TENGGELAMKAN perahu! Kosongkan airnya! Dayung perahu dengan tanganmu!" Instruksi itu meluncur dari mikrofone. Dan 22 siswa sekolah khusus dayung di Kendari, Sulawesi Tenggara, melakukannya dengan ceria. "Semua itu sudah biasa kami lakukan sejak SD. Laut sudah jadi tempat bermain kami," kata La Bora, 14 tahun, salah seorang siswa. Ini sekolah dayung pertama di Sulawesi atau yang kedua di Indonesia. Sebab tahun lalu sekolah serupa telah didirikan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di Palangkaraya siswanya diambil dari lulusan SD seluruh Kalimantan, yang di Kendari cukup direkrut dari lulusan SD di empat kabupaten Sulawesi Tenggara. Mereka dites fisik dan ketahanan napas. Lalu terjaring 22 siswa (14 putra dan 8 putri). Di pagi hari mereka sekolahdi SMP Negeri V Kendari, sorenya mengikuti sekolah khusus dayung. Anggaran mengucur dari P&K sebesar Rp 90 juta per tahun. Tiap siswa mendapat uang saku Rp 15 ribu per bulan. "Tapi uang itu belum kami terima," kata Lampodi, 14 tahun. Toh Lampodi senang. Selama ini ia sering membantu orang tuanya mencari ikan cakalang di laut dan hasilnya untuk membiayai sekolah. Kini ia tak perlu cari cakalang meski tetap mendayung. Biaya sekolah (termasuk buku-buku), asrama, pakaian seragam, dan perlengkapan latihan gratis. Yang menggembirakan lagi, ia bisa makan sekenyangnya. "Cuma, pemberian susu sering terlambat. Kadang tidak kami minum," kata Lampodi kepada Waspada Santing dari TEMPO. Adalah salah jika pedayung cuma mengandalkan kekuatan otot tangan saja. Otot kaki, otot perut, dan otot dada perlu ditingkatkan pula. Satu hal lagi 'kesalahan' umum para siswa adalah kebiasaan sejak kecil mendayung dari satu sisi. "Akibatnya postur mereka miring: kalau tidak ke kiri, ya, ke kanan. Selain itu agak membungkuk. Ini perlu dinormalkan supaya tubuh tegak lagi," kata H. La Ode Abubakar Sjiddieq, penanggung jawab teknis sekolah ini. Secara keseluruhan sekolah ini butuh pembenahan terus-menerus. Peralatan yang dipunyai kini adalah lima buah perahu tradisional yang sebagian lambungnya sudah aus dimakan usia. "Memang untuk sementara hambatan utama kami adalah minimnya peralatan," kata Ashar dan Achmad Hamiru, pelatih fisik. Hal yang sama juga menimpa sekolah dayung di Palangkaraya. Karena itu siswanya terus merosot. Dari 40 siswa (20 dari Kalimantan Tengah, dan sisanya dari Kal-Sel, Kal-Tim, Kal-Bar), kini hanya tersisa 18 siswa. Ide mendirikan sekolah ini adalah mencetak pedayung andal. Soalnya, Kalimantan, yang masyarakatnya akrab dengan perahu untuk transportasi, banyak melahirkan pedayung alam. "Harus diadakan pembinaan bibit atlet yang terprogram sejak dini," kata Didi Masduki, Kakanwil P&K Kalimantan Tengah, kepada Almin Hatta dari TEMPO. Siswa dayung di Kal-Teng ini disekolahkan di SMP Negeri I Palangkaraya. Kini, jumlahnya sudah menyusut kurang dari separuh, tapi mereka siswa pilihan. Dalam Kejurnas Dayung di Palangkaraya Juni lalu, empat di antara mereka ikut memperkuat tim dayung Kalimantan Tengah. Menghadapi keprihatinan sekolah dayung tersebut PB Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) memang merencanakan untuk mengedrop boat. Dengan begitu, diharapkan bisa meninggikan semangat berlatih. Pengalaman tim dayung Indonesia di Barcelona tempo hari bisa dijadikan contoh. "Bayangkan, atlet tim dayung kita berlatih cuma empat bulan, sedangkan atlet-atlet Eropa latihan kontinyu empat tahun terus-menerus," kata Ketua Umum PB PODSI, Basoeki. WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini