ANAK Anda kami sandera. Kami minta uang tebusan Rp 7 juta. Jangan lapor polisi, atau anak Anda kami cincang tubuhnya. Besok pukul enam petang uang itu harus sudah tersedia." Orangtua mana yang tak gemetar membaca surat berbau pemerasan ini. Maka, malam itu juga, sang ayah, Guntoro, 34 tahun, melapor ke Rukun Tetangga. Dan pagi besoknya ia melapor pula kepada polisi. Untuk menjebak si pemeras, polisi menyarankan Guntoro memenuhi uang tebusan itu. Tapi upaya si ayah siasia. Senin pekan lalu, seorang pencari buah kenari menemukan mayat Edy Setyaputra, 12 tahun, sudah membusuk. Lokasinya hanya 200 meter dari rumahnya di Desa Tanjungtirto, Singosari, Malang, Jawa Timur. Guntoro, karyawan sebuah perusahaan real estate di Malang, sebenarnya sudah menjual mobil Honda Civic miliknya, Rp 7 juta, untuk menebus Edy. Dan yang mengagetkan, usaha pemerasan itu dilakukan Harianto, 21 tahun, keponakan kandung Guntoro sendiri. Putra sulung dari empat bersaudara yang berparas tampan ini, kini, dirawat di RS Saiful Anwar, Malang. Ketika ditangkap di rumah pacarnya, Sabtu pekan lalu, polisi terpaksa melepas tembakan. Ia mencoba lari. Sebutir peluru melukai kaki kirinya. Bermula dari kecemasan Rosalia, 27 tahun, ibu tiri Edy, Jumat, 28 Agustus lalu. Sejak pergi sekolah hingga Magrib, anak itu belum pulang. Tiba-tiba Rosa melihat kelebatan bayangan orang membuang sesuatu di depan rumahnya. Karena takut, dimintanya Tedy, 18 tahun, keponakan Guntoro, melihat benda itu. Ternyata itu jaket Edy dan sepucuk surat ancaman, yang bunyinya seperti sudah dikutip tadi. Saat mendebarkan menyusul besok malamnya. Seseorang penelepon gelap mengaku penculik Edy. "Lu, udah menyediakan uangnya atau belum," ujar suara sengau bak bicara dengan hidung ditutup. "Iya," sahut Guntoro. Tapi sontak telepon terputus. Kemudian, tiap 10 menit telepon berdering lagi. Saban kali diangkat, tak sekata suara terdengar di seberang sana. Bahkan, tempat di mana uang itu harus diserahkan tidak pula disebut. Sejak itu Guntoro kehilangan kontak dengan penelepon hingga mayat Edy ditemukan. Tapi, sebuah petunjuk kecil muncul setelah jenazah Edy dikuburkan. Tedy yang tadi, adalah adik kandung Harianto, bercerita pada Guntoro bahwa abangnya hendak bunuh diri. Info ini lalu dikembangkan polisi. Apalagi ketika Edy dikebumikan, Harianto sampai terkejang-kejang. Ketika diperiksa polisi, Harianto mengakui sebagai penelepon gelap itu, sebagai cara menciptakan alibi. Dalam pikirannya, jika kelak mayat Edy ditemukan akan muncul anggapan bahwa anak itu meninggal dibunuh penculik yang bermaksud memeras. "Saya ingat cerita-cerita dalam film," katanya kepada polisi. Ketika bertemu di jalan, Jumat siang itu, Harianto mengajak Edy untuk mancing. Anak kelas 5 SD yang baru pulang sekolah ini menurut. Mereka melintasi kebun salak di dekat daerah itu. Di tempat sepi inilah Harianto minta uang. Edy menolak. Lalu, anak ini dicekiknya. Tewas. Tubuh Edy ditutupinya dengan jerami. Sebelum pulang ke rumahnya di Batu, 15 kilometer dari Malang, Harianto mengambil jaket milik Edy. Lalu, baju ini dijadikannya alibi, seolah Edy dibunuh pemeras. Ia melemparkan jaket itu berikut sepucuk surat ke rumah Guntoro. Ternyata perasaannya berbicara lain dan ia menjadi berlebihan disaat menghadapi jenazah Edy dikuburkan. Harianto, menurut sebuah sumber, dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Ayahnya seorang penjudi. Harianto juga dikenal suka menelan obat terlarang. Kemudian, ia pernah tinggal di rumah Guntoro. Pemuda putus sekolah ketika di kelas 2 SMP ini rupanya tidak serasi dalam keluarga Pak Denya itu, setelah iamenjual sepeda motor milik Guntoro. Bahkan, ia hendak meniduri pembantu keluarga di rumah ini, Juli silam, lalu diusir. Adakah setelah itu Harianto menjadi pendendam? Letnan Kolonel Syatyanto, Kapolresta Malang, tidak dapat memastikannya. "Yang jelas, ia gagal memeras Edy, lalu membunuhnya," katanya. Bersihar Lubis dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini