Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Belukar Pun Dibabat

Para petani nilam Aceh mulai giat kembali menanam pohon nilam setelah diketahuinya ada kenaikan harga. Banyak perusahaan penyulingan tradisional tersingkir dengan adanya pabrik penyulingan modern. (eb)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA motor Honda yang dikendarai Omber, juragan atsiri yang gemuk dari desa Samadua memasuki Kuta Fajar di Aceh Selatan, tak ada seorang petanipun mau menjual minyak nilamnya. Harga yang diminta Omber Rp 6000 sekilo, sedang petani minta Rp 10.000 per kg. Lengkap membawa alat pengetes minyak nilam (atsiri), dia jadi terkejut. Barulah kemudian Omber mengerti: para petani dan penyuling nilam sudah mengetahui lebih dulu tentang kenaikan harga. Maka hari itu, di awal April lalu, dengan rasa kesal penuh debu omber putar haluan kembali ke desanya membawa dua jerigan plastik kosong yang tergantung di kiri-kanan sadel Hondanya. Sejak Kenop-15 petani tak mau menjual murah. Selama satu dasawarsa di pasaran lokal harga minyak nilam berkisar antara Rp 4000 - Rp 6000 per kg dan para petani tak tertarik menanamnya. Muin, 50 tahun, petani di desa Kuta Fajar yang memiliki 4 ha sudah lama membiarkan kebun nilamnya menjadi semak. Alasannya: rugi uang dan tenaga. Bahkan 20.000 ha kebun nilam yang terdapat di seluruh kabupaten Aceh Selatan boleh dikatakan tidak berproduksi. Para petani mengalihkan usahanya bertanam padi. "Tapi kalau harga nilam baik dan pasaran bagus sawah saya upahkan kepada orang lain," kata Muin. Dengan tingkat harga sekarang Rp 10.000 sekilo, para petani nilam membabat belukar diganti dengan pohon nilam. Para peminjam uang pun berani memberikan kredit dengan bunga 25% untuk sekali panen selama 6 bulan. Untuk 2 ha kebun nilam, petani Mahmud misalnya membutuhkan modal Rp 1 juta. Dengan modal dari pengijon ini Mahmud masih mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp 250.000. Kredit Investasi Kecil (KIK) bukan tidak pernah dicobanya, "Tapi karena urusannya berbelit-belit dan lama kami terpaksa memakai uang pengijon, ujarnya. Untuk menggalakkan ekspor non-minyak, agaknya BRI tak perlu terlalu kaku memberikan bantuannya. Aceh pernah dikenal sebagai penghasil nilam terbesar di dunia. Kurang lebih 90% dari total produksi dunia sebesar 40.000 ton berasal dari Aceh yang berpusat di Tapaktuan. Sedangkan Malaysia yang pernah mencapai produksi nomer dua, akhirnya kehilangan namanya karena tanaman nilam terdesak oleh karet. Di Kediri (Jawa Timur) nilam jtlga pernah dihasilkan 200-400 kg setahun. Kini, setelah RRC menghasilkan minyak nilam kedudukan Aceh tinggal sekitar 70% dari produksi dunia. Seperti Perancis Kenaikan harga ini bukan hanya terjadi pada minyak nilam tapi juga minyak atsiri lainnya, seperti minyak sereh (citronella) yang banyak dihasilkan di Jawa. Akhir Desember lalu di bursa komoditi London minyak sereh berharga US$ 3,05 per kg dan awal April lalu naik menjadi US$ 6 sekilo. Di Perancis minyak nilam mencapai US$ 90 per kg. "Itu disebabkan meningkatnya kebutuhan industri kosmetik," kata Erwin Akip, manajer Sucofindo di Jakarta yang mengeluarkan sertifikat pengujian buat minyak atsiri. Tapi harga yang terjadi di Perancis itu adalah hasil penyulingan pabrik-pabrik sana sendiri. Hasil penyulingn Indonesia jauh di bawah itu. Ekspor minyak nilam lewat pelabuhan Belawan bulan lalu hanya berharga US$ 30 FOB. Tapi adalah PT Aceh Distilling Industries di Tapaktuan berusaha keras mengangkat mutu penyulingan minyak nilam di Aceh. Pabrik penyulingan milik pengusaha pribumi ini diperlengkapi peralatan modern "sama seperti di Perancis" kata direkturnya, Karim. Selama ini denan penyulingan tradisionil minyak nilam kita dihargainya cuma sepertiga, kini dengan beroperasinya PT ADI diharapkannya akan mendapat harga lebih baik. Rupanya usaha Karim ini tidak mengecewakan. Setelah bekerja 3 bulan, PT ADI bisa mengekspor minyak nilam ke pelabuhan New York 20 ton dengan harga 60% lebih tinggi dari hasil penyulingan tradisionil. Sebelum PT ADI berdiri di Aceh Selatan terdapat sekitar 130 penyulingan tradisionil milik petani. Kini yang hidup tanggal 30, sisanya sudah gulung tikar. Tapi di lain pihak para petani penanam nilam merasa untung. Dulu daun nilam yang disuplai ke penyulingan rakyat cuma laku Rp 150 sekilo. Kini Karim berani membayar Rp 300 sekilo. Namun bahan baku masih dirasa kurang. Maka untuk merangsang petani lebih banyak menanam nilam, Karim yang masih muda itu memberi injeksi modal pada para petani dengan syarat daun dan batang-batang nilam yang dipotong sekali 6 bulan itu disuplai ke pabriknya. "Harganya sesuai dengan harga pasar waktu transaksi jual-beli," kata Karim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus