, tapi jauh dari polusi yang meracuni hidup di kota. Muammar Qadhafi, pemimpin itu, kemudian acap tinggal di tenda-tenda di gurun Libya yang tandus. Tentu saja gaya hidup ini bukan cuma merupakan ketertarikan sang pemimpin pada kebersahajaan dan kemurnian pedusunan, ketimbang kompleksitas kota tempat bersembunyinya maksiat dan kemunafikan, tapi juga pilihannya akan model ideal masyarakat. Masyarakat yang komunal dan homogen.
Mungkin Qadhafi produk zaman yang melahirkan pikiran-pikiran romantis. Dalam buku Libya, From Colony to Revolution, pengarang Ronald Bruce St John menuliskan suasana yang membentuk pemikiran-pemikiran Qadhafi—yang kemudian dituangkan dalam Buku Hijau Revolusi (Green Book of Revolution). Kekalahan pertama Arab di Palestina 1948, Revolusi Nasser di Mesir 1952, Krisis Terusan Suez 1956, dan penyatuan Mesir-Suriah 1958 adalah rangkaian peristiwa yang telah meninggalkan dampak mendalam dalam perkembangan sosok ini.
Dasar dikotomi desa-kota di atas tampak jelas ketika Qadhafi kemudian memandang dengan sebelah mata Revolusi Kembang Melati pada Januari 2011 di Tunisia—revolusi yang hingga kini masih menimbulkan demam di seantero negara Arab. Libya, From Colony to Revolution menyebutkan betapa Qadhafi sangat menyayangkan koleganya Presiden Ben Ali cepat-cepat meninggalkan negerinya yang tengah dihantam demonstrasi. Ia bahkan menganjurkan Ben Ali kembali memimpin Tunisia seumur hidup, karena Qadhafi yakin bahwa masyarakat urban yang heterogen dan korup tidak mungkin melahirkan revolusi. Qadhafi memandang para demonstran digerakkan berita-berita tak bermutu dari WikiLeaks.
Dengan reputasi mencolok—42 tahun berkuasa tanpa jeda—tidak ada orang yang ragu akan kemampuan Qadhafi menyingkirkan lawan-lawannya dan memastikan power masih dalam genggaman. LibyaÂ, From Colony to Revolution dengan baik menggambarkan keberhasilan Qadhafi mengikis habis kekuatan kelompok sipil, partai politik, gerakan massa, bahkan tantangan dari kalangan militer. Untuk mencegah tumbuhnya loyalitas pada atasan, setiap perwira militer diwajibkan menjaÂlani pelbagai mutasi secara reguler.
Kalau sudah begini, tak ada bentuk organisasi sosial yang lebih kuat selain suku di dalam Libya dewasa ini. Tribalisme menjadi satu-satunya pusat perhatian yang secara serius digarap, dipelihara demi kepentingan pemerintah. Justru karena inilah, menurut Libya, From Colony to Revolution, Qadhafi gagal menangkap intensitas yang berkembang dalam demonstrasi para pemuda di Benghazi, Bani Walid, Al-Bayda, dan kota lainnya. Protes yang awalnya sekadar menuntut penyediaan perumahan yang layak itu perlahan-lahan menjadi bola salju besar yang pada akhirnya menuntut perubahan rezim. Dari sinilah perlawanan bersenjata mengakhiri rezim Qadhafi—tentu saja dengan dukungan pesawat-pesawat Organisasi Negara Atlantik Utara, NATO.
Libya, From Colony to Revolution karya Ronald Bruce St John membahas Libya dalam rentang waktu luas: dari pengalaman Libya di bawah Yunani kuno, emporium Romawi, Otoman, sampai Libya sepeninggal Qadhafi. Ia bukan buku bagi pemula. Namun buku ini cukup bisa menjawab pertanyaan mengenai Libya setelah pemberontakan yang berhasil menumbangkan pemerintahan Muammar Qadhafi. Satu hal yang belum terjawab tuntas: siapa yang paling diuntungkan dari perubahan rezim ini.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo