KETIKA motor Honda yang dikendarai Omber, juragan atsiri yang
gemuk dari desa Samadua memasuki Kuta Fajar di Aceh Selatan, tak
ada seorang petanipun mau menjual minyak nilamnya. Harga yang
diminta Omber Rp 6000 sekilo, sedang petani minta Rp 10.000 per
kg. Lengkap membawa alat pengetes minyak nilam (atsiri), dia
jadi terkejut. Barulah kemudian Omber mengerti: para petani dan
penyuling nilam sudah mengetahui lebih dulu tentang kenaikan
harga. Maka hari itu, di awal April lalu, dengan rasa kesal
penuh debu omber putar haluan kembali ke desanya membawa dua
jerigan plastik kosong yang tergantung di kiri-kanan sadel
Hondanya.
Sejak Kenop-15 petani tak mau menjual murah. Selama satu
dasawarsa di pasaran lokal harga minyak nilam berkisar antara Rp
4000 - Rp 6000 per kg dan para petani tak tertarik menanamnya.
Muin, 50 tahun, petani di desa Kuta Fajar yang memiliki 4 ha
sudah lama membiarkan kebun nilamnya menjadi semak. Alasannya:
rugi uang dan tenaga. Bahkan 20.000 ha kebun nilam yang terdapat
di seluruh kabupaten Aceh Selatan boleh dikatakan tidak
berproduksi. Para petani mengalihkan usahanya bertanam padi.
"Tapi kalau harga nilam baik dan pasaran bagus sawah saya
upahkan kepada orang lain," kata Muin.
Dengan tingkat harga sekarang Rp 10.000 sekilo, para petani
nilam membabat belukar diganti dengan pohon nilam. Para peminjam
uang pun berani memberikan kredit dengan bunga 25% untuk sekali
panen selama 6 bulan. Untuk 2 ha kebun nilam, petani Mahmud
misalnya membutuhkan modal Rp 1 juta. Dengan modal dari pengijon
ini Mahmud masih mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp
250.000.
Kredit Investasi Kecil (KIK) bukan tidak pernah dicobanya, "Tapi
karena urusannya berbelit-belit dan lama kami terpaksa memakai
uang pengijon, ujarnya. Untuk menggalakkan ekspor non-minyak,
agaknya BRI tak perlu terlalu kaku memberikan bantuannya. Aceh
pernah dikenal sebagai penghasil nilam terbesar di dunia.
Kurang lebih 90% dari total produksi dunia sebesar 40.000
ton berasal dari Aceh yang berpusat di Tapaktuan. Sedangkan
Malaysia yang pernah mencapai produksi nomer dua, akhirnya
kehilangan namanya karena tanaman nilam terdesak oleh karet. Di
Kediri (Jawa Timur) nilam jtlga pernah dihasilkan 200-400 kg
setahun. Kini, setelah RRC menghasilkan minyak nilam kedudukan
Aceh tinggal sekitar 70% dari produksi dunia.
Seperti Perancis
Kenaikan harga ini bukan hanya terjadi pada minyak nilam tapi
juga minyak atsiri lainnya, seperti minyak sereh (citronella)
yang banyak dihasilkan di Jawa. Akhir Desember lalu di bursa
komoditi London minyak sereh berharga US$ 3,05 per kg dan awal
April lalu naik menjadi US$ 6 sekilo. Di Perancis minyak nilam
mencapai US$ 90 per kg. "Itu disebabkan meningkatnya kebutuhan
industri kosmetik," kata Erwin Akip, manajer Sucofindo di
Jakarta yang mengeluarkan sertifikat pengujian buat minyak
atsiri. Tapi harga yang terjadi di Perancis itu adalah hasil
penyulingan pabrik-pabrik sana sendiri. Hasil penyulingn
Indonesia jauh di bawah itu. Ekspor minyak nilam lewat pelabuhan
Belawan bulan lalu hanya berharga US$ 30 FOB.
Tapi adalah PT Aceh Distilling Industries di Tapaktuan berusaha
keras mengangkat mutu penyulingan minyak nilam di Aceh. Pabrik
penyulingan milik pengusaha pribumi ini diperlengkapi peralatan
modern "sama seperti di Perancis" kata direkturnya, Karim.
Selama ini denan penyulingan tradisionil minyak nilam kita
dihargainya cuma sepertiga, kini dengan beroperasinya PT ADI
diharapkannya akan mendapat harga lebih baik. Rupanya usaha
Karim ini tidak mengecewakan. Setelah bekerja 3 bulan, PT ADI
bisa mengekspor minyak nilam ke pelabuhan New York 20 ton dengan
harga 60% lebih tinggi dari hasil penyulingan tradisionil.
Sebelum PT ADI berdiri di Aceh Selatan terdapat sekitar 130
penyulingan tradisionil milik petani. Kini yang hidup tanggal
30, sisanya sudah gulung tikar. Tapi di lain pihak para petani
penanam nilam merasa untung. Dulu daun nilam yang disuplai ke
penyulingan rakyat cuma laku Rp 150 sekilo. Kini Karim berani
membayar Rp 300 sekilo.
Namun bahan baku masih dirasa kurang. Maka untuk merangsang
petani lebih banyak menanam nilam, Karim yang masih muda itu
memberi injeksi modal pada para petani dengan syarat daun dan
batang-batang nilam yang dipotong sekali 6 bulan itu disuplai ke
pabriknya. "Harganya sesuai dengan harga pasar waktu transaksi
jual-beli," kata Karim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini