TURNAMEN Hari Kartini telah berlangsung. Sesuai dengan
peristiwanya, para pesertanya pun wanita semua. Mereka menendang
bola seperti biasanya kesebelasan pria.
Ada 14 dari 30 klub sepakbola wanita di Yogyakarta mengikuti
turnamen itu dalam pekan kedua April ini. Ajaran R.A. Kartini
untuk emansipasi belum tentu menganjurkan wanita supaya ikut
main sepakbola. Namun kenyataan ini bukan di Yogyakarta saja,
melainkan juga ada di kota-kota lain. Bahkan sudah ada pula
gagasan mendirikan Galanita, semacam Galatama yang khus untuk
wanita.
Setidaknya kini ada 8 kesebelasan puteri yang menonjol. Yaitu
Buana Putri (Jakarta), Putri Priangan (Bandung), Putri Mataram
(Yogya), Puni Saburai (Lampung), Putri Srikandi (Semarang),
Putri Setia dan Putri Sakti (Surabaya), dan Putri Pardedetex
(Medan).
Banyak kesebelasan wanita Indonesia lainnya telah timbul silih
berganti dalam tahun 1970-an ini. Tidak banyak yang bisa
bertahan. Adalah Putri Priangan yang tertua -- lahir 1969 dari
semua yang masih menendang bola.
J. Hutapea, pria yang pernah mendirikan klub sepakbola wanita di
Medan mengetahui betul betapa sulitnya. "Soalnya karena ada yang
sudah berumahtangga, pindah ke lain kota," katan "Materi pemain
sulit dikumpulkan."
Dengan Bisnis
Di Medan, beberapa klub cewek tadinya muncul berkaitan dengan
promosi siaran radio niaga masing-masing. Ketika siaran niaganya
lenyap, hilang pula klubnya. Maka tinggallah Putri Pardedetex
All Stars saja di Medan. Ini pun tidak begitu giat sekarang.
"Karena tak ada lawan bertanding," kata Johny Pardede, 24 tahun.
Ayah si Johny ini adalah boss Pardedetex yang anggota Galatama.
Di Surabaya, Putri Sakti mencari lawan sampai ke luar kota
seperti Banyuwangi dan Blitar. Ia mengadakan latihan teratur.
"Cuma sulitnya, anggota kami jika sudah pacaran, apalagi kawin,
tak mau lagi ikut latihan," keluh pelatih Mitra Surya, 35 tahun.
Tapi Erna, kapten Putri Sakti, sudah beranak dua, masih main.
"Saya bermain sepakbola bukan lantaran ingin ditonton kaum
lelaki, tapi hanya karena hobbi saja," katayna.
Diam-diam sepakbola wanita bisa juga mendatangkan bisnis. Sekali
dipanggil bertanding, - misalnya, Buana Putri di Jakarta
menetapkan fee Rp 200.000 -- Panitia pengundang dimintanya
membayar biaya akomodasi dan transportasi, serta uang saku
pemain. Ini pula agaknya yang mendorong Aat Thohir awal April
ini menerima jabatan pimpinan Putri Priangan dari isterinya.
Berbagai pertandingannya telah banyak menyedot penonton. Para
pencari dana sering memanfaatkan kesebelasan Bandung ini.
"Memang sudah menguntungan penyelenggara," kata Thohir. "Tapi
belum dirasakan keuntungannya secara komersial."
Animo Besar
Tidak selalu gampang bagi klub wanita. DPRD Tasikmalaya,
misalnya, pernah bersidang dulu untuk membicarakan boleh atau
tidaknya pertandingan sepakbola wanita di kotanya. Di Tasik itu,
kata Ny. Thohir, penjualan karcis menggembirakan ketika PP lawan
kesebelasan putri Swedia (2-2) tahun 1974. "Sesudah itu, kami
malah ketagihan," katanya lagi. Tapi Banten, Cianjur dan Ciamis
masih tetap tidak mengizinkan sepakbola wanita ini.
Uan Hermawan, pelatih PP, mengatakan cukup besar animo untuk
memaki klubnya -- dari usia 13 sampai 30 tahun. Malah ada
orangtua sengaja menitip anaknya pada PP, katanya.
Ada juga di antara klub wanita itu yang melawat ke luar negeri.
Misalnya PP sudah pernah mengikuti Pesta Sukan di Malaysia, dan
Buana Putri pernah main dalam kompetisi internasional di Taiwan.
Buana Putri tampaknya paling dikenal di luar negeri, berkat
keanggotaanya dalam Asian Ladies Football Confeeration. "Ada
harapan Desember nanti kami diundang bertanding di India," kata
Sudono, anggota pengurus BP.
Persoalan ialah apakah BP saja mewakili Indonesia di India itu?
PSSI sudah diberitahu tentang ini, dengan harapan supaya
dibentuk kesebelasan nasional. Menurut Sudono, PSSI masih belum
memberi reaksi.
Namun PSSI kelihatannya sudah melangkah ke arah pembentukan
Galanita. Kini komisinya baru pada taraf mendafar klub-klub yang
ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini